Visi Poros Maritim Dunia Butuh Penguatan Pendidikan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Lima tahun belakangan, pemerintahan Presiden Joko Widodo berkomitmen menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Masyarakat diimbau agar tidak lagi “memunggungi”, tetapi menghadap ke laut sebagai sumber pengharapan baru.
Visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia difokuskan pada lima pilar, meliputi budaya maritim, sumber daya kelautan, infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, serta kekuatan pertahanan maritim. Untuk dapat menjalankan kelima pilar tersebut, dibutuhkan reorientasi paradigma pembangunan bangsa yang awalnya berbasis daratan menjadi berbasis kelautan.
Tahun 1999, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga pernah mengatakan, reorientasi pembangunan ekonomi dari basis daratan ke basis kelautan mutlak dilakukan, terlebih Indonesia berada di kawasan Lautan Hindia-Pasifik yang sangat strategis dalam kancah perekonomian global.
Karena itulah, di masa kepemimpinannya, Gus Dur mendirikan Departemen Eksplorasi Laut pada 26 Oktober 1999 yang menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2005. Ia juga berani menaikkan anggaran pembangunan kemaritiman dari Rp 600 miliar menjadi Rp 17 triliun. Sebuah terobosan yang luar biasa.
Dari sisi potensi ekonomi, kekayaan laut Indonesia digadang-gadang menjadi sumber pendapatan baru. Menurut Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan era Presiden Abdurrahman Wahid sekaligus Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia Rokhmin Dahuri, potensi ekonomi kelautan Indonesia sebesar 1,4 triliun dollar Amerika Serikat atau lima kali APBN 2019.
Penguatan pendidikan kemaritiman
Komitmen Indonesia menjadi poros maritim dunia, menurut mantan Direktur Purbakala, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Nunus Supardi belum diimbangi dengan penguatan pendidikan di bidang kemaritiman.
Komitmen Indonesia menjadi poros maritim dunia belum diimbangi dengan penguatan pendidikan di bidang kemaritiman.
“Bukankah Indonesia negara kelautan atau kepulauan dan kita telah menggalakkan konsep ‘tidak memunggungi laut’ lagi? Mengapa dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta instansi yang mengurus kearkeologian tidak merespon dan menggaungkan konsep itu? Saat saya bertanya tentang nasib arkeologi kemaritiman di beberapa universitas, selalu dijawab tidak ada ahlinya. Ilmu kan bisa dipelajari, kenapa kok kita justru mandeg?” ucapnya, Selasa (4/9/2019), di Jakarta.
Nunus pernah mengusulkan ke sejumlah universitas, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Udayana Bali, dan Universitas Hasanuddin Makassar agar memberikan bahan mata kuliah khusus terkait arkeologi maritim. Kebutuhan ahli-ahli arkeologi maritim kian mendesak karena sampai saat ini masih sangat banyak benda-benda arkeologis bernilai sejarah tinggi yang masih terpendam di tanah maupun karam di dalam perairan Indonesia.
Pengalaman kelam datangnya pemburu harta karun asing, Michael Hatcher, yang menggasak isi bekas kapal De Geldermalsen senilai 17 juta dollar AS pada 1986 di perairan Kepulauan Riau dan 43 kontainer berisi keramik Cina, kepeng uang logam Cina dan gading dari Selat Gelasa, perairan Bangka pada 1999-2000 menegaskan kurangnya perhatian bangsa ini terhadap kekayaan laut Nusantara. Perhatian negara terhadap peninggalan-peninggalan arkeologis bawah air juga mesti ditingkatkan mengingat budaya maritim merupakan salah satu dari lima pilar poros maritim dunia.
Perhatian negara terhadap peninggalan-peninggalan arkeologis bawah air juga mesti ditingkatkan mengingat budaya maritim merupakan salah satu dari lima pilar poros maritim dunia.
Tahun 2002, Kementerian Perikanan dan Kelautan menyebut di kawasan perairan laut Indonesia terdapat paling tidak 713 kapal pengangkut benda-benda berharga yang karam di dasar laut. “Ketika saya mencoba menelusuri perdagangan benda-benda muatan kapal karam Indonesia ke Balai Lelang Sotheby’s di London, Inggris, ada yang berkata, anda (Indonesia) sangat kaya, anda punya lebih dari 2.000 titik kapal karam,” ungkap Nunus.
Sampai sekarang belum ada data pasti jumlah kapal bersejarah yang tenggelam di perairan Indonesia. Berdasarkan data Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC), misalnya, ada 274 kapal yang tenggelam. Sementara dokumen lain dari Pemerintah Belanda, Portugal, dan Tiongkok mencatat ada 460 kapal karam di perairan Indonesia. Sementara itu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyebut ada sekitar 500 kapal bersejarah yang tenggelam di perairan Indonesia.
Komitmen luhur pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia tak cukup berhenti pada tataran kebijakan elitis. Penguatan pendidikan kemaritiman menjadi tuntutan yang kian mendesak untuk mengoptimalkan eksplorasi sumber daya laut sekaligus menjaga dan melestarikan tinggalan-tinggalan benda-benda bawah air yang luar biasa banyaknya.