Bank Dunia: Indonesia Akan Sulit Mengekspor Kendaraan Listrik
Indonesia diminta memperbaiki penyusunan aturan dan penegakan hukum, bukan sekadar memberikan insentif pajak.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Dunia menilai Indonesia bakal kesulitan mengekspor kendaraan listrik karena tidak menjadi bagian dari rantai pasok global. Ekspor juga tidak mudah karena Indonesia tidak memiliki tenaga kerja ahli yang cukup.
Mengutip paparan Bank Dunia bertajuk ”Risiko Perekonomian Global dan Implikasinya terhadap Indonesia”, Jumat (6/9/2019), ada sejumlah hal yang membuat Indonesia terputus dari rantai pasok global ekspor manufaktur, yaitu terkait kebijakan nontarif, tarif impor, kekurangan tenaga ahli, dan restriksi investasi.
Terputusnya Indonesia dalam rantai pasok global menyebabkan daya saing ekspor kendaraan listrik rendah. Untuk itu, Indonesia diminta memperbaiki penyusunan aturan dan penegakan hukum, bukan sekadar memberikan insentif pajak. Daya saing ekspor tidak akan meningkat hanya dengan pemberian insentif pajak.
”Berapa pun insentif atau pembebasan pajak yang diberikan tidak dapat memperbaiki permasalahan dan meningkatkan daya saing industri otomotif, tekstil, elektronik, farmasi, atau industri manufaktur lain di Indonesia,” ucap Bank Dunia.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, insentif pajak memang bukan satu-satunya strategi meningkatkan daya saing ekspor.
Pemerintah juga fokus pada pembangunan infrastruktur, pasar tenaga kerja, kemudahan berusaha, dan hubungan pusat-daerah.
Pada 8 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Regulasi ini berisi insentif fiskal dan nonfiskal bagi pengembangan kendaraan listrik.
”Kami memahami peringatan dari Bank Dunia. Namun, bukan berarti pemerintah tidak menerbitkan insentif pajak lagi. Penerbitan insentif pajak tetap, tetapi kita tetap punya pekerjaan rumah yang harus diatasi,” kata Suahasil.
Impor lama
Bank Dunia menyoroti impor bahan baku untuk produksi berorientasi ekspor yang relatif mahal, butuh waktu lama, dan kebijakan nontarif yang bersifat diskresioner. Di Indonesia, inspeksi pra pengiriman impor otomotif dilakukan oleh dua surveyor, misalnya koil dan baut untuk sistem rem serta piston baja dan ban.
Selain itu, persetujuan impor dan surat rekomendasi untuk jenis dan jumlah yang dapat diimpor masih atas diskresi Menteri Perindustrian, seperti baja canai panas, piston baja, dan ban. Sebagian besar impor bahan baku juga dikenai tarif cukup tinggi, misalnya ban 15 persen; kabel igniter, mesin bensin, dan gear box 10 persen; serta koil dan baut 15 persen.
Menurut Bank Dunia, Indonesia harus memperbaiki peraturan dan penegakan hukum, terutama zona perdagangan bebas serta penerbitan surat rekomendasi. Zona perdagangan bebas, seperti Batam, nyatanya belum membebaskan semua prosedur impor bahan baku untuk produksi berorientasi ekspor.
Selain itu, penerbitan surat rekomendasi impor dari Menteri Perindustrian juga memakan waktu tiga-enam bulan dari seharusnya paling lambat lima hari. Salah satu perusahaan ban terbesar dunia menghentikan jalur produksi di Indonesia karena Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan tidak bisa memutuskan impor ban vulkanisir yang butuh surat rekomendasi.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, Indonesia membutuhkan investasi untuk mengembangkan industri kendaraan listrik. Oleh karena itu, insentif pajak tetap diperlukan untuk menarik investor bidang teknologi.
”Investasi perangkat cerdas dan otomotif memiliki prospek cukup baik ke depan dalam membantu meningkatkan ekspor dan meninggalkan ketergantungan terhadap komoditas,” kata Shinta.
Meski demikian, menurut Shinta, Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kualitas tenaga kerja dalam industri kendaraan listrik. Industri manufaktur bernilai tinggi membutuhkan tenaga kerja ahli dan riset yang intensif serta mahal. Pelaku usaha menyambut positif pemberian insentif pajak untuk pendidikan vokasi.
Hal senada disinggung Bank Dunia. Ekspor kendaraan listrik semakin sulit karena Indonesia tidak memiliki tenaga kerja ahli yang cukup, terutama insinyur dan manajer.
Di sisi lain, restriksi terhadap investasi cukup tinggi sehingga biaya logistik dan listrik lebih mahal. Penanaman modal asing mutlak diperlukan untuk mengembangkan industri kendaraan listrik.