Pemerintah Dorong Inovasi Komoditas dan Budaya Maritim
Indonesia sebagai negara kepulauan dinilai punya potensi komoditas dan budaya maritim yang luar biasa besar. Namun, sejauh ini potensi itu belum tergarap maksimal
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Indonesia sebagai negara kepulauan dinilai punya potensi komoditas dan budaya maritim yang luar biasa besar. Namun, sejauh ini potensi itu belum tergarap maksimal. Inovasi dibutuhkan agar masyarakat mendapat nilai tambah yang besar dari komoditas dan budaya maritim yang ada.
Staf Ahli Bidang Sosio-Antropologi Menteri Koordinator Kemaritiman Tukul Rameyo Adi, di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (7/9/2019), mengatakan, sejauh ini Indonesia belum memaksimalkan potensi komoditas dan budaya maritim. Akhirnya, potensi itu justru dimanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keuntungan.
”Kalau kita tidak mau mengelola, orang lain yang akan mengambilnya. Kita dapat nilai tambah kecil sekali karena berhenti hanya sampai di komoditas,” kata Rameyo dalam seminar ”Pembangunan Potensi Maritim dan Mitigasi Bencana”.
Ia mencontohkan potensi komoditas rempah. Indonesia merupakan salah satu penghasil rempah terbesar dunia. Namun, inovasi terhadap komoditas itu hampir tidak tampak. Kopi atau sabun rempah justru dimiliki pihak luar yang notabene bukan penghasil rempah.
Contoh lainnya adalah budaya maritim yang diadopsi dalam film animasi Moana yang diproduksi Walt Disney Animation Studios, Amerika Serikat. Film ini sangat kental dengan budaya maritim Indonesia, seperti penggunaan perahu cadik hingga kisah penjelajah samudra. Namun, kekayaan budaya Nusantara itu justru diangkat pihak luar dengan identitas negara Fiji.
”Nah, kenapa Fiji yang dipilih? (Padahal) nenek moyang kita yang dulu mengarungi tiga samudra dengan kapal cadik itu. Jadi, banyak kultur kita yang bisa diangkat dan meraup pendapatan, salah satunya melalui media film,” ujar Rameyo.
Meskipun demikian, kata Rameyo, beberapa inovasi sudah mulai muncul di tangan generasi muda. Salah satu contoh adalah produk garam premium yang dijual perusahaan Javara. Dengan adanya inovasi dengan penambahan nilai budaya, garam yang biasanya di tingkat petambak Rp 1.200 per kilogram bisa meningkat harganya menjadi 1 euro per kilogram atau sekitar Rp 15.660.
Ia melanjutkan, pemerintah pun terus mendorong masyarakat agar mulai berinovasi untuk mendapatkan nilai tambah yang besar dari produk yang dihasilkan. Presiden Joko Widodo dalam lima tahun ke depan juga sudah memfokuskan pembangunan infrastruktur ekonomi yang menciptakan nilai tambah.
”Ke depan, pemerintah punya banyak kawasan strategis pariwisata. Pasar kita luar biasa. Ayo kita warnai dengan produk-produk inovatif yang berbasis budaya,” ujar Rameyo.
Ke depan, pemerintah punya banyak kawasan strategis pariwisata. Pasar kita luar biasa. Ayo kita warnai dengan produk-produk inovatif yang berbasis budaya.
Jalur rempah
Peneliti bidang botani Ary Prihardhyanto dalam seminar mengatakan, Indonesia pada masa lampau punya tradisi maritim yang kuat. Mereka berkelana ke berbagai penjuru dunia, seperti Jazirah Arab, untuk berdagang komoditas rempah. Jazirah Arab pada masa itu merupakan pusat perdagangan rempah dunia.
Saking tingginya permintaan terhadap rempah-rempah, kata Ary, pedagang Arab dan Persia kemudian datang langsung ke Nusantara. Para pedagang itu bertanya kepada orang Nusantara yang berniaga ke Jazirah Arab jalan menuju Nusantara.
Jalur perdagangan rempah (dari Nusantara) dikenal dengan jalur rempah. Gambaran mengenai jalur rempah termuat dalam catatan penjelajah Maroko, Ibnu Batutta, yang hidup pada abad pertengahan. Indonesia sebagai penghasil rempah menjadi pusat dalam jalur rempah tersebut.
Sementara itu, Tenaga Ahli Bidang Sumber Daya Manusia Menko Kemaritiman Agus Purwoto menyebutkan, pemerintah berupaya menjadikan jalur rempah itu sebagai warisan budaya dunia UNESCO untuk tahun 2021. Hal itu sejalan dengan semangat Presiden menjadikan kembali Indonesia sebagai poros maritim dunia.