Mengikuti lomba lari membutuhkan persiapan fisik dan mental yang dilatih secara bertahap. Kemampuan diri menahan ambisi mencatatkan waktu lebih cepat, padahal fisik sudah tak mampu, sangat penting bagi para pegiat lari.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Kesadaran pelari dan panitia penyelenggara lomba lari terhadap keselamatan kian meningkat. Hal itu terlihat menjelang gelaran tahunan Maybank Bali Marathon (MBM) 2019. Banyaknya korban meninggal di suatu perlombaan lari menjadi pelajaran bagi peserta ataupun panitia perlombaan lari agar insiden seperti itu tidak terulang lagi.
Ajang perlombaan lari kian bergeliat di Indonesia. Menurut data Jakarta Berlari, ajang tersebut meningkat 33 persen dari 288 kegiatan pada 2017 menjadi 341 kegiatan pada 2018. Hingga pertengahan 2019 sudah ada 253 kegiatan dan berpotensi terus bertambah.
Namun, ajang yang seharusnya menyehatkan itu justru tak sedikit menimbulkan korban jiwa. Paling tidak, sejak awal 2017 hingga awal Agustus 2018, ada lima korban meninggal dari perlombaan lari yang berbeda-beda. Salah satu korban meninggal menjelang finis di kategori 10K MBM 2018.
Dari analisis sejumlah pakar medis di bidang olahraga, pemicu korban meninggal dalam ajang lari adalah penanganan yang kurang tepat saat insiden terjadi. Selain itu, peristiwa tersebut bisa terjadi karena pelari bersangkutan dalam kondisi kurang baik, tetapi tetap memaksa diri, antara lain kurang waktu istirahat atau tidur.
Banyak pelari yang menyadari fenomena itu sehingga melakukan persiapan lebih matang. Pelari asal Jakarta yang mengikuti kategori half marathon MBM 2019, Ilhami Ningsih (40), ditemui di Taman Bhagawan, Kabupaten Badung, Bali, Jumat (6/9/2019), mengatakan, dirinya memang gemar olahraga sejak kecil, tetapi baru mulai mengikuti perlombaan lari pada 2012.
Di waktu-waktu biasa, Ilhami rutin menjaga kebugaran dengan lari 5K atau 10K sekitar tiga kali per minggu. Sekitar tiga bulan sekali, ia mengikuti lomba 10K atau half marathon. Dua minggu menjelang perlombaan, dia selalu menyiapkan diri lebih intens secara khusus.
Biasanya Ilhami meningkatkan volume latihan untuk menjaga daya tahan. Ia juga menjaga asupan makanan dan waktu istirahat. Minimal dia tidak makan yang pedas-pedas dan terlalu asin serta tidur paling sedikit 6-7 jam sehari. ”Makan pedas dan terlalu asin itu bisa buat badan mudah lemas. Kalau tidur kurang, itu bahaya sekali buat jantung,” ujarnya, yang selama ini banyak belajar soal lari secara otodidak lewat sejumlah aplikasi ponsel pintar dan artikel di internet.
Manajemen diri
Selain melakukan persiapan matang, manajemen diri saat lomba juga sangat penting untuk menjaga keselamatan. Pelari asal Kuala Lumpur, Malaysia, yang ikut kategori half marathon, Mohammad Fahmi (36), menuturkan, dirinya berusaha untuk waspada dengan tidak memforsir diri berlari melebihi batas kemampuan.
Untuk itu, Fahmi selalu mengurangi kecepatan, bahkan berhenti sejenak, jika napasnya mulai terengah-engah. ”Saya bukan tipe orang yang nekat. Kalau sudah tidak kuat lagi, saya lebih baik memperlambat laju. Kalau tetap tidak sanggup, saya akan berhenti dan istirahat dulu,” katanya, yang baru mulai mengikuti perlombaan lari sejak 2017 itu.
Pelari asal Jakarta yang juga mengikuti half marathon, Raditio Ghifiardi (45), mengutarakan, dirinya selalu menggunakan alat pengukur detak jantung ketika lari. Ia berusaha lari tidak melebihi batas detak jantung normalnya. Kalau detak jantung sudah terlalu cepat, dia akan menurunkan kecepatan dan mengatur kembali napasnya.
Selain itu, Raditio selalu menjaga asupan cairan tubuh. Selama perlombaan, ia akan menyempatkan untuk rutin minum. Dia tidak mau sampai dehidrasi karena dampaknya bisa fatal. ”Dehidrasi itu bisa membuat lemas sampai memicu kematian. Jadi, saya sadar diri dengan usia yang sudah lumayan berumur, harus minum lebih banyak saat berlari,” tuturnya.
Panitia lebih waspada
Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, panitia MBM juga berusaha lebih waspada dalam mengantisipasi korban jiwa saat perlombaan. Salah satu caranya, mereka melakukan acara road to MBM 2019 dengan agenda utama sosialisasi persiapan kesehatan dan keselamatan sebelum perlombaan.
Panitia melibatkan pelari berpengalaman, pelatih, hingga dokter spesialis untuk berbagi informasi mengenai perencanaan latihan dan cara pemulihan tubuh. Mereka juga menyiapkan pacer atau pelari pemandu yang jumlahnya meningkat, yakni dari 19 orang pada tahun lalu menjadi 41 orang tahun ini.
Selain membantu target pencapaian waktu finis peserta, pacer juga dibekali kemampuan prosedur pertolongan pertama dan sertifikasi emergency CPR (cardiopulmonary resuscitation) jika menemukan kondisi darurat di perlombaan. Panitia pun menyiapkan 24 ambulans (9 mobil dan 15 sepeda motor), 178 tenaga medis, serta 750 personel keamanan. ”Kami berupaya agar ajang ini punya standar keselamatan yang lebih baik,” ujar Direktur Maybank Indonesia Eri Budiono.
Tahun ini, MBM diikuti sekitar 11.600 peserta atau meningkat 10 persen dibandingkan sebelumnya. Para peserta itu berasal dari 50 negara, antara lain Kenya, Etiopia, Amerika Serikat, sejumlah negara Eropa, Australia, Jepang, beberapa negara Asia lain, dan para pelari lokal. Ajang ini cukup prestisius karena menjadi kualifikasi maraton PON Papua 2020. Sedikitnya 31 atlet nasional dari 11 provinsi bersaing untuk mendapatkan tiket ke PON tahun mendatang.