Indonesia Writers Festival dan Edukasi Manfaat Kemampuan Menulis di Era Media Sosial
Di tengah besarnya arus informasi yang beredar melalui media sosial dan platform digital lainnya, tantangan saat ini adalah bagaimana menyaring informasi penting, bukan hoaks, dan terverifikasi.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Selain belum tentu benar atau sesuai dengan fakta, gaya penulisan di media sosial masih belum mencerminkan keluhuran budaya Indonesia. Kondisi ini membuat kemampuan menulis sesuai kaidah bahasa Indonesia, yang selama ini dijalankan media arus utama, menjadi semakin penting.
Hal tersebut mengemuka dalam peluncuran Indonesia Writers Festival di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (6/9/2019). Hadir sebagai pembicara Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara; Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar; pendiri IDN Media, Winston Utomo; Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis; dan Wakil Rektor UMN Andrey Andoko.
Festival yang diselenggarakan untuk kedua kalinya ini berlangsung Kamis (5/9/2019) hingga Jumat (6/9/2019). Kegiatan yang bertema ”Empowering Indonesia Through Writing” diisi sejumlah acara diskusi yang dihadiri, antara lain, Najwa Shihab, Ayu Utami, Marchella FP, Henry Manampiring, dan Ivan Lanin.
”Kaidah penulisan di media sosial tidak bisa kita harapkan mengikuti kaidah yang profesional. Perhatian kita di medsos, tidak ada tata krama budaya dalam penggunaannya,” tutur Rudiantara.
Menkominfo mencontohkan, satu kata yang biasa ditulis di media sosial ternyata dalam tata krama budaya Indonesia tidak pantas diujarkan di ruang publik. ”Dalam berkomunikasi, kita seharusnya saling menghormati,” ujarnya.
Festival di UMN tersebut diharapkan bisa memperluas cakrawala budaya literasi yang sesuai kaidah tata krama bangsa ketimuran. Kegiatan-kegiatan seperti ini sangat penting untuk memperkuat kultur budaya masyarakat Indonesia yang penuh sopan santun.
Zaki berharap festival atau acara lain yang mempromosikan pentingnya kapasitas menulis, seperti Indonesia Writers Festival, dapat mengedukasi masyarakat mengenai tata kalimat yang beradab. ”Budaya sopan santun ini yang harus kita kembalikan,” ujarnya.
Penyebar hoaks
Di tengah besarnya arus informasi yang beredar melalui media sosial dan platform digital lainnya, tantangan saat ini adalah bagaimana menyaring informasi penting, bukan hoaks, dan terverifikasi.
”Sering kali yang disebarluaskan hanya data-fakta, belum tentu benar, atau benar berdasarkan satu pandangan, tetapi tidak ditempatkan dalam konteksnya. Itu tantangan media sekarang, bagaimana data yang banyak itu kita tempatkan dalam konteks,” ujar Uni.
Survei Masyarakat Telematika Indonesia pada Februari 2017 mengungkapkan, saluran penyebaran berita hoaks adalah media sosial (92,40 persen), aplikasi percakapan (62,8 persen), situs internet (34,9 persen), televisi (8,7 persen), media cetak (5 persen), surel (3,1 persen), dan radio (1,2 persen) (Kompas.id, 3/5/2019).
Tujuan media adalah menyampaikan informasi kepada publik sehingga publik dapat mengambil keputusan yang baik. Dalam hasil survei Nielsen pada Juni 2017, alasan utama pembaca masih memilih koran karena nilai beritanya yang dapat dipercaya.
Namun, publik kadang meragukan sikap netral media dalam melaporkan beritanya dan kadang dianggap berpihak kepada kaum tertentu. Media sosial menjadi alternatif lain bagi masyarakat untuk menemukan informasi.
Menanggapi hal tersebut, Najwa menekankan bahwa media tidak bisa bersikap netral. ”Harus dibedakan netral dan independen. Jurnalis harus obyektif dan independen. Kalau netral tidak berpihak kepada siapa pun. Kalau independen itu tidak ada kepentingan apa pun kecuali kepentingan publik dan kebenaran,” tuturnya.