Biasanya, orang yang ingin bunuh diri akan menunjukkan gejala depresi mayor, seperti kehilangan minat dan semangat, serta sering terlihat murung.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ilustrasi: Murid kelas VI mengikuti ujian praktik bola basket mata pelajaran Pendidikan Jasmani di SD Al Azhar 15, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (15/3/2019). Upaya deteksi risiko bunuh diri di kalangan remaja perlu lebih diintensifkan untuk memudahkan intervensi pencegahan terjadinya bunuh diri.
JAKARTA, KOMPAS — Kematian tertinggi akibat bunuh diri di negara berpendapatan rendah dan menengah ditemukan pada orang berusia 20 tahun. Untuk itu, pencegahan dini dan intervensi psikologis harus intensif dilakukan sejak anak masih dalam usia sekolah agar tidak menghambat perwujudan sumber daya manusia yang unggul.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2012 memperkirakan ada 804.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia dengan tingkat kematian tertinggi ditemukan pada orang berusia 20 tahun. Di Indonesia sendiri, prevalensi bunuh diri pada 2016 sebanyak 3,7 per 100.000 penduduk atau satu orang per jam. Meski begitu, WHO menilai perhitungan tersebut dinilai belum akurat karena Indonesia belum punya sistem pencatatan data bunuh diri secara nasional.
”Pemerintah belum punya data bunuh diri secara nasional dan belum memiliki strategi nasional pencegahan bunuh diri. Hal ini menunjukkan, bunuh diri belum jadi isu prioritas. Padahal, masalah kesehatan jiwa yang menjadi penyebab bunuh diri bisa menghambat pertumbuhan ekonomi bangsa jangka menengah dan panjang,” ujar anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Nova Riyanti Yusuf, di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Sebagai persoalan nasional, bunuh diri seharusnya bisa dicegah. Perubahan perilaku yang ditunjukkan seseorang bisa dirasakan dan dilihat oleh lingkungan di sekelilingnya, terutama keluarga. Biasanya orang yang ingin bunuh diri akan menunjukkan gejala depresi mayor, seperti kehilangan minat dan semangat, serta sering terlihat murung. Pada usia anak, gejala itu bisa diikuti gejala lain, seperti hilangnya nafsu makan, gangguan tidur, dan prestasi yang menurun.
Kompas/Fajar Ramadhan
Dosen Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta, Nova Riyanti Yusuf, menyampaikan ringkasan sidang doktoralnya mengenai ”Deteksi Dini Faktor Risiko Ide Bunuh Diri Remaja di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/Sederajat di DKI Jakarta”.
Nova, yang juga psikiater, mengatakan, remaja yang tidak terindikasi depresi hanya 28 persen. Artinya, sebagian besar remaja menjalani hidup dengan kondisi depresi. Faktor pemicunya, antara lain, media sosial, permainan daring, merasa prestasi lebih rendah dari yang ditargetkan, dan mendapat penolakan dari lingkungan pertemanan.
Untuk itu, deteksi faktor risiko ide bunuh diri remaja sangat dibutuhkan sebagai upaya pencegahan dini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nova dalam memperoleh gelar doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada 2019, pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri berpotensi 5,39 kali lebih besar bunuh diri daripada yang tidak terdeteksi.
”Instrumen deteksi faktor risiko bunuh diri perlu dilakukan secara masif pada anak usia sekolah, terutama tingkat SMP dan SMA, agar upaya intervensi dan kontrol bisa dilakukan lebih cepat. Hal ini mengingat angka kematian tertinggi akibat bunuh diri ditemukan pada usia 20 tahun,” ujarnya.
Butuh aturan turunan
Ia pun mendorong pemerintah segera mengeluarkan regulasi turunan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Namun, hingga saat ini belum ada regulasi turunan, baik melalui Menteri Kesehatan maupun Menteri Sosial.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Karya seni para penyandang gangguan jiwa di Outsider Art Shop di Terogong, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Art shop ini didirikan oleh Timotius Suwarsito yang juga menjadi mentor sejumlah seniman seni brut.
Ditemui secara terpisah, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, upaya pencegahan gangguan kesehatan jiwa dilakukan dengan layanan khusus melalui telepon 500-494. Layanan ini bisa dimanfaatkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan konseling khusus tentang berbagai masalah kejiwaan.
”Kami juga mendorong pemerintah daerah berinovasi dalam pemberian layanan konseling di fasilitas layanan kesehatan. Adanya konsep jemput bola dari tenaga kesehatan ke masyarakat juga harus ditingkatkan,” tuturnya.