Bagaimana Liputan Investigasi ”Kompas” soal Tekfin Ilegal
Tak hanya menjerat dengan bunga mencekik, rentenir digital ini memperlakukan nasabah semena-mena saat penagihan utang, mulai dari intimidasi hingga pelecehan seksual.

Korban pinjaman daring yang mengadu ke LBH Jakarta tengah berunjuk rasa di depan Mabes Polda Metro Jaya, Sabtu (23/3/2019).
Tingkah laku perusahaan teknologi finansial (tekfin) pinjaman antarpihak ilegal membuat resah warga. Tak hanya menjerat dengan bunga mencekik, rentenir digital ini memperlakukan nasabah semena-mena saat penagihan utang, mulai dari intimidasi hingga pelecehan seksual.
Puncaknya adalah hilangnya nyawa Zulfadli (35), Senin (11/2/2019), seorang sopir taksi yang gantung diri, diduga akibat stres terjerat utang rentenir digital ilegal.
Fenomena yang telah menelan korban jiwa ini tak bisa dibiarkan lagi berulang. Inilah yang menggugah tim liputan khusus Kompas untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa berkembang fenomena lintah darat daring yang ilegal ini? Siapa di balik perusahaan ini? Bagaimana cara mereka beroperasi?
Kompas berhasil menelusuri seluk-beluk tekfin ilegal. Laporannya kemudian terbit di harian Kompas secara berseri di halaman pertama pada 17-20 Juni 2019 dan Kompas.id.

Berita yang mengungkap tekfin ilegal tayang di halaman depan ”Kompas”, 17 Juni 2019.
Langkah pertama yang kami kerjakan adalah mendapatkan keterangan dari korban. Kami kemudian pergi ke LBH Jakarta yang membuka posko aduan korban tekfin ilegal. Kami berhasil mendapatkan kontak dua narasumber yang bersedia ditemui wartawan.
Salah satunya Tina (27), korban tekfin ilegal yang kami temui di sebuah gerai ritel di Jakarta Selatan. Tina yang kini bekerja sebagai pengemudi ojek daring merelakan waktunya untuk bercerita panjang lebar mengungkapkan semua yang ia alami.
Tina adalah satu dari ribuan orang yang tercekik utang tekfin ilegal. Tingginya bunga dan pendeknya tenggat pengembalian membuat utangnya semakin membengkak. Tekanan semakin bertambah karena Tina kemudian kehilangan pekerjaan lantaran si penagih utang mengontak atasannya yang lantas memintanya mengundurkan diri.
Di rumah, Tina juga bersitegang dengan orangtuanya yang menyalahkannya karena terjerat utang itu. Pasalnya, tabungan orangtuanya yang bekerja sebagai sopir antar-jemput sekolah dan guru SD ini terkuras untuk melunasi utang Tina yang sudah mencapai lebih dari Rp 50 juta dan tersebar di 14 aplikasi. Itu pun sebenarnya belum mencukupi.

Warga memperlihatkan pesan singkat berisi penawaran pinjaman berbasis aplikasi di Jakarta, Senin (17/6/2019). Penawaran pinjaman tunai melalui aplikasi ataupun situs dari perusahaan teknologi finansial semakin marak. Hingga April 2019, Satuan Tugas Waspada Investasi telah memblokir 947 entitas teknologi finansial berjenis pinjaman antarpihak (”peer to peer lending”) yang tak mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Puncaknya Tina sempat ingin mengakhiri nyawanya setelah sebelumnya mengurung diri di kamar dan mogok makan berhari-hari. ”Saya bingung bagaimana melunasinya. Saya takut dipenjara dan saya sempat berpikir untuk bunuh diri,” ujar Tina lirih.
Korban lainnya, FY (30), punya kisah tidak kalah memilukan. Dia diminta sang penagih utang menari-nari telanjang di pinggir rel kereta sebagai pelunas utang.
”Dia bilang, saya mesti nari-nari telanjang. Saya mesti joget-joget di pinggir rel. Supaya utang dianggap lunas,” ujar FY geram.
Kisah selengkapnya bisa dibaca di Teror, Pelecehan, hingga Nyawa

Petugas Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang memantau konten-konten yang ada di internet, termasuk aplikasi teknologi finansial, di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Selasa (2/4/2019). Berdasarkan laporan masyarakat dan Satgas Waspada Investasi, Kemkominfo dapat menutup aplikasi ataupun situs teknologi finansial ilegal yang diduga merugikan publik.
Penelusuran dokumen
Setelah mendengarkan cerita korban dan mengantongi nama-nama aplikasi tekfin ilegal yang menjerat mereka, kami memperoleh dokumen digital berisi daftar 947 tekfin ilegal yang sudah diblokir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Kami kemudian memadankan daftar aplikasi dalam daftar dengan aplikasi yang menjerat para korban yang telah kami wawancarai. Kami juga menemukan, hanya 16 perusahaan yang mencantumkan alamatnya, selebihnya tidak. Selain itu hanya 10 perusahaan saja yang mencantumkan nama entitas usaha atau nama perusahaan mereka, selebihnya kosong.
Saya bingung bagaimana melunasinya. Saya takut dipenjara dan saya sempat berpikir untuk bunuh diri.
Kami juga dibantu rekan-rekan dari Litbang Kompas, yakni ATM dan ADV, yang mencoba mengunduh dan memasang aplikasi demi aplikasi. Hasilnya, dari 947 aplikasi yang dilaporkan ditutup pemerintah, sebanyak 105 di antaranya tetap masih bisa diunduh.
Kami juga mengirim e-mail ke ratusan aplikasi itu, berpura-pura menjadi nasabah yang ingin meminjam. Hasilnya serupa, masih ada puluhan aplikasi yang menjawab dan menerima pengajuan pinjaman. Penelusuran dokumen ini membutuhkan kesabaran serta ketelitian.

Temuan kami lainnya adalah adanya aplikasi yang muncul kembali, padahal sudah pernah ditutup pemerintah. Misalnya, aplikasi Cashstore yang sudah ditutup 27 Juli 2018 muncul kembali dengan mengubah nama menjadi Cashcash. Aplikasi itu kemudian diblokir pada 13 Februari 2019. Berdasarkan data Satuan Tugas Waspada Investasi, kedua aplikasi dibuat oleh pengembang yang sama, yakni Firestorm-sea.
Berdasarkan dokumen yang kami peroleh, kami kemudian turun ke lapangan untuk menyelidiki seperti apa keadaan kantor beberapa perusahaan pembuat aplikasi tersebut. Hasilnya, alamatnya bodong semata.
Alamatnya memang benar ada, tetapi kantor aplikasinya yang tidak ada. Ada pula yang menebeng pada alamat perusahaan tekfin asli atau menggunakan alamat lama yang sudah tidak ditempati.
Temuan lain, di salah satu alamat kantor tekfin yang sudah ditutup, ternyata masih ada aktivitas berlangsung. Namun, salah seorang pegawai di perusahaan itu membantah kantornya adalah tekfin yang sudah ditutup tersebut. Dia juga mengatakan, kantornya itu telah berganti menjadi perusahaan lainnya.
Kisah selengkapnya bisa dibaca di Rentenir Digital Berkeliaran
Tidak hanya itu, kami juga berusaha mencari tahu identitas pemilik perusahaan tekfin ilegal itu. Caranya, dengan membeli akta identitas perusahaan di kantor Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Publik berhak membeli dokumen tersebut dengan membayar sesuai ketentuan tarif yang masuk kas negara. Berbekal dokumen itu, kami berhasil mengantongi nama-nama pemilik perusahaan-perusahaan tersebut.

Narasumber kunci
Meski banyak fakta ”basah” sudah kami kantongi, belum lengkap tanpa kami berhasil mengungkap bagaimana cara kerja perusahaan tekfin ilegal ini. Untuk itu, kami berusaha mencari informasi dari orang ”dalam”.
Keberadaan perusahaan rente ilegal tentu saja mengusik keberlangsungan bisnis perusahaan legal. Tak lain karena sepak terjang perusahaan ilegal yang menyebabkan citra aplikasi tekfin pinjaman antarpihak menjadi buruk. Salah seorang petinggi perusahaan tekfin legal yang kami temui, memperkenalkan kami kepada seorang mantan direktur di sebuah perusahaan tekfin ilegal.
Keberadaan perusahaan rente ilegal tentu saja mengusik keberlangsungan bisnis perusahaan legal.
Mantan direktur yang memendam rasa benci karena merasa telah ditipu perusahaan tekfin ilegal yang memperkenalkan diri sebagai perusahaan resmi ini kemudian mengungkapkan cara kerja perusahaan ilegal tersebut. Dia juga mengungkapkan identitas pemilik perusahaan, modus, serta motif mereka beroperasi di Indonesia.
Dia juga memperkenalkan kami kepada rekannya yang juga mantan pekerja di tekfin ilegal, yakni mantan ahli pemrograman dan mantan analis kredit. Mereka juga bercerita panjang lebar mengenai bagaimana perusahaan tekfin ilegal itu bekerja.

Meski sudah mengantongi cerita tiga narasumber mantan pekerja tekfin ilegal, kami masih merasa belum lengkap tanpa mendapatkan cerita dari penagih utang. Kami akhirnya menemui IS, mantan penagih utang dari perusahaan VLoan, yang ditahan di Rumah Tahanan Salemba.
IS ditahan karena menjadi tersangka penyebaran konten pornografi. Saat menagih utang, IS beserta rekannya menyebarkan gambar pornografi ke sebuah grup Whatsapp berisi nasabah berutang dan kontak-kontak temannya. Nasabah itu lalu melapor kepada polisi. IS beserta tiga rekannya kemudian diringkus polisi.
Setelah kejadian itu, pemilik dan manajemen VLoan cepat-cepat menghilangkan diri. Saat Kompas mendatangi kantornya yang berada di bilangan Slipi, perusahaan yang dimiliki warga negara asing (WNA) asal China berinisial JW itu sudah tak lagi beroperasi.
Kami berhasil menemui IS setelah melobi polisi dan kejaksaan. Karena tidak tahu persis wajah IS, kami pun mencari tahanan yang tidak menemui sanak keluarganya di ruang itu. Setelah menanyai beberapa tahanan dan memperhatikan sekeliling, kami pun berhasil menemui IS.

Suasana kantor PT Cash Express Indonesia yang mengembangkan aplikasi tekfin ilegal Angel Cash. Di kantor tersebut tidak terdapat papan nama yang menunjukkan identitas perusahaan.
Awalnya tidak mudah untuk membuat IS mau bercerita. Sebab, kami semua baru pertama kali bertemu. Kami mencoba berempati bahwa dia hanyalah korban kelicikan pemilik tekfin ilegal. Rupanya itulah yang selama ini IS rasakan.
Dia jengkel lantaran dijanjikan bakal didampingi secara hukum oleh perusahaan. Namun, setelah dia dan empat rekannya ditahan, manajemen perusahaan menghilang. Setelah empatinya tersentuh, IS pun mengungkapkan bagaimana bekas perusahaannya itu bekerja.
”Tapi, nyatanya mereka menghilang. Alamat perusahaan sudah tutup. Pemilik perusahaan seorang WNA dari China pergi entah ke mana. Kami ditinggal pergi begitu saja,” kata IS.
Baca kisah selengkapnya: Penagih Utang pun Mendadak Jadi Komisaris
Wawancara di ruang kunjungan tahanan juga punya tantangan tersendiri sebab kami tidak boleh membawa catatan ataupun alat elektronik untuk merekam. Maka, satu-satunya cara adalah mengingat apa yang dikatakan narasumber. Agar bisa saling mengingatkan dan mencegah ketidakuratan, kami datang berdua ke rumah tahanan itu.
Dari IS, kami memperoleh gambaran lengkap bagaimana perusahaan tekfin ilegal bekerja. Kini kami punya gambaran utuh bagaimana perusahaan itu bekerja.
Dari sini, kami melengkapinya dengan wawancara sumber lain, seperti pemerintah, asosiasi, dan perusahaan-perusahaan tekfin resmi lainnya. Seusai mengumpulkan semua fakta dan informasi, kami pun menulis dan menerbitkan laporan mengenai rentenir digital tersebut.