Pengungkapan kasus persekusi dan rasialisme terhadap penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, belum tuntas tetapi ancaman masih terjadi. Seperti Senin (9/9/2019) pagi, mereka mendapati karung berisi ular.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Pengungkapan kasus persekusi dan rasialisme terhadap penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, belum tuntas tetapi ancaman terus terjadi. Seperti Senin (9/9/2019) pagi, mereka mendapati karung berisi ular yang diduga dilempar oleh empat orang.
Menurut keterangan dari asrama, pelemparan ular terjadi menjelang pukul 04.30 WIB. Kondisi masih gelap. Kebanyakan penghuni asrama terlelap meski ada beberapa yang berjaga.
Mahasiswa yang berjaga melihat empat orang tidak dikenal, berboncengan di dua sepeda motor matic berhenti di depan asrama. Dua orang turun dari sepeda motor dan melempar dua karung ke halaman asrama dan bergegas kabur. Penghuni tak sempat mengidentifikasi jenis dan pelat nomor kendaraan.
Selanjutnya, mahasiswa yang berjaga mendatangi dua karung yang dilempar oleh pelaku. Kedua karung itu tidak terikat. Mereka terkejut karena dari salah satu karung keluar tiga ekor ular yang kemudian kabur ke selokan. Mahasiswa belum berhasil menangkap binatang liar itu. Satu karung lainnya berisi ular piton dengan bobot kira-kira 20 kilogram.
Juru Bicara Asrama Mahasiswa Papua, Alince Takenge melalui Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan, adanya tiga ular yang belum berhasil ditangkap mencemaskan mahasiswa.
Mereka kemudian membangunkan seluruh penghuni untuk waspada agar tidak ada yang menjadi korban gigitan satwa itu. Mereka khawatir ular yang belum berhasil ditangkap itu liar dan berbisa mematikan.
Teror dini hari itu juga mendorong mahasiswa untuk mendatangi sekelompok orang yang berada tak terlalu jauh dari asrama. Orang-orang itu diyakini aparatur negara yang ditugasi memantau aktivitas di asrama. Didatangi mahasiswa, sekelompok orang itu malah kabur tetapi ada yang meninggalkan teropongnya. Benda ini kemudian diambil dan disita oleh penghuni asrama.
Teror itu belum dilaporkan oleh penghuni asrama ke Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya atau Polda Jatim. Mereka masih trauma dengan persekusi dan rasialisme dalam pengepungan oleh aparatur negara dan organisasi massa pada Jumat (16/8) dan Sabtu (17/8) lalu. Mereka meragukan kinerja aparatur terhadap pengungkapan kasus itu yang belum selesai hingga sekarang.
Beberapa hari sebelum teror pelemparan karung berisi ular, asrama juga ‘diserang’ aksi pelemparan cat. Seseorang tak dikenal melempar cat ke spanduk bertuliskan Referendum Is Solution yang memang dipasang oleh penghuni asrama.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Sudamiran yang dikonfirmasi secara terpisah mengatakan, akan menyelidiki peristiwa pelemparan karung berisi ular ke asrama. Di sisi lain, ia menyesalkan keengganan penghuni asrama melapor ke polisi.
Sebelumnya, Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Luki Hermawan mengatakan, dalam pengungkapan kasus persekusi dan rasialisme terhadap penghuni asrama, tim penyidik telah menetapkan empat tersangka.
Masing-masing adalah Tri Susanti, bekas calon anggota legislatif, Syamsul Arifin, pegawai Pemerintah Kota Surabaya, warga Kebumen, Jawa Tengah, bernama Andria Adiansah, dan pengacara hak asasi manusia Veronika Koman. Selain Veronika, tiga tersangka sudah ditangkap, diperiksa dan ditahan.
Khusus untuk penetapan tersangka terhadap Veronika, Luki menyanggah pendapat hal itu sebagai bentuk kriminalisasi oleh tim penyidik.
Kami punya dasar hukum dan bukti-bukti yang kuat untuk menetapkan status (Veronika) tersangka, kata Luki.
Sekretaris Jenderal Federasi KontraS Andy Irfan yang dihubungi secara terpisah mengatakan, penetapan status tersangka terhadap Veronika menunjukkan kinerja tim penyidik Polri tidak akuntabel. Penetapan itu telah dilaporkan ke Komisi Nasional HAM dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Laporan ini merupakan permintaan dari teman-teman mahasiswa Papua di Surabaya bahwa Veronika adalah kuasa hukum mereka, kata Andy.
Tuduhan terhadap Veronika yang menyampaikan hoaks melalui akun Twitter tentang situasi pengepungan di asrama tempo hari dalam pendapat KontraS dan penghuni asrama justru benar-benar terjadi.
Baca juga : Memperjuangkan Aspirasi Partai Politik Lokal Papua di MK
“Pernyataan polisi tentang permintaan pencabutan paspor atas Veronika juga provokatif dan memperlihatkan mereka tidak sadar hukum,” ujar Andy. Pencabutan paspor baru bisa terjadi jika perkara terhadap seseorang sudah dalam status berkekuatan hukum tetap.
Padahal, Veronika baru berstatus tersangka. Pemidanaan terhadap Veronika justru memperkeruh upaya perdamaian setelah kerusuhan melanda beberapa kota di Papua dan Papua Barat.
KontraS juga melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terkait masih berlangsungnya teror terhadap penghuni Asrama Mahasiswa Papua. “Mereka tak leluasa bergerak dan selalu ketakutan,” katanya.