Isu Sensitif Boleh Tampil di IIBF Selama Sesuai Koridor Buku
Para pegiat literasi perlu lebih bijak dalam memilih pembicara agar aktivitas literasi tidak jadi panggung yang mengancam keberagaman.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Para pegiat literasi perlu lebih bijak dalam memilih pembicara agar aktivitas literasi tidak jadi panggung yang mengancam keberagaman.
JAKARTA, KOMPAS Ketua Komite Buku Nasional Laura Bangun Prinsloo menyayangkan keputusan penyelenggara Indonesia International Book Fair memberi tempat bagi pihak yang dituding tak mencerminkan semangat keberagaman sebagai pembicara. Hal itu harus menjadi pelajaran bagi semua pegiat literasi agar lebih bijak memilih narasumber supaya aktivitas literasi tak menjadi panggung yang mengancam keberagaman Nusantara.
”Bagi Komite Buku Nasional yang bertugas memperkenalkan karya literasi Indonesia kepada dunia internasional, pemilihan narasumber secara tepat penting demi memelihara citra Indonesia di dunia literasi internasional sebagai negara demokratis yang menghargai keragaman,” kata Laura, Jumat (6/9/2019), di Jakarta.
Pemilihan narasumber secara tepat penting demi memelihara citra Indonesia di dunia literasi internasional sebagai negara demokratis yang menghargai keragaman.
Pernyataan itu menyikapi keputusan panitia Indonesia International Book Fair (IIBF) 2019 menampilkan narasumber yang kontroversial. Di media sosial, warga mempertanyakan alasan panitia IIBF mengundang pembicara yang dinilai kesehariannya tak mencerminkan semangat keberagaman dan toleransi.
Acara itu diikuti 40 penerbit dalam negeri dan peserta dari 20 negara. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sebagai penyelenggara IIBF merupakan organisasi penerbitan profesional berbasis Pancasila, kerja sama timbal balik, dan keluarga.
Permintaan penjelasan juga diutarakan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) melalui siaran pers, Jumat (6/9). Surat itu ditandatangani Kepala Bekraf Triawan Munaf yang menyatakan mendukung Ikapi melalui IIBF menempatkan Indonesia sebagai pusat perkembangan industri literasi, setidaknya di Asia Tenggara.
Surat itu mengelaborasi bahwa budaya literasi berarti tumbuh seiring pemahaman warga tentang keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.
Bekraf sangat menyesali Ikapi sebagai penyelenggara IIBF menyertakan pihak yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Jadi Ikapi perlu bertanggung jawab memberi klarifikasi.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Penulis Satupena Kanti W Janis menegaskan, Panitia IIBF tak boleh naif menganggap melalui diskusi buku tidak ada agenda politik tersirat di dalamnya. Masyarakat melihat pembicara yang diundang sebagai simbol organisasi yang mengancam identitas Indonesia sebagai negara Pancasila.
Terbatas pada buku
Ketua Panitia IIBF 2019 Djadja Subagja membenarkan sastrawan Goenawan Mohamad dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengundurkan diri menjadi pembicara karena tak setuju dengan tampilnya pembicara kontroversial itu. Hilmar dijadwalkan memberi orasi kebudayaan Sabtu ini. ”Pembicara berhak menolak tampil jika ada hal yang tak sesuai idealismenya,” kata Djadja.
Dalam IIBF, penulis dari berbagai genre diberi tempat untuk mengisi acara. ”Semua buku yang diterbitkan para penerbit anggota Ikapi dipastikan kontennya sesuai aturan. Topiknya mungkin ada yang kontroversial dan sensitif bagi masyarakat, tetapi pembahasannya sesuai kaidah akademik ataupun sastra,” kata Wakil Ketua III Ikapi tersebut.
Ia mencontohkan, pada IIBF 2016 warga memprotes salah satu buku yang dipamerkan karena bergambar palu dan arit serta dituding mempromosikan komunisme. Ikapi menjelaskan, buku itu membahas dari sisi akademik, bukan propaganda.
Keputusan IIBF mengundang pembicara yang kontroversial itu karena bukunya populer di masyarakat. Paparannya dibatasi seputar isi bukunya atau industri buku. Ia membahas buku tentang perempuan yang diteladani dalam agama Islam.