Manisnya Relasi Dagang, Pasar dan Pelaku Nasional Jadi Korban?
Di era perdagangan bebas, relasi dagang menjadi pilihan agar arus ekspor-impor antarnegara terjaga. Akan tetapi, sejumlah kebijakan yang dibuat untuk tujuan tersebut justru berpotensi menekan pasar dalam negeri.
Di era perdagangan bebas, relasi dagang menjadi pilihan agar arus ekspor-impor antarnegara terjaga. Akan tetapi, sejumlah kebijakan yang dibuat untuk tujuan tersebut justru berpotensi menekan pasar dalam negeri.
Salah satunya adalah rencana penurunan angka batas International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) untuk impor gula mentah (raw sugar) sebagai bahan baku gula kristal rafinasi. Kementerian Perdagangan akan menurunkan batas standar ICUMSA dari 1.200 internasional unit (IU) menjadi 200 IU.
Langkah itu demi terjalinnya relasi manis dengan India, yaitu tukar guling gula dengan minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, penurunan batas ICUMSA dari 1.200 IU menjadi 200 IU salah satunya bertujuan untuk mengakomodasi gula kristal mentah dari India yang rata-rata ICUMSA-nya 600 IU.
"Sebagai gantinya, Indonesia akan mendapatkan kesetaraan dalam perlakuan terhadap CPO dan produk turunannya dengan Malaysia di pasar India," kata Enggartiasto Lukita beberapa waktu lalu.
Saat ini batas standar ICUMSA diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Dalam regulasi itu disebutkan, ICUMSA adalah suatu parameter nilai kemurnian gula yang berkaitan dangan warna gula yang diukur berdasarkan standar internasional dalam satuan UI.
Semakin rendah nilai ICUMSA, kemurniannya makin tinggi. Adapun batas standar ICUMSA gula kristal mentah yang boleh diimpor minimal sebesar 1.200 IU.
Jika batas standar ICUMSA gula mentah dalam regulasi itu direvisi menjadi 200 IU, harga gula kristal rafinasi akan semakin murah. Biaya pemurnian gula mentah atau ongkos produksinya semakin rendah.
Artinya, biaya mengolah gula mentah ber-ICUMSA 200 IU menjadi gula kristal rafinasi ber-ICUMSA 100 IU akan lebih murah dari mengolah ICUMSA 1.200 IU menjadi 100 IU.
Ketua Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia Rachmat Hariotomo berpendapat, kebijakan tersebut berdampak pada penyederhanaan proses produksi. Penurunan angka batas ICUMSA juga akan membuat biaya proses produksi lebih murah.
Namun, Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyatakan, semakin rendah ongkos produksi gula kristal rafinasi itu akan membuat gula kristal putih berbahan baku tebu petani kian kalah saing. Hal itu mengingat gula kristal rafinasi yang hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, kerap rembes di pasar konsumsi dengan harga lebih murah.
"Apabila kebijakan standar ICUMSA baru itu diterapkan, rembesan gula kristal rafinasi di pasar pun berpotensi meningkat," kata dia.
Apabila kebijakan standar ICUMSA baru itu diterapkan, rembesan gula kristal rafinasi di pasar pun berpotensi meningkat.
Pada Agustus 2019, Satuan Tugas Pangan Kepolisian RI dan Kementerian Perdagangan mengungkap kasus rembesan gula kristal rafinasi ke pasar konsumsi. Gula kristal rafinasi itu rembes sebanyak 390 ton. Harga gula itu Rp 9.000 per kilogram (kg), atau lebih murah dari gula kristal putih petani yang seharga Rp 12.500 per kg.
Perembesan gula kristal rafinasi ke pasar konsumsi bukan cerita baru. Pada awal Januari lalu, ada gula kristal rafinasi yang dijual melalui e-dagang. Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mencatat, sebanyak 500.000 ton GKR masuk ke pasar konsumsi sepanjang 2018.
Baca juga: Gula Rafinasi Merembes Lagi, Pelaku Pakai Karung Logo PTPN Palsu
Tekanan dari rembesan gula kristal rafinasi itu tercermin juga di harga gula petani. APTRI mencatat, sepanjang 2018 ongkos produksi gula konsumsi berbahan baku tebu Rp 10.500 per kg. Namun harga serapnya lebih rendah dari ongkos produksi, Rp 9.200 per kg-Rp 9.300 per kg di tingkat swasta dan Rp 9.700 per kg di tingkat badan usaha milik negeri.
Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara Wahyu Kuncoro membenarkan, pemerintah akan menurunkan angka batas ICUMSA gula mentah menjadi 200 IU. Saat ini, ICUMSA gula kristal putih atau gula konsumsi berbahan baku tebu petani berkisar 200 IU-300 IU.
Dengan selisih ICUMSA yang kian menyempit, gula konsumsi yang berbahan baku tebu petani berpotensi tertekan. Untuk itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia Budi Hidayat berharap, pemerintah tetap menetapkan batas minimal gula kristal mentah yang diimpor sebesar 1.200 IU.
Namun, apabila batas tersebut mesti diturunkan, pemerintah harus memberikan iklim investasi yang mendukung untuk pabrik gula berbasis petani di dalam negeri. "Pabrik gula nasional yang berbasis tebu rakyat belum mampu bersaing dengan gula rafinasi. Hal ini mesti masuk dalam kerangka revitalisasi pabrik gula karena perlu ada penggantian mesin," kata dia.
Korbankan label halal
Selain persoalan gula, relasi dagang dengan negara lain juga membuat pemerintah terpaksa mengubah ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan. Hal itu menyusul kekalahan Indonesia atas sengketa perdagangan dengan Brasil tentang produk unggas di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kementerian Perdagangan menghapuskan kewajiban pencantuman label halal bagi impor produk hewan dan turunannya. Kewajiban tersebut tidak ada dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.
Permendag Nomor 29/2019 itu menggugurkan Permendag Nomor 59 Tahun 2016 yang menyebutkan, produk hewan yang diimpor wajib dicantumkan label pada kemasan. Label itu salah satunya memuat keterangan terkait kehalalan.
Baca juga: Kalah dengan Brasil di WTO, Indonesia Korbankan Label Halal
Enggartiasto menyatakan, Permendag Nomor 29/2019 mesti ada sebagai bentuk kepatuhan terhadap WTO dan menghindari potensi retaliasi dari negara pihak ketiga yang digandeng Brasil. AS dan Uni Eropa termasuk di dalamnya.
Permendag Nomor 29/2019 mesti ada sebagai bentuk kepatuhan terhadap WTO dan menghindari potensi retaliasi dari negara pihak ketiga yang digandeng Brasil.
Di sisi lain, Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menilai, pemerintah seharusnya mampu mempertahankan kewajiban pencantuman label halal, karena merupakan kebutuhan pasar dan konsumen Indonesia.
Konsumen Indonesia membutuhkan jaminan kehalalan pada suatu produk. "Jaminan halal tersebut menjadi salah satu bentuk perlindungan pasar dalam negeri di kancah perdagangan internasional," kata Rachmi.
Garam terancam
Pada awal 2019, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) ditandatangani. Dalam dokumen IA-CEPA, Indonesia menurunkan tarif impor garam bagi Australia sebesar 97,4 persen dalam kerangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA).
Hal itu juga berpotensi mengancam serapan garam petani oleh industri pengguna. Pada tahun ini, pemerintah telah menetapkan kuota impor garam untuk keperluan industri sebanyak 2,7 juta ton. Di sisi lain, pemerintah memproyeksikan, produksi garam rakyat mencapai 2,3 juta ton-2,5 juta ton.
Baca juga: Petambak Garam Makin Terpuruk
Setelah memperlonggar regulasi dan menurunkan tarif bea masuk negara lain, pasar dalam negeri kini membutuhkan langkah perlindungan dari pemerintah. Manisnya relasi dagang Indonesia dengan negara-negara lain itu jangan sampai membuat industri dalam negeri, terutama industri rakyat, tak berdaya. Boleh menjaga ekspor-impor, asalkan produsen dalam negeri terjamin tetap merajai pasar nasional.