Pemerintah tengah berupaya mencari alternatif selain membongkar anjungan minyak dan gas yang tidak terpakai di perairan Indonesia.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah berupaya mencari alternatif selain membongkar anjungan minyak dan gas yang tidak terpakai di perairan Indonesia. Alternatif yang lebih efisien tengah dicari karena pembongkaran anjungan minyak dan gas lepas pantai tersebut membutuhkan biaya jutaan dollar Amerika Serikat.
Untuk membahas masalah itu, Kementerian Koordinator Kemaritiman memanggil pihak terkait untuk rapat di Jakarta, Senin (9/8/2019). Rapat yang dipimpin Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman Purbaya Yudhi Sadhewa dihadiri, antara lain, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta PT Pertamina (Persero).
Purbaya mengatakan, ada sekitar 100 anjungan minyak dan gas bumi (migas) berusia 20-40 tahun yang tak terpakai. Sepuluh di antaranya siap dibongkar, yaitu tujuh di Laut Jawa dan tiga lainnya di perairan dekat Kalimantan Timur.
”Walaupun siap dibongkar, kami masih perlu tentukan kebijakan pembiayaannya. Biaya pemotongan ini cukup mahal, rata-rata bisa 7 juta dollar AS (Rp 98 miliar) per anjungan,” katanya seusai rapat.
Adapun kendala yang membuat pemerintah harus mencari dana pembongkaran adalah skema pembiayaan yang berbeda antara anjungan yang dibuat sebelum tahun 1994 dan sesudahnya.
Untuk anjungan yang dibuat setelah 1994, pembongkaran dapat menggunakan dana dari kewajiban pembayaran dana pemulihan tambang (abandonment and site restoration/ASR) yang dikenakan kepada kontraktor.
”Sementara yang dibangun sebelum 1994, ASR dibayar secara bundling ke pemerintah, tidak dipisahkan untuk pembongkaran. Jadi, pemerintah perlu bayar untuk itu walaupun uangnya sudah disetor di awal. Ini sedang dicarikan cara pembiayaannya oleh Kementerian Keuangan,” ucapnya.
Pos TNI Angkatan Laut
Wakil Kepala SKK Migas ESDM Fatar Yani Abdurrahman mengatakan, ada beberapa alternatif lain selain pembongkaran jika keberadaan anjungan dinilai aman untuk pelayaran. Anjungan tak terpakai bisa digunakan menjadi tempat tinggal ikan (rumpon), pos jaga TNI Angkatan Laut, atau situs pariwisata.
”Ada beberapa rencana yang masih dipertimbangkan, termasuk untuk dipakai lagi untuk keperluan non-migas,” katanya.
Adapun solusi lain yang lebih efisien daripada pembongkaran anjungan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kelautan dan Perikanan Balitbang Kelautan dan Perikanan KKP mengkaji kelayakan alih fungsi anjungan menjadi terumbu karang (rig to reef) pada 2015 di daerah Cilamaya, Jawa Barat.
Pembongkaran masih akan diprioritaskan untuk anjungan migas yang mengganggu jalur pelayaran. Seperti disebutkan sebelumnya, anjungan yang siap dipindahkan berada di beberapa Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yaitu ALKI I (Selat Sunda-Selat Karimata-Laut Natuna-Laut Cina Selatan) dan ALKI II (Selat Lombok-Selat Makassar-Laut Sulawesi).
”Yang diutamakan untuk dibongkar adalah yang mengganggu jalur pelayaran ASEAN dulu. Kita akan bereskan secara bertahap,” katanya.
Bebaskan jalur pelayaran
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Agus Purnomo mengatakan, jalur pelayaran harus bebas dari benda-benda yang tidak berguna dan mengganggu pelayaran.
Pembongkaran dan pemindahan anjungan migas yang tak terpakai ada dalam peraturan internasional Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982,Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan Permen ESDM Nomor 1 tahun 2011.