Dengan alasan waktu yang terlalu mepet di ujung masa sidang periode ini, Komisi III DPR tidak akan membentuk panel ahli untuk membantu menyeleksi 10 nama calon pimpinan KPK periode 2019-2023.
Oleh
Agnes Theodorai dan Riana A Ibrahim
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan alasan waktu yang terlalu mepet di ujung masa sidang periode ini, Komisi III DPR tidak akan membentuk panel ahli untuk membantu menyeleksi 10 nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023. Absennya pihak dari luar DPR itu dikhawatirkan akan membuat proses uji kelayakan dan kepatutan murni politis dan tidak akuntabel.
Praktik ini berbeda dengan yang biasanya dilakukan Komisi III DPR, seperti saat menyeleksi 12 calon hakim konstitusi pada Januari 2019. Keterlibatan panel ahli dapat memberikan masukan dan rekomendasi terhadap rekam jejak dan kapabilitas para calon yang diseleksi sehingga pertimbangan tidak sepenuhnya politis di tangan anggota Dewan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2019), mengatakan, tim panel ahli tidak akan dibentuk dalam proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap 10 calon pimpinan KPK karena waktu seleksi yang terlalu mepet. DPR berencana mengebut proses uji dalam waktu empat hari, pada 9-12 September 2019.
Senin, 9 September, DPR akan mengadakan rapat dengar pendapat dengan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, disusul dengan pembuatan makalah oleh para capim. Keesokan harinya, Selasa, dilanjutkan rapat dengar pendapat umum dengan kelompok masyarakat sipil untuk menampung masukan terkait rekam jejak para calon.
Adapun proses puncak wawancara terhadap ke-10 calon pimpinan dijadwalkan bergiliran pada Rabu (11/9/2019) sampai Kamis (12/9/2019). Di tengah waktu yang mepet itu, menurut Masinton, DPR tidak punya waktu untuk membentuk panel ahli.
”Kalau membentuk panel lagi, waktunya tidak terkejar, padahal kami mau selesai di DPR periode ini,” kata Masinton.
Komisi III akan tetap meminta masukan dari sejumlah lembaga, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan, Badan Intelijen Negara, dan KPK sendiri, terkait nama-nama calon yang akan diseleksi.
”Kalau ada keberatan, silakan dikirimkan, sertai data, nanti pasti akan kami bahas. Kami tidak mau hanya katanya, katanya, harus ada data dan bukti,” ujarnya.
Menurut Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmons J Mahesa, jika ada nama-nama yang masih bermasalah dan disoroti publik, Komisi III akan mempertimbangkan rekam jejak mereka dalam proses uji kelayakan dan kepatutan.
”Catatan-catatan yang ada pasti akan kami, khususnya fraksi kami, jadikan modal untuk ditanyakan saat proses wawancara ke para calon itu,” lanjutnya.
Akuntabilitas
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, meski bukan sesuatu yang diwajibkan dalam proses uji kelayakan dan kepatutan, pembentukan panel ahli dapat membantu mengimbangi proses seleksi di DPR agar tidak terlalu politis. Keterlibatan pihak luar itu bisa membantu menjamin prinsip akuntabilitas dan obyektivitas dari Komisi III DPR.
”Tanpa panel ahli, patut dipertanyakan apakah proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR itu akuntabel? Akhirnya seleksi capim KPK ini akan menjadi proses yang murni politis,” ujar Oce.
DPR pun diminta untuk tidak terburu-buru memproses uji kelayakan dan kepatutan hanya dalam waktu empat hari. Waktu yang terlalu singkat, diiringi dengan nama-nama calon yang bermasalah, serta minimnya keterlibatan pihak luar dalam proses seleksi, akan membuat proses seleksi tidak akuntabel dan dikhawatirkan menghasilkan pimpinan KPK periode 2019-2023 yang juga problematik.
Apalagi, Komisi III DPR akan menjadikan rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai materi seleksi dan bahan pertimbangan utama. Calon yang memiliki cara pandang sejalan dengan revisi undang-undang yang sedang bergulir di DPR itu akan memiliki kans yang lebih besar untuk lolos proses uji kelayakan dan kepatutan. Sementara revisi UU KPK mengandung substansi yang ditengarai bisa melemahkan semangat pemberantasan korupsi (Kompas, 6/9/2019).
Oleh karena itu, DPR sebaiknya menunda proses uji kelayakan dan kepatutan ke periode 2019-2024, yang akan mulai menjabat pada 1 Oktober 2019. Selain karena waktu yang tersedia akan lebih longgar, para anggota Dewan yang baru lebih tepat mengeksekusi seleksi calon pimpinan KPK karena mereka adalah pihak yang akan bermitra kerja dengan pimpinan KPK periode mendatang.
”Logika bahwa capim KPK harus diproses dalam waktu singkat di ujung masa jabatan sekarang itu logika yang tidak masuk akal. Karena proses seleksi berpotensi diputuskan tergesa-gesa,” kata Oce.