Pasar Indonesia di Bawah Bayang-bayang Obligasi China
Tumbuhnya minat investor asing terhadap obligasi Pemerintah China diprediksi akan memicu pergerakan arus modal keluar, terutama dari Thailand, Kolombia, Polandia, Afrika Selatan, dan Malaysia.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran surat utang terbitan Pemerintah China cukup membuat waswas pasar keuangan dalam negeri. Pasar Surat Berharga Negara atau SBN mulai dihantui oleh risiko keluarnya arus modal menuju China karena obligasi Pemerintah China dinilai cukup menjanjikan di mata investor.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, yang dihubungi di Jakarta, Sabtu (7/9/2019), mengingatkan bahwa minat investor asing terhadap instrumen surat utang terbitan Pemerintah China tinggi. Padahal, ”negara tirai bambu” tersebut baru membuka pasar obligasi dalam setahun terakhir.
”Selama ini, Pemerintah China yang aktif menanamkan modal mereka secara jangka panjang di obligasi-obligasi negara maju dan berkembang,” ujarnya.
Permintaan investor asing terhadap obligasi Pemerintah China meningkat sejak April 2019 seiring dijualnya obligasi di indeks Bloomberg-Barclays Global Aggregate (BBGA). Walau ketertarikan investor asing tinggi, nyatanya Pemerintah China masih menjaga porsi kepemilikan investor asing di bawah 3 persen dari seluruh pasar obligasi China.
David menjelaskan, magnet utama daya tarik obligasi Pemerintah China adalah peringkat investasi mereka. Lembaga pemeringkat utama global, Standard and Poor’s (S&P), menempatkan peringkat kredit China di level AAA.
Level tersebut masih berada di atas rating investasi negara-negara berkembang, seperti Thailand (BBB+), Malaysia (A-), dan Indonesia (BBB). Selain peringkat kredit, klaim otoritas China terkait stabilitas ekonomi domestiknya juga menjadi acuan investor untuk menanamkan modal mereka.
Keunggulan Indonesia
Meski peringkat investasi Indonesia masih beberapa level di bawah China, David menilai obligasi Pemerintah Indonesia masih punya keunggulan di sisi imbal hasil. SBN dengan tenor 10 tahun saat ini memiliki imbal hasil 7,3 persen atau lebih tinggi 4 persen dari imbal hasil obligasi Pemerintah China, yang ditetapkan 3 persen.
”Jika ditilik lebih lanjut, sesungguhnya obligasi Pemerintah Indonesia dan obligasi Pemerintah China punya pasar dan segmentasinya masing-masing, berbeda dari sisi profil risiko dan kebutuhan investasi,” kata David.
Hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini, menurut David, adalah memperluas distribusi obligasi pemerintah agar tidak didominasi investor jangka pendek. Keberadaan investor jangka panjang akan memperkuat stabilitas ekonomi dari hantaman global yang tak terduga, seperti perang dagang.
”Indonesia perlu memperluas pangsa investor obligasi dengan karakteristik jangka panjang, seperti pemerintah negara asing, bank sentral, perusahaan asuransi, atau perusahaan pengelola dana pensiun,” ujarnya.
Berdasarkan laporan HSBC Global Research, obligasi Pemerintah China akan secara bertahap dimasukkan dalam indeks obligasi JP Morgan, yaitu Government Bond Index-Emerging Markets (GBI-EM), selama 10 bulan mulai Februari 2020.
Tumbuhnya minat investor asing terhadap obligasi Pemerintah China diprediksi akan memicu pergerakan arus modal keluar, terutama dari Thailand, Kolombia, Polandia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Arus modal keluar dari Indonesia periode Februari-November 2020 diproyeksikan sekitar 1,1 miliar dollar AS.
Terlepas dari proyeksi itu, Head of Economic & Research PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja tetap meyakini bahwa imbal hasil akan menjadi variabel utama bagi investor dalam mempertimbangkan pembelian obligasi pemerintah.
Pendalaman pasar obligasi
Akan tetapi, komposisi investor asing yang jumlahnya hampir mencapai 40 persen dari total investor bisa membuat limbung perekonomian apabila secara serentak keluar dari pasar. Risiko ini menuntut agar pendalaman pasar obligasi, baik obligasi negara maupun korporasi, tetap dilanjutkan pemerintah.
Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong lebih banyak perusahaan untuk menerbitkan obligasi korporasi. ”Pemerintah juga bisa memperbanyak suplai obligasi yang bisa dimaksimalkan investor domestik, termasuk dari kalangan ritel,” ujarnya.
Selain itu, perbaikan ekonomi secara struktural juga mesti terus dilakukan, terlebih lagi Indonesia masih memiliki masalah dengan data defisit transaksi berjalan. Perbaikan neraca berjalan diyakini akan membuat investor asing tidak mudah keluar dari pasar SBN kendati kondisi global diliputi ketidakpastian.
”Terlepas dari itu semua, peluang investor asing untuk terus masuk ke pasar obligasi pemerintah masih sangat terbuka, didukung pula oleh tren penurunan yield obligasi negara secara global,” ujarnya.