Mesti Tak Tamat SD, Mahroji Jadi Pemandu Para Peneliti Burung di Halmahera
Merasa tak tenang menjalani hidup sebagai pembalak liar, Mahroji (42) memutuskan menjadi pecinta burung di kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Pulau Halmahera, Maluku Utara.
Oleh
Siwi Yunita C
·6 menit baca
Merasa tak tenang menjalani hidup sebagai pembalak liar, Mahroji (42) memutuskan menjadi pencinta burung di kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Bukan sarjana, apalagi profesor, ia menjadi rujukan bagi para peneliti burung di Halmahera. Kemampuannya mengenali satwa dan tumbuhan menjadikan dia sebagai pemandu andal di hutan Aketajawe Lolobata.
Dingin dan gelap membekap kawasan Binagara di Desa Ake Jawi, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, pertengahan Maret lalu. Menjelang dini hari, Mahroji masih saja berkutat menyiapkan peralatannya untuk menuju hutan. ”Walau malam hari, kita masih bisa lihat banyak satwa. Kadang mereka tidur dan kita bisa melihat sarangnya,” katanya kepada tamu-tamunya.
Dini hari itu, sekitar pukul 03.00, Mahroji mulai mengajak tamunya masuk hutan. Berbekal senter dan parang, ia berjalan paling depan menjadi pemandu. Sekitar 500 meter dari pintu masuk hutan Aketajawe, ia meminta tamunya berhenti. Pada jarak 100 meter ke depan, Mahroji memperkirakan akan menjumpai kehicap kacamata (Monarcha trivirgatus).
Benar juga, rombongan menemukan kehicap kacamata dan anak-anaknya di sarang. Burung yang sedang tidur itu berada di dahan di tepi jalan setapak. Dengan mudah para tamu bisa melihat dan memotretnya dari dekat.
Mahroji hafal dengan kebiasaan si burung. Saat bertelur, si burung akan memilih ranting pohon yang dekat dengan jalan setapak menuju hutan. ”Burung ini suka sekali bikin sarang di sini. Jadi, mudah mencarinya,” kata Mahroji.
Menyusuri hutan bersama Mahroji layaknya membawa buku ensiklopedia berjalan. Ia hampir hafal setiap jenis tumbuhan dan hewan yang unik dan langka, di mana sarang mereka, dan kapan mereka bisa dijumpai. Menemukan burung bidadari halmahera (Semioptera wallacii), burung yang dikagumi Alfred Russel Wallace, menjadi sangat mudah. Ia tahu betul di mana menemukannya dan kapan waktu terbaik untuk memotretnya.
Baca juga : Menyingkap Misteri Rumah Wallace
Tim menemukan beberapa bidadari halmahera di bukit kecil di tengah hutan Aketajawe. Bukit itu penuh dengan pohon jenis palem dan meranti. Butuh waktu tiga jam berjalan kaki menelusuri jalur setapak dan menyeberangi beberapa sungai untuk menuju lokasi tersebut. Ia memastikan kami harus tiba di lokasi pengintaian burung sebelum fajar menyingsing.
Para bidadari halmahera pun berdatangan saat kabut mulai pudar. Tidak hanya seekor, tapi tiga ekor. Di atas pohon mereka berjemur sambil menari-nari memakan biji-biji pinang di atas dahan. Saat itu pula, mendadak riuh suara burung bidadari halmahera dan jenis-jenis lainnya. Sebuah peristiwa luar biasa untuk mengabadikan tarian si bidadari dengan kamera.
Tak tamat SD
Kemampuan Mahroji membuat dia dipercaya mendampingi para mahasiswa dan turis yang ingin mengamati burung di hutan Aketajawe. Setiap kali ada rombongan mahasiswa yang ingin melakukan penelitian, Mahroji selalu diminta pengelola Taman Nasional Aketajawe Lolobata untuk mendampingi mereka. Tak hanya itu, beberapa organisasi nirlaba juga kerap meminta jasanya untuk kegiatan pelestarian lingkungan.
Semua kemampuannya itu didapatkan secara otodidak. Mahroji bahkan tak tamat sekolah dasar. Ia putus sekolah saat duduk di kelas III. Orangtuanya, Satimin dan Ponijah, bertransmigrasi dari Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur, ke Halmahera pada 1986. Sejak saat itulah ia dekat dengan kehidupan hutan dan segala perniknya.
Pekerjaan resmi pertamanya justru menjadi seorang pembalak. Pekerjaan itulah yang ia dapatkan untuk menyambung hidup. Ia ikut rombongan yang bekerja mencari pohon cendana dan gaharu. Kadang, Mahroji memotong pohon apa saja untuk dijual. Upah yang didapat bisa mencapai Rp 1,5 juta ketika menemukan gaharu atau kadang pulang tanpa hasil. Karena kian susah mendapatkan gaharu dan seringnya dikejar-kejar petugas, Mahroji memutuskan mencari pekerjaan baru. ”Hidup saya jadi tidak tenang, kucing-kucingan dengan petugas,” tuturnya.
Hidup saya jadi tidak tenang, kucing-kucingan dengan petugas.
Pekerjaan keduanya adalah bekerja untuk sebuah perusahaan tambang nikel di Pulau Obi pada 2012. Saat itu, ia melamar pekerjaan sebagai staf lapangan bagian lingkungan. Ia mendapatkan gaji Rp 3,2 juta per bulan. Di pertambangan inilah ia mulai belajar mengenal berbagai flora dan fauna. Setiap kali ada ahli yang datang, ia ikut serta bersamanya ke lapangan. Mahroji selalu menyimak dan mencatat apa yang dia lihat dan pelajari.
Mahroji hanya bertahan setahun karena ada pengurangan karyawan di perusahaan tambang. Ia akhirnya memilih kembali berkebun di rumahnya di tepi hutan Aketajawe. Selama itu pula, dirinya sering bertemu tamu-tamu pihak taman nasional. Ketertarikannya pada flora dan fauna membuat Mahroji ingin belajar langsung kepada para ahli yang datang meneliti hutan kendati sering ditolak. ”Akhirnya saya boleh ikut, tapi bagian angkut-angkut barang,” katanya.
Tidak mudah bagi Mahroji untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya. Sebagai pramuantar, ia hanya mendapatkan uang ketika bekerja. Bercocok tanam kakao dan jeruk adalah pilihan lainnya untuk menghidupi diri dan keluarga.
Akhirnya saya boleh ikut, tapi bagian angkut-angkut barang.
Namun, di balik pekerjaannya sebagai pramuantar, Mahroji menggali ilmu dari para ahli yang datang. Setiap mereka berjalan, Mahroji mengikuti sambil membawa catatan kecil di sakunya. Setiap ada flora dan fauna yang ditemukan, ia mencatat dengan saksama. Ia juga mencatat perilaku hewan dan di mana mereka bisa ditemukan. Bahasa Inggris pun mulai dipelajari. ”Awalnya, ya pake kode-kode saja, lama-lama saya tahu artinya apa,” kata Mahroji.
Kepedulian dan ketekunannya membuat Mahroji dihadiahi berbagai buku tentang flora dan fauna dari para ahli yang dia antarkan. Ia akhirnya ikut dalam berbagai pelatihan untuk memperdalam ilmu yang dia dapat. Ia pun menginvestasikan penghasilannya untuk membeli kamera digital. Dari kamera itulah ia bisa mengabadikan berbagai macam foto burung di Binagara. Foto-fotonya diapresiasi dan digunakan oleh para peneliti sebagai dokumentasi penelitian.
Kini, setelah lima tahun, Mahroji menemukan ritme hidupnya. ”Saya menemukan dunia saya di sini. Jalan menelusuri hutan dengan para ahli dan belajar banyak hal. Saya jadi tahu semua yang ada di hutan berharga,” katanya.
Mahroji mengerti betul, jika ada flora dan fauna yang hilang, mata rantai hutan pun akan terganggu. Ia memilih tetap menjadi sukarelawan Taman Nasional Aketajawe Lolobata sembari membuka jasa ekowisata di Binagara.
Trip wisata yang dirintis Mahroji memang baru berumur jagung, tetapi sudah 500-an orang yang ia antar untuk meneliti atau mengalami flora dan fauna di Binagara. Sebagian besar pengguna jasanya adalah turis mancanegara.
Rumah panggungnya di tepi hutan juga menjadi modal awalnya untuk menekuni bisnis ini. Ia bahkan bisa melayani trip sejak dari Ternate. Mahroji pun bercita-cita mengembangkan ekowisata agar warga lain di desanya punya pendapatan layak untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi. Tidak seperti dirinya yang jebolan sekolah dasar yang akhirnya mencari uang seadanya dengan merambah hutan.
”Kalau dihitung-hitung, capek menjadi perambah. Mau sampai kapan kita dikejar-kejar petugas. Dengan ekowisata, kita tak hanya mendapatkan nilai ekonomi, tapi juga bisa menjadi penyelamat dan pelestari hutan. Tanpa hutan, apa jadinya kita,” katanya.