Keseriusan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur diuji dalam menekan angka deforestasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
KOMPAS/SUCIPTO
Proses pre-negosiasi kesepakatan pembayaran pengurangan emisi atau Emission Reductions Payment Agreement (ERPA) di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (9/9/2019), yang dihadiri perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup, Bank Dunia, dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
SAMARINDA, KOMPAS — Keseriusan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur diuji dalam menekan angka deforestasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika emisi maksimal yang dihasilkan 22 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) dalam lima tahun ke depan, Kalimantan Timur akan mendapat insentif dari 16 negara maju sebesar 110 juta dollar AS.
Setelah melalui proses sejak tahun 2014, Pemerintah Indonesia baru-baru ini berhasil menyelesaikan syarat penerimaan Upaya Pengurangan Emisi Kalimantan Timur yang telah diterima negara pendana yang terhimpun dalam Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund.
FCPF mendukung negara berkembang dalam upaya pengurangan emisi dengan menekan deforestasi dan kerusakan hutan. Hal itu dicapai melalui kebijakan pemerintah untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Saat ini, Pemerintah Indonesia yang diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemprov Kaltim tengah melakukan negosiasi kesepakatan pembayaran pengurangan emisi atau Emission Reductions Payment Agreement (ERPA) dengan Bank Dunia selaku wali amanah FCPF-Carbon Fund.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Agus Justianto, Senin (9/9/2019), di Samarinda, Kaltim, berharap tahap negosiasi ini dapat memperkuat Kaltim dalam melaksanakan pembangunan rendah emisi. Jika pembangunan ibu kota negara baru di Kaltim terealisasi pada 2021, upaya pembangunan rendah emisi diharapkan tetap menjadi komitmen Kaltim.
”Ini memerlukan komitmen semua pihak, dari pemerintah pusat, daerah, dan swasta, agar berjalan dengan baik sesuai rencana. Sebab, Indonesia sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen,” kata Agus saat Peluncuran Proses Pre-Negosiasi ERPA di Kantor Gubernur Kaltim.
Wisatawan meniti canopy bridge atau jembatan tajuk setinggi 30 meter di kawasan Wisata Alam Bukit Bangkirai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, upaya pengurangan emisi sudah dilakukan pemerintah pusat dan Provinsi Kaltim melalui berbagai kebijakan. Ia berharap, program ini bisa berhasil sehingga pembangunan berkelanjutan bisa terus dilakukan di Kaltim dan masyarakatnya mendapat manfaat.
Ketua Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Provinsi Kaltim Daddy Ruhiyat menyebutkan, insentif akan dibayarkan berbasis kinerja, artinya sesuai dengan keberhasilan Kaltim dalam menurunkan emisi yang telah diverifikasi kebenarannya.
”Sementara ini, pembayaran akan dilakukan tahun 2023 dan 2025. Kaltim sedang berjuang agar pembayaran bisa dilakukan lebih awal melalui proses negosiasi ini,” kata Daddy.
Sementara ini, pembayaran akan dilakukan tahun 2023 dan 2025. Kaltim sedang berjuang agar pembayaran bisa dilakukan lebih awal melalui proses negosiasi ini.
Program penurunan emisi ini membutuhkan pembiayaan 90,7 juta dollar AS dalam rentang waktu 2020-2024. Insentif berupa uang bisa diperoleh jika penurunan emisi di bawah 68,4 juta ton CO2e setiap tahun. Insentif maksimal sebesar 110 juta dollar AS bisa didapat jika emisi karbon yang dihasilkan paling banyak 22 juta ton CO2e.
Daddy mengatakan, masyarakat di sekitar dan di dalam hutan menjadi aktor utama penurunan emisi ini. Saat ini, DDPI sudah melakukan sosialisasi ke 10 pemerintah kabupaten/kota di Kaltim. Sebanyak 150 desa akan dibina melalui program kampung iklim. Sebanyak 65 persen dana insentif akan diberikan kepada masyarakat untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Bendungan yang dibangun Pertamina di kawasan hutan lindung Sungai Wain di Kelurahan Karang Joang, Kecamatan Balikpapan, Kota Balikpapan, Kaltim, Jumat (30/8/2019).
”Mereka akan difasilitasi membuat pemetaan wilayah untuk berladang, berkebun, dan bagian hutan mana yang harus dipelihara. Setiap desa juga akan dibantu untuk membuat rencana pembangunan desa agar program itu tercapai,” ujar Daddy.
Wilayah pelaksanaan program ini di seluruh wilayah Kaltim dengan luas 12,7 juta hektar. Sebanyak 54 persen atau 6,5 juta hektar merupakan kawasan hutan yang sebagian besar berada di kawasan pengelolaan hutan dan kawasan konservasi. Sebagian lainnya berada di wilayah perkebunan dan wilayah desa.
Spesialis Lingkungan Senior Bank Dunia Andre Aquino mengatakan, hutan Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi dunia karena ukuran, keragaman, dan kemampuan penyimpanan karbonnya. Selain itu, hutan Indonesia juga berperan penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dunia.
Sektor pertanian dan kehutanan Indonesia juga memberikan kontribusi yang sangat besar pada pertumbuhan ekonomi negara. Saat ini, sekitar 34 persen dari produk domestik bruto berasal dari sektor pertanian dan kehutanan.
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA
Kawasan Mangrove Center Balikpapan, Kaltim, dipadati wisatawan saat liburan Tahun Baru, Selasa (1/1/2019).
Andre menuturkan, dua pertiga dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari pengalihfungsian lahan dan pertanian. Deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia berdampak pada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang mencapai dua kali lipat lebih tinggi dari rata-rata nasional.
”Melalui berbagai capaian yang telah diraih sejauh ini, Kaltim berpotensi menjadi yang pertama dan terdepan dalam menerapkan REDD+ di Indonesia. Di tahap negosiasi ERPA ini, kami berharap Kaltim dapat terus menunjukkan kepemimpinannya sebagai provinsi hijau,” ujar Andre.
Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan, Kaltim siap mengimplementasikan FCPF-Carbon Fund tahun 2020-2024. Hal itu selaras dengan visi Kaltim untuk Berdaulat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan.
”Setiap gerak pembangunan Kaltim harus tetap mendorong pertumbuhan ekonomi yang memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan hidup,” katanya.