Berdaya dengan Kusta
Siapa sangka di balik kehidupan normal Kampung Sitanala, Tangerang, itu ada perjuangan hidup yang tak mudah. Tetap berdaya bagi penderita dan mantan penderita kusta menjadi sesuatu yang layak dihargai.
Sekilas, deretan rumah yang berlokasi di belakang Rumah Sakit Dr Sitanala, Tangerang, itu tampak seperti kampung umumnya. Jajaran rumah petak berdiri saling berhadapan di gang-gang yang bisa dilalui satu sepeda motor dengan jalan yang tersusun dari konblok. Sejumlah warga bercengkerama di depan rumah. Tak ada yang istimewa.
Baru ketika saya masuk halaman sebuah rumah dan bertemu Abdul Wahab (74), kekhasan penghuni kampung ini pun tampak. Saat bersalaman, jari-jari kedua tangan Abdul Wahab tertekuk, beberapa bahkan tak utuh lagi. Demikian pula kedua jari kakinya yang saat itu tak beralas kaki.
Abdul Wahab adalah mantan penderita kusta. Ia tinggal di RT 003 Kelurahan Karangsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, sebuah kompleks permukiman mantan penderita kusta yang menjadi bagian dari RS Sitanala. Abdul Wahab termasuk salah satu penghuni awal kampung yang sering disebut Kompleks Serba Guna ini.
”Saya masuk sini tahun 1963. Waktu itu masih kelas II SMA di Solo,” ucapnya. Meski tanda-tanda kusta telah muncul saat ia duduk di bangku SMP, baru saat SMA seorang gurunya menyarankannya untuk berobat ke Pusat Rehabilitasi Kusta Sitanala, Tangerang. Tanpa memberi tahu kakak yang menampungnya selama SMA di Solo ataupun orangtuanya yang bermukim di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, ia pergi ke Tangerang seorang diri.
Catatan Peter B Carey, sejarawan Inggris yang pernah melakukan survei di Sitanala pada 2010, menyatakan Rumah Sakit Sitanala merupakan bagian dari sejarah panjang pemberantasan kusta sejak masa kolonial Belanda.
Rumah Sakit Kusta Sitanala didirikan oleh Departemen Kesehatan RI dan resmi digunakan pada 1951. Rumah sakit ini merupakan pindahan dari Leprosarium Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Catatan Peter B Carey, sejarawan Inggris yang pernah melakukan survei di Sitanala pada 2010, menyatakan Rumah Sakit Sitanala merupakan bagian dari sejarah panjang pemberantasan kusta sejak masa kolonial Belanda.
Rumah sakit lepra pertama di Hindia Belanda didirikan tahun 1666 oleh Kongsi Dagang Hindia Timur atau lebih dikenal dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di area yang sekarang bernama Muara Angke, Jakarta Utara. Di awal pendiriannya, Rumah Sakit Kusta Sitanala merupakan rumah sakit kusta terbesar kedua di dunia setelah Christian Medical College and Hospital di Vellore, India.
Nama awalnya adalah Rumah Sakit Sewan, sesuai nama daerah di situ. Menteri Kesehatan Prof Dr Satrio pada 1952 mengubah namanya menjadi Pusat Rehabilitasi Kusta Sitanala untuk menghormati Doktor Jakob Bernardus Sitanala (1889-1958). Dr JB Sitanala adalah seorang dokter sekaligus pejuang kemerdekaan dari Ambon yang mendedikasikan hidupnya untuk memberantas kusta.
Pusat rehabilitasi
Rumah Sakit Sitanala dinamakan Pusat Rehabilitasi karena tempat itu bukan seperti rumah sakit umumnya. Ia bukan sekadar tempat menyembuhkan penyakit, tetapi lebih dari itu juga tempat memulihkan kehidupan dan martabat para mantan penyandang kusta yang dikucilkan masyarakat.
Dibangun di atas tanah seluas 54 hektar, rumah sakit kusta Sitanala saat itu memiliki kapasitas 550 tempat tidur yang tersebar di 11 bangsal. Ingatan Abdul Wahab masih lekat ketika ia dirawat di bangsal anak, terpisah dari ratusan pasien dewasa.
”Bangsal anak mirip seperti asrama. Ada pengasuh untuk yang usianya masih sangat muda. Saat itu banyak sekali pasien dewasa, mungkin ratusan. Satu bangsal bisa diisi 40-50 pasien,” kenangnya.
Ia menjalani perawatan dan rehabilitasi di Sitanala selama 10 tahun. Pasien diurus dengan sangat baik, hampir tak ada hari tanpa minum obat. Tak hanya perawatan medis, menurut Abdul Wahab, pasien yang kondisinya sudah lebih baik juga diberikan berbagai pelatihan.
Baca juga: Jejak Kusta di Nusantara
Selama itu, tak ada sanak keluarga ataupun teman-teman yang menjenguknya. Abdul Wahab tak sendiri karena, menurut dia, mayoritas pasien di Sitanala ketika itu ”dibuang” oleh keluarga. Pandangan tentang penyakit kusta sebagai penyakit kutukan dan gampang menular masih dominan ketika itu. Namun, kebanyakan dari mereka, termasuk Abdul Wahab, justru menemukan keluarga barunya di Sitanala, termasuk jodoh, sesama penyandang kusta.
”Saya bertemu istri di sini. Ia dirawat di bangsal khusus perempuan. Berawal dari saling pandang lalu sering ketemu. Rumah sakit juga memfasilitasi pernikahan di KUA bagi pasien yang telah dinyatakan sembuh oleh dokter,” ujarnya.
Komunitas kusta
”Dulu di sini masih hutan dan tanah kosong. Rumah sakit memberikan tanah-tanah ini, tetapi kami harus membangun rumah sendiri,” ujar Abdul Wahab.
Ingatan Abdul Wahab mengungkapkan bahwa wilayah permukiman mulai dibangun untuk memberikan tempat para penderita yang secara medis telah dinyatakan sembuh, tetapi tak bisa kembali ke kampung asalnya.
”Jangankan kembali ke kampung asal, kalau kami keluar dari rumah sakit ini, kebanyakan orang luar yang melihat langsung menyingkir atau memilih menyeberang sehingga tidak perlu berpapasan dengan kami,” kata Abdul Wahab.
Perlahan, area tersebut berubah menjadi kompleks permukiman dan membentuk komunitas baru. Wilayah seluas 54 hektar tersebut saat ini, selain bangunan Rumah Sakit Sitanala, juga dipadati oleh rumah, sekolah, masjid, gereja, klinik, gelanggang olahraga, lapangan bola, balai RW, warung, minimarket, bahkan pujasera.
Permukiman warga terbagi menjadi lima RT yang dihuni sekitar 1.200 KK. Dari lima RT, RT 001 merupakan kampung lama yang dulunya dihuni oleh generasi pertama mantan penderita kusta.
Di komunitas inilah, asa dan cita-cita penderita kusta untuk hidup layak dirajut bersama.
Sebagai pusat rehabilitasi kusta terbesar di Indonesia, pasien yang berobat ke Sitanala dulu berasal dari banyak provinsi sehingga permukiman dihuni oleh orang dari berbagai latar belakang wilayah, etnis, dan agama.
Survei Litbang Kompas pada akhir Agustus 2019 lalu terhadap 200 penghuni permukiman memperlihatkan komposisi daerah asal mereka yang sangat beragam, yaitu dari 32 kabupaten/kota yang tersebar di 14 provinsi Indonesia.
Mereka membentuk keluarga dan komunitas baru karena persamaan nasib.
Di komunitas inilah, asa dan cita-cita penderita kusta untuk hidup layak dirajut bersama. Tak mudah mewujudkannya karena kusta telah merenggut fisik maupun mental mereka.
Hasil survei juga menunjukkan ragam kecacatan akibat kusta yang diderita para penghuni permukiman. Dari 100 penderita dan mantan penderita kusta yang diwawancarai, 29 persen kehilangan jari tangan, pergelangan tangan (3 persen), hingga seluruh lengan (2 persen). Sebanyak 26 persen masih memiliki jari tangan, tetapi kehilangan kemampuan geraknya.
Sementara itu, kusta juga merenggut bagian kaki. Proporsi terbesar adalah kehilangan jari-jari kaki (42 persen). Lalu, berturut-turut tak punya pergelangan kaki (18 persen), betis (13 persen), kehilangan kemampuan gerak meski masih memiliki jari kaki dan betis (24 persen).
Kusta juga menyerang bagian kepala dan wajah mereka, mulai dari mengalami buta (1 persen), setengah buta (9 persen), kelopak mata tidak dapat menutup (3 persen), alis atau bulu mata rontok (11 persen), rambut rontok (13 persen), kehilangan tulang hidung (9 persen), serta rahang mati (7 persen).
Dengan semua keterbatasan fisik tersebut, ditambah stigma yang mengikuti, tak banyak jenis pekerjaan yang bisa mereka dapatkan. Hasil survei menyebutkan, sebanyak 25,5 persen tidak memiliki pekerjaan, 18, 5 persen ibu rumah tangga, dan 14,5 persen berusaha sendiri sebagai penjual buah, sayur, makanan, ataupun bahan pokok.
Sisanya menjadi tukang sapu jalanan (12,5 persen) di Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang, buruh serabutan (12 persen), dan berbagai jenis pekerjaan lainnya (10 persen).
Meskipun demikian, banyak mantan penderita yang tetap berusaha mandiri secara ekonomi. Abdul Wahab dulu bisa bekerja di pabrik konveksi milik Yayasan Marfati, sebuah yayasan Katolik yang menampung para mantan penderita kusta, dengan bekal keterampilan menjahit yang diperoleh dari pelatihan selama rehabilitasi.
Bekerja di pabrik konveksi dijalani Abdul Wahab sejak 1973 hingga 1992. Setelah itu, hingga kini, ia berjualan buah keliling permukiman dan rumah sakit dengan sepedanya. Dengan kondisi tersebut dan bantuan beberapa sponsor untuk biaya pendidikan, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SMA. Anak bungsunya kemudian menjadi pekerja migran di Taiwan dan bisa membantu renovasi rumah Abdul Wahab.
Dengan semua keterbatasan fisik tersebut, ditambah stigma yang mengikuti, tak banyak jenis pekerjaan yang bisa mereka dapatkan.
Sementara penghuni lainnya, Abdul Gofur (52), mengingat usaha ayahnya, almarhum Ali Munir, dalam menghidupi keluarga. ”Ayah saya kehilangan satu kakinya dan ibu kedua tangannya. Ibu dulu dengan susah payah memasak lauk pauk, lalu ayah menjualnya keliling bangsal rumah sakit. Bahan masakan berasal dari jatah pemerintah berupa beras, minyak goreng, tempe-tahu, daging, pisang,” tutur Abdul Gofur terkenang.
Abdul Gofur dan dua saudaranya juga bisa tamat SMA. Saat ini, mereka memiliki pekerjaan masing-masing. Abdul Gofur bekerja sebagai sekuriti di rumah sakit Pemerintah Kabupaten Tangerang, sedangkan kakak perempuannya menjadi guru dan adik laki-lakinya bekerja di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Baca juga: Stigma dan Diskriminasi Menghambat Eliminasi Kusta
Mengubah stigma
Seluruh keterbatasan fisik dan beban stigma terbukti tak membuat para mantan penderita kusta berhenti berusaha. Bahkan, sebagian di antara mereka berupaya mengubah persepsi masyarakat umum terhadap pasien kusta.
Amri (45) baru bermukim di Karangsari pada 2011. Ia berasal dari Soppeng, Sulawesi Selatan. Amri dinyatakan menderita kusta pada 2001 ketika berusia 30 tahun. Ia lalu berobat ke Makassar. Pada 2006, kaki kanannya diamputasi. Setelah dinyatakan sembuh, ia mulai banyak mempelajari kusta dan aktif di organisasi Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata) di Makassar.
Permata Indonesia merupakan organisasi yang didirikan pada 15 Februari 2007 dengan dukungan dari The Leprosy Mission International dan Sasakawa Memorial Health Foundation. Yohei Sasakawa merupakan Duta Besar Badan Kesehatan PBB (WHO) untuk Eliminasi Kusta. Permata Indonesia dideklarasikan oleh 12 mantan penderita kusta dari tiga provinsi, yakni Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan NTT.
Sebagai anggota Permata di Makassar, Amri ikut aktif dalam kampanye untuk mengurangi stigma dan diskriminasi kepada mantan penyandang kusta. Selama mengikuti kegiatan, Amri juga mengalami langsung perlakuan diskriminatif tersebut. Pada 2007 ketika mengurus tempat kegiatan organisasi di sebuah hotel di Makassar, ia dan teman-temannya sempat ditolak sekuriti setelah tahu acara itu untuk para penyandang cacat kusta.
”Meski akhirnya kami diizinkan melaksanakan kegiatan di situ, rasa disingkirkan nyata kami alami,” ujar Amri.
Pengalaman diskriminatif dan stigma juga muncul di hasil survei. Ada yang mengakui pernah ditolak saat melamar kerja karena cacat fisiknya (23 persen), ditolak berjabat tangan (32 persen), dan dijauhi nonpenderita kusta (28 persen).
Sebagai anak penderita pun tak lepas dari stigma tersebut. Hal itu dialami Abdul Gofur. Beberapa teman sekolahnya kerap membicarakan dirinya yang berkaitan dengan kusta.
Mengubah persepsi masyarakat akan membantu proses eliminasi kusta.
”Mereka ngomongin saya di belakang. Biasanya mengejek. Sempat juga berantem fisik karena sudah keterlaluan,” katanya. Namun, selebihnya ia biarkan ejekan itu berlalu. Hal terpenting baginya adalah bisa lulus sekolah dengan baik.
Dua anak Abdul Wahab justru dididik untuk berterus terang tentang kondisi orangtuanya. Tak ada yang perlu ditutupi, sambil menjelaskan bahwa penyakit yang pernah diderita kedua orangtuanya tersebut tak lagi menular. Terbukti kedua anaknya tidak menyandang kusta.
”Teman-teman anak sulung saya sejak dulu sering main ke rumah, bahkan tidur-tiduran di lantai rumah dan ikut makan yang kami makan,” cerita Abdul Wahab. Hingga kini, tiap Lebaran silaturahim teman-teman anaknya tetap terjalin dengan selalu berkunjung ke rumahnya.
Menurut Amri, pemahaman yang benar tentang kusta perlu disebarkan ke masyarakat. Mengubah persepsi masyarakat akan membantu proses eliminasi kusta.
Indonesia telah meraih status eliminasi kusta dengan prevalensi kusta di bawah 1 per 10.000 penduduk, tetapi posisinya masih ketiga teratas di dunia untuk jumlah penderita kusta pada 2008-2017.
Pada 2017, terdapat 15.910 kasus kusta baru ditemukan di Indonesia. Jumlah ini merupakan yang terkecil selama sepuluh tahun terakhir. Jumlah tertinggi terjadi pada 2011, yaitu sebanyak 20.023 kasus.
Ada yang mengakui pernah ditolak saat melamar kerja karena cacat fisiknya (23 persen), ditolak berjabat tangan (32 persen), dan dijauhi nonpenderita kusta (28 persen).
Amri berharap orang dari Dinas Kesehatan ikut mendampingi para mantan penderita untuk sosialisasi ke sekolah-sekolah dan masyarakat umum.
”Bagaimanapun, para mantan penderita kusta sendirilah yang mengenal betul soal kusta dibandingkan yang belum pernah mengalami. Tanda-tanda awalnya, bagaimana proses pengobatannya, pengalaman stigma dan diskriminasi, serta cara menghadapinya,” tuturnya.
Advokasi yang dilakukan mantan penderita kusta akan turut berpengaruh menebalkan rasa percaya diri mereka. Kegiatan itu bisa mengubah self-stigma yang masih banyak menghinggapi diri mantan penderita.
Eliminasi terhadap stigma, diskriminasi, ataupun self-stigma pada penyandang kusta akhirnya tidak hanya menyingkirkan kusta, tetapi juga akan mengembalikan martabat mereka yang telah dikoyak-koyak oleh kusta. (LITBANG KOMPAS)