Pertahankan Arus Modal Masuk, Jangan Lupakan Stabilitas Ekonomi
Aliran masuk dana jangka pendek (hot money) ke pasar obligasi Indonesia dengan mudahnya akan keluar kembali akibat sejumlah sentimen domestik dan global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selisih imbal hasil antara obligasi Indonesia dan negara berkembang lainnya masih kompetitif dalam menarik masuk dana asing. Namun, fundamen ekonomi domestik tetap perlu diperbaiki guna mengantisipasi larinya investor jangka pendek.
Aliran masuk dana jangka pendek (hot money) ke pasar obligasi Indonesia dengan mudahnya akan keluar kembali akibat sejumlah sentimen domestik dan global, seperti melebarnya defisit transaksi berjalan dan resesi ekonomi AS.
Berdasarkan data Asian Bond Online yang diakses Senin (9/9/2019), imbal hasil obligasi negara Indonesia bertenor 10 tahun tercatat 7,32 persen. Posisi ini menjadi yang tertinggi di Asia, disusul Filipina (4,58 persen), dan Vietnam (4,08 persen).
Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee di Jakarta, Senin, mengingatkan, pasar obligasi Indonesia tetap memiliki risiko dan hambatan. Nilai tukar rupiah masih fluktuatif dan lebarnya defisit transaksi berjalan masih mungkin untuk memicu investor asing jangka pendek keluar dari pasar obligasi.
Selain itu, melihat kondisi pasar domestik, benak investor akan mengkhawatirkan pengetatan likuiditas rupiah terutama sejak berakhirnya periode penahanan (holding period) dari repatriasi dana hasil amnesti pajak.
”Pemerintah tetap perlu memperbaiki stabilitas ekonomi domestik untuk menjaga dana di dalam negeri tidak keluar. Distribusi obligasi juga perlu dibuat merata untuk investor-investor institusi jangka panjang,” ujar Hans.
Pembenahan fundamen ekonomi domestik tetap diperlukan meski pasar obligasi diprediksi masih akan kebanjiran investor asing. Selain suku bunga global tengah memasuki tren penurunan, perlambatan global juga mendorong investor untuk masuk ke instrumen pendapatan tetap (fixed income) dengan imbal hasil tinggi.
Terkait dengan porsi investor di pasar surat berharga negara (SBN), data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan, per 4 September 2019, investor asing menggenggam Rp 1.011,21 triliun atau 38,51 persen dari total SBN beredar sebanyak Rp 2.625 triliun. Sejak awal Januari hingga 4 September 2019, dana investor asing mencatatkan aliran masuk (net inflow) di pasar obligasi pemerintah senilai Rp 117,96 triliun.
Besarnya kepemilikan asing tersebut dikhawatirkan dapat menjadikan pasar obligasi rentan terhadap dampak global. Menurut Hans, risiko global terbesar masih berasal dari tensi perang tarif dagang antara AS dan China serta ancaman resesi AS.
Pendalaman pasar obligasi
Head of Economic & Research PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menilai, komposisi investor asing yang jumlahnya hampir 40 persen dari total investor bisa membuat limbung perekonomian jika secara serentak keluar dari pasar. ”Risiko ini menuntut agar pendalaman pasar obligasi, baik obligasi negara maupun korporasi, tetap dilanjutkan pemerintah,” ujarnya.
Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong lebih banyak perusahaan untuk menerbitkan obligasi korporasi. ”Pemerintah juga bisa memperbanyak suplai obligasi yang bisa dimaksimalkan investor domestik, termasuk dari kalangan ritel,” ujarnya.
Selain itu, perbaikan ekonomi secara struktural juga mesti terus dilakukan, terlebih lagi Indonesia masih memiliki masalah dengan data defisit transaksi berjalan (current account deficit). Perbaikan neraca transaksi berjalan diyakini akan membuat investor asing tidak mudah keluar dari pasar SBN kendati kondisi global diliputi ketidakpastian.
”Terlepas dari itu semua, peluang investor asing untuk terus masuk ke pasar obligasi pemerintah masih sangat terbuka, didukung pula oleh tren penurunan yield obligasi negara secara global,” ujarnya
Proyeksi positif
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto optimistis pasar obligasi sepanjang tahun ini akan memberikan keuntungan lebih baik dibanding tahun lalu. Terdapat sejumlah faktor yang menurut dia mampu mendorong kinerja pasar obligasi tahun ini lebih positif dibanding tahun-tahun sebelumnya.
”Faktor utama adalah terjaganya inflasi dan selisih imbal hasil SUN terhadap imbal hasil US Treasury (SUN milik Amerika Serikat) masih menarik, baik bagi investor asing maupun investor domestik,” ujarnya.
Di sisi lain, bank sentral AS (The Fed) masih berpotensi menurunkan suku bunganya lagi tahun ini. Dengan turunnya Fed Fund Rate (FFR), tekanan terhadap penguatan nilai tukar dollar AS berkurang sehingga yield US Treasury tetap rendah.
Saat ini imbal hasil US Treasury dengan tenor 10 tahun berada di kisaran 1,57 persen per tahun. Dia memprediksi hingga akhir tahun, imbal hasil (yield) US Treasury bertenor 10 tahun terjaga di kisaran 1,7-1,9 persen. Dengan suku bunga acuan BI yang diprediksi berada di kisaran 5,25-5 persen pada akhir tahun, imbal hasil SUN bertenor 10 tahun pada akhir 2019 bisa berada di kisaran 6,75 persen.
Dengan suku bunga acuan BI yang diprediksi berada di kisaran 5,25-5 persen pada akhir tahun, imbal hasil SUN bertenor 10 tahun pada akhir 2019 bisa berada di kisaran 6,75 persen.
Selain itu, menurut Handy, Bank Indonesia (BI) juga masih punya ruang pelonggaran moneter pada akhir tahun 2019 hingga awal tahun 2020. Sebelumnya, Juni lalu, BI telah memotong giro wajib minimum (GWM) hingga 50 bps, yang disusul penurunan suku bunga acuan sebanyak 50 bps dalam dua bulan berjalan.
”Kebijakan ini semakin berdampak positif seiring dengan rendahnya inflasi, tekanan perlambatan pertumbuhan ekonomi, stabilitas nilai tukar rupiah, dan sikap dovish dari bank sentral dunia,” ujarnya.