Anak Buah Kapal Dipulangkan ke Manado Setelah 18 Hari Hilang di Samudera Pasifik
Delapan anak buah Kapal Motor Aleluya yang sempat hilang di perairan Bitung, Sulawesi Utara, akhirnya dipulangkan ke Manado, Minggu (8/9/2019).
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Delapan anak buah Kapal Motor Aleluya yang sempat hilang di perairan Bitung, Sulawesi Utara, akhirnya dipulangkan ke Manado, Minggu (8/9/2019). Mereka terombang-ambing di laut selama 18 hari dan terbawa ombak hingga Samudera Pasifik bagian barat sebelum dievakuasi Penjaga Pantai Amerika Serikat ke Palau.
Kedelapan anak buah kapal (ABK) KM Aleluya tersebut adalah Jufri Lalele (37), Musmal Mabiang (36), Lesianus Baghiu (36), Elieser Manoka (31), Jon Alpreston Manuahe (29), Alfi Frans (20), Rival Frans (22), dan Rizky Rahim (18). Mereka menyusul kapten kapal mereka, Rahmat Bakus, yang telah dipulangkan terlebih dahulu dari Jepang, Rabu (28/8/2019) lalu.
Kabar matinya mesin KM Aleluya di tengah laut pertama kali tersiar pada 28 Juli lalu. Musmal, salah satu ABK, mengatakan, saat itu mereka hendak kembali ke perairan Selat Lembeh, Kota Bitung, setelah sembilan hari melaut di perairan Belang, Minahasa Tenggara.
“Kami sudah perbaiki mesin kapal sampai bisa hidup lagi, tapi tetap enggak bisa jalan karena piston mesin sudah pecah. Kapal memang masih baru, tapi mesinnya sudah tua,” kata Musmal setibanya di Bandara Sam Ratulangi, Manado.
Pemilik KM Aleluya, Marnes Sanggili, mengatakan, kapal baru berusia satu tahun. Sebelum dibawa melaut, mesin kapal telah diperbaiki secara mendalam (overhaul) dan diganti dengan suku cadang yang baru, termasuk piston mesin. “Tapi, ini kan musibah sehingga saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa,” katanya.
Kami sudah perbaiki mesin kapal sampai bisa hidup lagi, tapi tetap enggak bisa jalan karena piston mesin sudah pecah. Kapal memang masih baru, tapi mesinnya sudah tua, kata Musmal
Setelah mesin kapal mati, para ABK mengontak pemilik kapal pukul 10.00 Wita serta memberitahu koordinat posisi kapal. Namun, tidak ada kabar balasan maupun bantuan. Akhirnya, selama 18 hari, kapal kami hanyut terbawa ombak sampai 900 mil ke arah timur sampai Samudera Pasifik sebelah barat.
Kepala Kantor Basarnas Manado Gede Darmada mengatakan, Basarnas Manado telah menerima laporan KM Aleluya yang mati mesin di hari yang sama. Pencarian selama dua minggu dengan bantuan kapal Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Indonesia (KPLP), TNI AL, dan pemilik kapal tidak membuahkan hasil.
“KM Aleluya sulit dihubungi karena mesinnya mati sehingga kami tidak tahu lokasi persisnya. Pencarian juga sulit karena saat itu arus sangat kuat dan ombak cukup tinggi, sekitar 3-4 meter. Akhirnya, kami meminta kantor pusat Basarnas di Jakarta untuk menyiarkan permohonan bantuan pencarian kepada kapal-kapal lain di daerah Pasifik,” kata Gede.
Kedelapan ABK akhirnya ditemukan oleh Penjaga Pantai AS, Kamis (15/8). Basarnas mendapat kabar penyelamatan ini dari Pusat Koordinasi Penyelamatan (RCC) Guam, teritori AS yang berada di Samudera Pasifik bagian barat.
Kedelapan ABK dievakuasi ke Palau, negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik yang menjadi lokasi pangkalan angkatan laut AS. Mereka diangkut dengan kapal tanker dan tiba setelah semalam perjalanan.
Para ABK tidak memiliki paspor saat tiba di Palau. Untuk memastikan kepulangan kedelapan ABK, Keduataan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Manila, Filipina, membuatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) sebagai dokumen pengganti.
“Kendala yang kami hadapi adalah para ABK tidak memiliki paspor. Tapi itu mudah diatasi karena hanya butuh KTP mereka untuk membuat SPLP. Setelah SPLP jadi, baru mereka bisa keluar dari Palau,” kata Yudhi Prasetyono, staf Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri.
Tidak ada penerbangan langsung dari Palau ke Indonesia. Karena itu, pemulangan kedelapan ABK harus melalui Manila terlebih dahulu, dilanjutkan ke Jakarta, kemudian Manado.
Bertahan hidup
Selama 18 hari terombang-ambing di laut, para ABK harus mencoba segala cara untuk bertahan hidup. Musmal mengatakan, mereka bertahan tidak makan selama seminggu. Ketika air minum habis, mereka merebus air laut di dalam wadah tertutup, lalu meminum titik-titik embun dari uap air yang menempel di tutup panci.
“Tapi itu tidak banyak. Yang penting kami sudah basahi mulut dan kerongkongan. Saat sudah kehausan, sementara hujan tidak turun sama sekali, kami terpaksa minum air laut meski dua teguk saja,” kata Musmal.
Baju-baju para ABK sudah habis dibakar untuk membuat kode permintaan pertolongan. “Untungnya, di Palau kami ada seorang teman yang bekerja di resort. Dia mengumpulkan baju-baju untuk diberikan kepada kami,” lanjut Musmal.
Tapi itu tidak banyak. Yang penting kami sudah basahi mulut dan kerongkongan. Saat sudah kehausan, sementara hujan tidak turun sama sekali, kami terpaksa minum air laut meski dua teguk saja, kata Musmal.
Sehari sebelum mereka diselamatkan Penjaga Pantai AS, kapten kapal mereka, Rahmat Bakus, lebih dulu meninggalkan kapal dengan naik sekoci. Musmal mengatakan, keputusan itu mendapat persetujuan dari kedelapan ABK.
“Tapi dia enggak balik. Kami kaget saat mendengar kabar dia sudah pulang duluan ke Manado,” kata Musmal.
Rahmat Bakus diselamatkan lebih dulu pada Rabu (14/8) setelah ditemukan oleh kapal N03 Kinseimaru setelah memisahkan diri dari ABK-nya. Ia dibawa ke Okinawa, Jepang, lalu dipulangkan ke Manado.