Eliminasi terhadap kusta telah membuahkan hasil signifikan. Prevalensinya sudah di bawah 1 per 10.000 penduduk. Tantangan selanjutnya, menghapus diskriminasi terhadap penderita kusta dan orang yang pernah menderitanya.
Oleh
Ida Ayu Grhamtika Saitya
·5 menit baca
Baik itu di Indonesia maupun dunia, penyakit kusta telah menjadi perhatian pemerintah sejak dulu. Terlebih temuan kasus baru terus muncul di tengah stigma negatif yang telah mengakar di masyarakat dan merugikan penderita. Lantas, apa itu kusta sebenarnya ? Lalu bagaimana gambaran kusta di tanah air dan dunia ?
Berdasarkan Profil Kesehatan Tahun 2018, penyakit kusta merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernafasan atas dan mata. Kusta tidak memandang umur, baik anak-anak maupun orang dewasa bisa terserang kusta.
Penyakit kusta bahkan telah dikenal hampir 2000 tahun sebelum masehi yang diketahui dari peninggalan sejarah di Mesir, India, dan Tiongkok. Sebelum bakteri yang menyebabkan kusta berhasil diidentifikasi, penyakit ini dianggap sebagai penyakit keturunan, kutukan atau karma atas dosa yang diperbuat. Bahkan pada pertengahan abad ke-13 penderita kusta di Eropa diasingkan dan dipaksa untuk tinggal di Leprosaria atau perkumpulan pasien kusta seumur hidup.
Penyakit kusta merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae.
Tahun 1873, dr. Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang pertama yang berhasil menemukan bakteri penyebab kusta. Oleh karena itu, penyakit kusta juga disebut penyakit Hansen sesuai nama ahli yang menemukannya.
Cara penularan penyakit yang juga sering disebut lepra ini diduga melalui cairan dari hidung yang biasanya menyebar ke udara. Penularannya tidak mudah, harus melalui kontak selama berbulan-bulan dengan penderita kusta. Bahkan tidak menular hanya dengan bersalaman, berhubungan seksual, maupun dari ibu ke janin.
Kini, setiap hari Minggu terakhir di bulan Januari diperingati sebagai hari kusta sedunia atau World Leprosy Day. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian akan kusta serta stigma dan diskriminasi yang menimpa penderitanya.
Jumlah Penderita
Pada tahun 2000 Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta yakni prevalensi kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk atau kurang dari 10 per 100.000 penduduk.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan fluktuasi jumlah penderita baru kusta selama kurun waktu lima tahun terakhir. Meski angka kusta baru mengalami peningkatan maupun penurunan, namun tetap setiap tahunnya terdapat belasan ribu jiwa yang terjangkit penyakit kusta di Indonesia.
Selama dua tahun yakni 2016 dan 2017 pernah terjadi penurunan kasus kusta baru, yang sebelumnya tertinggi di tahun 2015 sebanyak 17.202 kasus menjadi 15.920 kasus di tahun 2017. Sayangnya, angka ini mengalami kenaikan kembali di tahun 2018 menjadi 17.017 kasus. Berdasarkan jenis kelamin, kasus kusta baru yang ditemukan di Indonesia tahun 2018, lebih dari separuhnya adalah laki-laki.
Jika dilihat per 100.000 penduduk terjadi penurunan prevalensi sepanjang tahun 2013 hingga 2017. Sejalan dengan naiknya jumlah penderita baru, angka prevalensi ini juga naik di tahun 2018 yakni terdapat 6,42 kasus baru kusta dari 100.000 penduduk.
Penemuan kusta baru bahkan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia dengan jumlah yang beragam. Lima provinsi dengan jumlah kasus baru kusta terbanyak berurutan adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua, dan Banten.
Meski sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2018 mengalami penurunan jumlah kusta baru, Jawa Timur tetap menjadi yang tertinggi di Indonesia dengan 3.259 kasus pada tahun lalu.
Kenaikan nyaris dua kali lipat terjadi di Papua, pada tahun 2017 terdapat 968 kasus baru kemudian menjadi 1.800 penemuan kusta di tahun depannya. Angka prevalensi di Papua juga terhitung sangat besar yakni 54,18. Artinya, dari 100.000 penduduk ditemukan 54 orang penderita kusta.
Dengan angka prevalensi sebesar itu, Papua menempati peringkat ketiga secara nasional sebagai provinsi dengan beban kusta tinggi. Selain Papua , delapan provinsi lainnya juga dapat dikatakan belum bebas kusta karena angka prevalensi belum mencapai kurang dari 10 per 100.000 penduduk.
Provinsi tersebut berturut-turut dari yang tertinggi adalah Papua Barat (101,98), Maluku Utara (56,46), Papua (54,18), Maluku (25,65), Gorontalo (17,71), Sulawesi Barat (15,64), Sulawesi Utara (14,49), Sulawesi Tenggara (11,04), dan Sulawesi Selatan (10,66).
Selain itu, kusta pada anak juga harus menjadi perhatian karena berarti masih terjadi sumber penularan tersembunyi di masyarakat. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan proporsi kusta pada anak pada periode 2012-2018 di angka 10-12 persen. Tiga provinsi dengan proporsi kusta pada anak tertinggi adalah Papua Barat, Papua, dan Maluku Utara.
Posisi Indonesia di Dunia
Selama satu dekade terakhir, Indonesia selalu berada di peringkat ketiga negara dengan penemuan kasus kusta baru di dunia. Meski terpaut sangat jauh dari India di peringkat pertama yang setiap tahunnya terdapat seratusan ribu jiwa penderita kusta baru yang ditemukan. Sedangkan Brasil berada di peringkat kedua dengan jumlah kasus kusta 26.875 jiwa di tahun 2017.
Di tingkat dunia, penanganan kusta diterjemahkan dalam Global Leprosy Strategy yang salah satu targetnya adalah 0 anak dalam angka cacat tingkat 2. Menurut World Health Organization proporsi kasus kusta dengan angka cacat tingkat 2 menandakan efisiensi deteksi kusta sejak dini. Secara tidak langsung juga menunjukkan tingkat kepedulian terhadap tanda kusta sejak dini, akses terhadap pelayanan kusta, dan kemampuan tenaga kesehatan dalam mendeteksi kusta.
Mari kita dukung target ini karena bagi yang menderita dan pernah menderitanya, kusta tak hanya menyerang kesehatan fisik namun juga psikis.
Pada tahun 2017, dari 120 negara sebanyak 88 negara di antaranya sudah tidak ditemukan anak dengan cacat tingkat 2. Sedangkan 27 negara dengan angka cacat tingkat 2 antara 1-10. Lima negara lainnya melaporkan angka yang lebih tinggi dan Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi. Kelima negara tersebut adalah Ethiopia (19), Mozambique (28), Kongo (30), Indonesia (48), dan Brazil (54).
Eliminasi terhadap kusta di dunia telah membuahkan hasil yang signifikan selama kurang lebih 30 tahun terakhir. Kini prevalensi sudah di bawah angka 1 per 10.000 penduduk. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mengurangi keterlambatan deteksi pasien baru, diskriminasi terhadap penderita kusta atau orang yang pernah mengalami kusta, dan meminimalisir dampak atas penularan kusta.
Komitmen politik, perbaikan dalam pelayanan kesehatan, dan memperbesar cakupan kepesertaan program kesehatan dan inklusi sosial bagi penderita kusta akan membantu pencapaian target eliminasi kusta. Di Indonesia sendiri, target eliminasi kusta tingkat kabupaten/kota pada tahun 2024. Mari kita dukung target ini karena bagi yang menderita dan pernah menderitanya, kusta tak hanya menyerang kesehatan fisik namun juga psikis. (Litbang Kompas/Ida Ayu Grhamtika Saitya)