Pemerintah berupaya memulihkan keadaan yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Salah satu caranya adalah dengan memfasilitasi mahasiswa kembali ke kampusnya masing-masing.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pascagejolak yang terjadi di Papua dan Papua Barat, situasi di kedua daerah tersebut berangsur normal. Mahasiswa yang pulang ke kampung halamannya pun diminta kembali ke tempat belajarnya masing-masing.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, hingga saat ini tercatat 835 mahasiswa Papua meninggalkan kota tempatnya belajar untuk pulang ke Papua dan Papua Barat. Wiranto menganggap mereka tersulut provokasi dan berita bohong (hoaks) mengenai ancaman keselamatan yang tak terjamin jika tetap berada di perantauan.
Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam imbauan tertulisnya pada 21 Agustus 2019 pun meminta mereka untuk kembali ke Papua dan Papua Barat. ”Kami bersyukur, eksodus itu sudah berhenti,” ujar Wiranto seusai memimpin rapat koordinasi perkembangan situasi Papua bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Pemerintah berharap mahasiswa segera kembali ke kampus. Pemerintah menyiapkan fasilitas perjalanan untuk mereka yang ingin kembali ke tempat belajarnya. ”Panglima TNI menyediakan dua pesawat Hercules untuk mengantar para mahasiswa,” kata Wiranto.
Menurut dia, kepulangan mahasiswa merugikan mereka sendiri. Sebab, mereka kehilangan waktu dan kesempatan untuk belajar. ”Selain belajar untuk meningkatkan pengetahuan, mereka juga bersosialisasi dengan suku-suku lain sehingga rasa persatuan dan kesatuan terus tumbuh,” ucap Wiranto.
Untuk meningkatkan pembauran mahasiswa Papua di wilayah lain, Wiranto berencana untuk berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar ada penyatuan asrama mahasiswa. Selama ini, asrama mahasiswa di setiap daerah terpisah antara satu wilayah dan wilayah lain. Sebab, belum ada koordinasi antarpemerintah daerah.
”Kami juga ingin ada program orangtua asuh untuk mahasiswa Papua. Misalnya dilakukan pejabat TNI di setiap daerah. Dengan begitu, di mana pun mahasiswa Papua berada, mereka tidak merasa terisolir,” ucap Wiranto.
Selain belajar untuk meningkatkan pengetahuan, mereka juga bersosialisasi dengan suku-suku lain sehingga rasa persatuan dan kesatuan terus tumbuh.
Sementara itu, MRP juga mengeluarkan maklumat tertulis tertanggal 9 September 2019. Dalam Maklumat Nomor 06/MRP/2019 itu, Ketua MRP Timotius Murib menyatakan bahwa maklumat sebelumnya, tertanggal 21 Agustus 2019, dicabut.
Mahasiswa Papua yang masih berada di perantauan agar tetap belajar di wilayah itu, sedangkan mereka yang telanjur pulang ke kampung halaman agar kembali ke kampus. Hal itu dilakukan supaya mahasiswa sebagai duta kultural orang asli Papua menunjukkan bahwa mereka dapat hidup harmonis dengan seluruh elemen bangsa Indonesia.
Wiranto menambahkan, hingga Senin pagi situasi di Papua dan Papua Barat berangsur normal. Ragam aktivitas masyarakat telah berlangsung meski selebaran gelap yang menganjurkan unjuk rasa susulan masih tersebar.
Proses hukum terhadap para tersangka tindak rasialisme dan provokasi unjuk rasa berujung anarkistis terus dilanjutkan. Pengamanan dan pemulihan kondisi di Papua dan Papua Barat juga masih dilakukan dengan mengirim 6.500 personel gabungan TNI dan Polri.
Sejumlah aparat bertugas untuk menyebarkan gagasan perdamaian secara persuasif. Mereka pun diminta untuk membersihkan kota dari reruntuhan bangunan agar pembangunan kembali gedung yang rusak karena kerusuhan bisa segera dilaksanakan.
Konsistensi penegakan hukum
Peneliti pada Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, mengatakan, kepulangan mahasiswa Papua ke daerah asalnya merupakan respons atas penyisiran kelompok masyarakat tertentu kepada mahasiswa. Karena itu, ketegasan aparat penegak hukum amat dibutuhkan.
”Sebelumnya Kepala Polri memerintahkan untuk melindungi mahasiswa Papua di wilayahnya masing-masing, tetapi kenapa di lapangan masih ada yang melanggar,” kata Adriana.
Menurut dia, ide mengenai penyatuan asrama mahasiswa antarwilayah juga perlu dilakukan. Sebab, hal itu mampu mewujudkan pembauran masyarakat secara lebih baik. Akan tetapi, ada sejumlah tahapan yang harus dibereskan sebelumnya, misalnya kesepakatan antarpemda.
Selain itu, juga pemetaan mengenai mahasiswa yang tak kunjung lulus meski masa studinya telah habis dan lulusan yang belum mendapatkan pekerjaan. Menurut Adriana, masalah durasi studi yang lama dan ketiadaan lapangan kerja dapat membuka peluang bagi kalangan terpelajar untuk berkecimpung pada gerakan kemerdekaan.
Ia mengatakan, seluruh mahasiswa yang saat ini ada di Papua dan Papua Barat memang harus secepatnya kembali ke kampus. Sebagai kelompok strategis baru yang muncul berkat perubahan demografi selama beberapa tahun ke belakang, mereka memiliki pengaruh signifikan terhadap dinamika politik di ”Bumi Cenderawasih”. Lebih dari itu, mereka juga bertanggung jawab penuh atas masa depan Papua yang lebih baik.