Menata Destinasi Urban Jakarta
Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mewujudkan destinasi urban diwujudkan antara lain lewat kerja sama dengan pemerintah pusat melakukan urban regenerasi.
Pengembangan kota menjadi kawasan destinasi urban atau tujuan wisata perkotaan sudah diadopsi banyak kota di dunia. Jakarta pun mulai serius berbenah seiring upaya mengatasi total masalah perkotaan yang membelitnya. Namun, dampak baik dan buruk destinasi urban perlu diantisipasi sejak dini agar pembangunan kota tak salah arah.
Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mewujudkan destinasi destinasi diwujudkan, antara lain lewat kerja sama dengan pemerintah pusat melakukan urban regenerasi.
Urban regenerasi boleh diartikan bebas sebagai upaya pembenahan total guna mengatasi berbagai masalah perkotaan yang selama ini membelit Jakarta. Urban regenerasi akan menjadi senjata ampuh untuk ”menyembuhkan” Jakarta dari penyakit akut kemacetan, kekurangan layanan angkutan publik, isu air bersih, penurunan muka tanah, hingga isu sosial seperti kemiskinan dan kesehatan.
Wisata perkotaan menjadi bagian serta dampak positif dari urban regenerasi. Kebijakan yang diinisiasi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ini sudah menjadi program resmi pemerintah yang diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (26/8/2019) (Kompas, 27/8/2019).
Tak kurang dari Rp 571 triliun akan dikucurkan pemerintah pusat dan DKI serta didukung model pembiayaan yang menggandeng badan usaha milik negara ataupun pihak swasta untuk membenahi Jakarta.
Ditargetkan, dalam 10 tahun ke depan atau pada 2030, Jakarta menjadi kota bisnis dan niaga global layaknya New York di Amerika Serikat. Pembangunan jaringan transportasi publik dengan kereta massal cepat atau MRT sebagai tulang punggung, perumahan rakyat, dan penanganan banjir menjadi tiga program utama.
Diidamkan, Jakarta akan memiliki layanan kereta massal MRT dan KRL yang lebih luas, armada bus Transjakarta yang melayani hingga kota-kota tetangga, juga kereta ringan atau LRT akan melayani warga. Selain itu, pengelolaan sungai, penanganan banjir, dan penyediaan air bersih juga ditargetkan makin baik lagi.
Baca juga: JK, Jakarta Jadi Kota Terpadu Bisnis dan Niaga Global
Penataan fisik kota pun jadi sasaran. Pembenahan trotoar yang nyaman yang menghubungkan setiap sudut kota dilanjutkan. Pedagang kaki lima mendapat tempat memadai dan bahkan bisa menjadi bagian dari daya tarik kota. Daya tarik yang bersanding dengan banyak potensi lain mulai dari kawasan Kota Tua, museum-museum, pasar-pasar tradisional hingga pusat-pusat belanja modern termasuk perkantoran dan pusat perekonomian lainnya.
Dengan demikian, kota ini nanti tidak hanya akan ramah terhadap warganya, tetapi juga kepada setiap orang yang beraktivitas di Jakarta. Kota yang berdaya tarik tinggi tentu menggiurkan bagi para wisatawan yang mendambakan tempat penuh atraksi serta mudah dijangkau dengan kelengkapan fasilitas publiknya.
Cipete-Kemang-Blok M
Di tingkat pemerintah kota, upaya pembenahan kawasan sekaligus menyiapkan diri sebagai destinasi urban ini antara lain mulai dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Pada Selasa (3/9), Pemkot Jaksel menggelar diskusi kelompok terfokus (FGD) bersama mahasiswa dan masyarakat untuk membahas potensi wisata perkotaan. Ketiga lokasi yang disasar menjadi destinasi wisata perkotaan adalah Cipete, Kemang, dan Blok M.
Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta Selatan Imron kala itu menuturkan, FGD tersebut membahas tentang masukan masyarakat terhadap usulan ketiga lokasi di atas. Dalam FGD tersebut muncul masukan terkait apa yang harus diperbaiki maupun ditambah supaya ketiga kawasan itu menjadi destinasi wisata menarik. Masukan-masukan yang ada dalam FGD tersebut nantinya akan menjadi bahan evaluasi bagi Pemkot Jaksel untuk mengakomodasi saran tersebut.
”Pada prinsipnya, destinasi wisata perkotaan ini menggabungkan masukan dari warga dan keputusan pemerintah. Dengan demikian, diharapkan output-nya benar-benar mengakomodasi kepentingan warga dan pemerintah,” ujar Imron.
Menurut Imron, penetapan destinasi wisata perkotaan ini merupakan perintah dari Gubernur DKI Jakarta. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu perencanaan destinasi yang ditargetkan selesai pada Desember 2019. Kemudian, diikuti penetapan dan pemantapan destinasi pada 2020. Warga diharapkan memberikan masukan terkait aspek apa saja yang berpotensi menarik wisatawan domestik ataupun mancanegara.
Baca juga: Pemkot Jaksel Tampung Masukan ”Urban Destination”
”Syarat dari urban destination adalah akses yang terjangkau dan ramah terhadap wisatawan. Mulai dari trotoar, angkutan umum, hotel dan penginapan hingga akses untuk disabilitas,” kata Imron.
Selain aksesibilitas, destinasi wisata tersebut diharapkan juga memuat kesenian lokal. Kesenian lokal harus mampu tampil menjadi primadona dan memiliki unsur khas yang membedakan dengan destinasi lain. Kesenian Betawi yang banyak berkembang di Jakarta Selatan diharapkan dapat tampil dan menjadi aset bagi wisata perkotaan tersebut.
Bagi masyarakat perkotaan, destinasi ini juga akan menarik minat mereka untuk melakukan kegiatan liburan dalam kota. Kegiatan berlibur di dalam kota bisa dilakukan dengan cara menyaksikan pertunjukan konser musik, opera, pameran berbelanja dan rekreasi lainnya.
Baca juga: Kemang, Pengelolaan yang Masih Parsial
Sejumlah usulan yang sudah masuk ke Sudin Pariwisata dan Kebudayaan Jaksel, di antaranya, adalah kegiatan atraksi Cipete Vaganza, Blok M Little Tokyo, Ennishicai, Pop Up Market, Kemang Art Center, dan Festival Palang Pintu Kemang.
”Ketiga lokasi, yaitu Cipete, Blok M, dan Kemang, sudah memenuhi unsur atraksi, aksesibilitas, juga amenitas. Sudah ada stasiun MRT, Transjakarta, hingga hotel dan fasilitas umum lainnya,” tutur Imron.
Rambu-rambu PBB
Badan PBB yang mengurusi pariwisata dunia, The World Tourism Organization (UNWTO), dalam situs resminya menyatakan, pariwisata perkotaan adalah jenis kegiatan pariwisata yang terjadi di ruang perkotaan dengan atribut bawaannya yang ditandai oleh ekonomi berbasis non-pertanian, seperti administrasi, manufaktur, perdagangan, dan jasa, menjadi titik transportasi yang kecil. Perkotaan atau tujuan kota menawarkan beragam atraksi budaya dan arsitektur, teknologi, pengalaman sosial dan alam, serta produk untuk liburan dan bisnis.
Menurut PBB, pada 2030, diperkirakan 60 persen warga dunia menyesaki kawasan perkotaan yang makin membesar. Bersama dengan pilar utama lainnya, pariwisata menjadi komponen utama dalam ekonomi, kehidupan sosial, dan geografi kota di dunia. Wisata jadi elemen kunci dalam kebijakan pembangunan perkotaan.
Secara khusus, PBB menegaskan, turisme perkotaan dapat mewakili kekuatan pendorong dalam pengembangan banyak kota dan negara. Hal ini berkontribusi terhadap kemajuan Agenda Urban Baru dan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan khususnya untuk tujuan atau sasaran ke-11, yaitu ”Membuat kota dan permukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan”. Pariwisata secara intrinsik terkait dengan bagaimana kota berkembang mandiri menyediakan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk dan pengunjungnya.
Secara khusus, PBB menegaskan turisme perkotaan dapat mewakili kekuatan pendorong dalam pengembangan banyak kota dan negara. Hal ini berkontribusi terhadap kemajuan Agenda Urban Baru dan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya untuk tujuan atau sasaran ke-11, yaitu ”Membuat kota dan permukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan”.
Untuk itu, ada rambu-rambu khusus dari UNWTO, yaitu dalam menggarap potensi pariwisata sebagai alat pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif untuk kota-kota, diperlukan pendekatan multi-pemangku kepentingan dan multilevel berdasarkan kerja sama erat antara administrasi pariwisata dan nonpariwisata di berbagai tingkat. Sektor swasta, masyarakat lokal, dan wisatawan turut termasuk di dalamnya. Demikian juga pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan pariwisata di kota-kota perlu diintegrasikan ke dalam agenda perkotaan yang lebih luas.
Rambu-rambu PBB itu butuh dijabarkan lebih detail sesuai dengan kebutuhan di tiap kota. Pembangunan industri pariwisata kota diharapkan tidak berbuah pada kegiatan wisata massal berujung petaka.
Data Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, setiap satu orang, di mana pun dia berada, setidaknya akan menghasilkan sampah 0,5-0,8 kilogram per hari. Ini belum limbah lain, misalnya sisa metabolisme tubuh, juga kebutuhan air bersih, energi bahan bakar yang diperlukan untuk memfasilitasi pergerakan orang, dan lainnya.
Jika sejak awal tidak diperhitungan dengan baik, mendatangkan wisatawan ke suatu tempat atau kota, sama saja memupuk bencana. Tidak akan sebanding dengan keuntungan yang didapat karena keberlanjutan kota dipertaruhkan.