RUU Pertanahan Tidak Menyelesaikan Konflik Agraria
Rancangan UU Pertanahan yang sedang dibahas di DPR-RI tidak menyebutkan pembentukan lembaga independen untuk penyelesaian konflik agrarian yang bersifat struktural, masif, dan berdampak luas.
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi
·4 menit baca
Rancangan UU Pertanahan yang sedang dibahas di DPR-RI tidak menyebutkan pembentukan lembaga independen untuk penyelesaian konflik agrarian yang bersifat struktural, masif, dan berdampak luas. Padahal, kasus konflik agraria merupakan kasus terbanyak yang diadukan ke berbagai lembaga.
JAKARTA, KOMPAS—Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang dibahas dan disiapkan segera disahkan oleh DPR-RI tidak terdapat pasal soal pembentukan lembaga independen penyelesaian konflik agraria. Dengan demikian, RUU Pertanahan tersebut berpotensi akan melanggengkan konflik agraria dan penyelesaiannya akan tumpang tindih karena akan dibentuk suatu peradilan pertanahan.
Hal tersebut mengemuka dalam acara media briefing yang digelar Komnas HAM menampilkan pembicara pakar agraria dan guru besar Fakultas Hukum UGM Maria Sri Wulan Sumardjono, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary Herwati, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, dan Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, Jumat (6/9/2019) di Jakarta.
Menurut Sandra, dalam 10-15 tahun terakhir, “Kasus yang paling banyak diadukan ke komnas adalah konflik agraria karena telah berdampak pada pelanggaran HAM.” Dalam konflik agaria banyak masyarakat adat dan petani meninggal karena mempertahankan haknya.
Dari catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) jumlah konflik agrarian selama empat tahun, 2015-2018 ada 1.771 kasus. Kasus terbanyak, 642 kasus, terjadi di sektor perkebunan. Rincian konflik agraria terkait perkebunan: tahun 2015 ada 127 kasus, tahun 2016 ada 163, tahun 2017 ada 208, dan 114 kasus terjadi tahun 2018. Konflik di sektor perkebunan melibatkan perusahaan negara dan swasta.
Maria mengatakan, “Rancangan UU Pertanahan (RUUP) tidak memandang penting adanya suatu lembaga independen yang berwenang menyelesaikan konflik-konflik agrarian. Konflik yang sifatnya struktural, masif, berskala, dan berdampak luas, dan lintas sektor. Yang diusulkan malah lembaga peradilan pertanahan.”
“Ini malah tumpang tindih kewenangannya dengan pengadilan umum atau peradilan tata usaha negara yang sudah ada. Jadi pemerintah sangat abai, berarti akan terus membiarkan konflik itu terjadi,” ujarnya. Penyelesaian konflik agraria membutuhkan langkah verifikasi, diadministrasikan, dan diregistrasi, lalu diselesaikan.
Menurut Erasmus, “Seperti kita tahu jarang sekali masyarkat menang di pengadilan. Mungkin hanya lima persen yang bisa menang. Contoh kasus di Muara Teweh masyarakat dimenangkan pengadilan, ketika banding ke MA kalah. Jadi tidak ada jaminan bisa mengembalikan tanah adat melalui proses ini.” Dia mengkritik bahwa RUUP tidak mengakui kewenangan masyarakat adat untuk menyelesaikan persoalan internal pertanahan mereka. Sementara jika berperkara dengan pihak lain harus melalui mediasi dan jika tidak sepakat harus ke pengadilan.
Soal konflik agraria, Sandra mengungkapkan, “Banyak masyarakat adat dan petani yang meninggal karena mempertahankan hak mereka atas tanah. Jutaan warga hidup dalam ketakutan merasa tidak aman karena wilayahnya diberikan kepada pihak lain yang bekerja sama dengan aparat keamanan dan dengan polri atau TNI sehingga masyarakat takut membela hak-hak mereka.”
Pasal pidana
Di sisi lain, seperti dikatakan Rakhma, justru terdapat upaya memenjarakan masyarakat yang memperjuangkan haknya. Mereka akan dipenjara atau didenda dengan jumlah denda miliaran.
“RUUP ini akan memenjarakan orang yang memanfaatkan tanah. Ada pasal yang menyebutkan, mereka yang mengerjakan tanah dengan itikad baik diberikan hak atas tanah di atasnya, ada untuk hak milik. Tetapi pasal pidana berlawanan (bunyinya). Orang yang mengerjakan tanah tanpa izin pemiliknya dia dipidana penjara beberapa tahun dan beberapa miliar denda,” kata Rakhma.
Demikian juga orang yang mempertahankan hak atas tanahnya dari penggusuran yang dipandang menghalangi petugas maka dia akan diancam pidana 10 tahun dan denda Rp 5 miliar. “Juga memenjarakan orangy ang berjuang mengembalikan hak atas tanah dan bersinggungan dengan pihak lain yang dipandang bisa membuat permufakatan jahat dan bisa sebabkan konflik agrarian, diancam hukuman 12 tahun dan denda Rp 5 miliar,” tambah Rakhma.
Draft dari RUUP terakhir menurut para narasumber yaitu tanggal 1 September 2019. Rencananya RUUP akan disahkan pada 24 September mendatang. Sandra menegaskan, “Komnas HAM merekomendasikan menunda pengesahan RUUP ini.”