Resesi Global dan Obligasi China Picu Arus Modal Keluar
Potensi resesi ekonomi global dan risiko penerbitan obligasi Pemerintah China akan berdampak negatif bagi perekonomian domestik. Pergerakan arus modal keluar mesti diantisipasi.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Potensi resesi ekonomi global dan risiko penerbitan obligasi Pemerintah China akan berdampak negatif bagi perekonomian domestik. Pergerakan arus modal keluar mesti diantisipasi agar defisit transaksi berjalan tidak semakin lebar.
Bank Dunia memperingatkan kondisi perekonomian Indonesia yang rentan terhadap gejolak global. Pertumbuhan ekonomi global terus melemah dan potensi resesi semakin nyata. Di AS, tanda resesi terlihat pada imbal hasil jangka pendek obligasi yang lebih tinggi daripada imbal hasil jangka panjang (inverted yield curve).
Resesi juga mengintai beberapa negara-negara anggota Uni Eropa (UE), seperti Jerman dan Inggris. Produktivitas industri di UE terus turun dalam beberapa triwulan terakhir.
Selain itu pertumbuhan ekonomi China kian melemah akibat eskalasi perang dagang AS-China. Risiko ekonomi global makin besar jika China melepas kepemilikan obligasi pemerintah AS.
Indonesia diminta berhati-hati karena risiko pergerakan arus modal keluar berpotensi lebih deras dari situasi krisis Asia pada 2008. Akibatnya, akan terjadi depresiasi rupiah yang berimbas terhadap peningkatan suku bunga. Untuk itu investasi asing langsung harus ditingkatkan agar defisit transaksi berjalan tidak melebar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tren perekonomian global mengarah ke kondisi perlemahan. Untuk itu pemerintah tetap berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan karena lingkungan global berubah begitu cepat. Seluruh kebijakan diarahkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen.
“Pemerintah tetap menjaga inflasi rendah dan perbaikan sektor pembangunan berlanjut. Arah kebijakan juga untuk mendorong investasi langsung,” kata Sri Mulyani seusai rapat bersama badan anggaran DPR di Jakarta, Jumat (5/9/2019).
Resesi ekonomi global juga membahayakan momentum pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun 0,3 persen setiap pertumbuhan ekonomi China turun 1 persen. Perekonomian berpotensi tumbuh 4,9 persen tahun 2020 dan 4,6 persen tahun 2022.
Resesi ekonomi global juga membahayakan momentum pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turun 0,3 persen setiap pertumbuhan ekonomi China turun 1 persen.
Menurut Sri Mulyani, investasi asing langsung jadi kunci menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Untuk itu pemerintah tengah menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Tujuannya menurunkan biaya berusaha dan menyederhanakan regulasi.
“Kebijakan akan dikelola dengan baik sehingga kepercayaan investor tetap terjaga dan perekonomian bisa tumbuh tinggi dan stabil,” kata dia.
Menurut catatan Bank Dunia, net investasi asing langsung yang masuk ke Indonesia dalam 5 tahun terakhir lebih rendah dibandingkan negara tetangga. Rata-rata investasi asing langsung terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 1,9 persen, sementara Vietnam 5,9 persen, Malaysia 3,5 persen, dan Filipina 2,6 persen.
Sepanjang Juni-Agustus 2019, Indonesia juga kehilangan peluang menangkap relokasi investasi yang dilakukan 33 perusahaan asing. Sebanyak 23 perusahaan memilih Vietnam, dan 10 perusahaan lainnya pindah ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand. Reformasi struktural di negara-negara itu lebih efektif dari Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, daya tarik investasi bukan hanya diberikan dalam bentuk insentif pajak. Pemerintah tetap memperbaiki pembangunan infrastruktur, pasar tenaga kerja, kemudahan berusaha, dan hubungan pusat-daerah.
“Berbagai faktor yang dilihat investor akan terus diperbaiki untuk meningkatkan daya tarik investasi,” kata Suahasil.
Obligasi China
Selain resesi ekonomi global, risiko arus modal asing keluar juga berasal dari obligasi Pemerintah China. Laporan HSBC Global Research yang dirilis pada Jumat siang, menyebutkan, obligasi Pemerintah China akan secara bertahap dimasukkan dalam indeks obligasi JP Morgan, yaitu Government Bond Index-Emerging Markets (GBI-EM) selama 10 bulan mulai Februari 2020.
Tingkat kupon obligasi Pemerintah China dalam GBI-EM akan meningkat sebesar 1 persen setiap bulan dan mencapai ambang batas maksimum sebesar 10 persen pada 30 November 2020. Kendati hanya diterbitkan 10 bulan, obligasi Pemerintah China ini diproyeksikan menarik arus modal asing mencapai 20 miliar dollar AS.
Kendati hanya diterbitkan 10 bulan, obligasi Pemerintah China ini diproyeksikan menarik arus modal asing mencapai 20 miliar dollar AS.
HSBC Global Research mencatat, permintaan asing terhadap obligasi Pemerintah China meningkat sejak April 2019. Peningkatan permintaan asing ini seiring masuknya obligasi Pemerintah China ke indeks pasar negara berkembang, seperti Bloomberg-Barclays Global Aggregate Index (BBGA).
Tumbuhnya minat investor asing terhadap obligasi Pemerintah China menyebabkan pergerakan arus modal keluar terutama dari Thailand, Kolombia, Polandia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Arus modal keluar dari Indonesia periode Februari-November 2020 diproyeksikan sekitar 1,1 miliar dollar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan, fundamen ekonomi Indonesia cukup baik di tengah potensi resesi ekonomi global. Pasar keuangan juga menarik karena imbal hasil cukup tinggi dibandingkan negara tetangga, dan selisih imbal hasil (spread) masih di atas 5,5 persen.
“Kepercayaan pasar masih tinggi. Semua kebijakan sudah dalam jalur yang benar tinggal mempertahankan,” ujarnya.
Meski demikian, lanjut Destry, pergerakan arus modal asing keluar memang berpotensi terjadi. Namun, hal serupa juga akan menimpa negara-negara lain di dunia. Pergerakan pasar cukup volatil mengikuti dinamika perang dagang AS-China. Perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian.