Para Bankir Pemberdaya Keluarga Prasejahtera
Mereka bukan bankir kebanyakan yang bekerja di kantor nan adem dan gedung megah. Mereka harus naik eretan menyeberangi sungai atau melalui jalan terjal berbatu untuk bertemu para nasabah dari kelompok prasejahtera.
Kalau kita membayangkan bankir adalah orang yang bekerja di gedung mewah, wangi, atau mengurus transaksi jutaan rupiah, lupakan saja citra itu ketika bertemu dengan para bankir dari Bank BTPN Syariah.
Mereka tidak bekerja di kantor bank yang adem dengan segala fasilitas kantoran. Mereka tidak melayani nasabah yang datang bermobil ke kantor bank. Justru merekalah yang harus jemput bola dengan mendatangi nasabah dari rumah ke rumah.
Tidak hanya tangkas mengendarai sepeda motor, mereka juga dituntut tangguh di lapangan, termasuk jika harus naik eretan menyeberangi sungai untuk sampai ke rumah nasabah atau melalui jalan terjal berbatu yang membuat ban sepeda motornya kempes. Para bankir ini adalah perempuan-perempuan muda yang tangguh. Sebagian memulai karier selepas sekolah menengah atas.
Di BTPN Syariah, bankir di lapangan memulai karier sebagai community officer. Tugasnya banyak, mulai dari mendekati calon nasabah, menjelaskan produk bank, memberikan pendampingan dan pelatihan, hingga mendengarkan keluh kesah para ibu soal urusan rumah tangga yang sama sekali tidak berhubungan dengan persoalan perbankan.
Karena tidak ada kantor cabang, Bank BTPN Syariah menyediakan kantor yang sekaligus dapat digunakan sebagai tempat tinggal dan disebut wisma. Di sana tinggal beberapa orang bankir. Pagi hari, mereka rapat menentukan tujuan dan pekerjaan hari itu. Sore hari, mereka kembali ke wisma, rapat evaluasi, lalu beristirahat.
Nasabah Bank BTPN Syariah bukan berasal dari kelas menengah yang memiliki tabungan atau pinjaman jutaan rupiah, melainkan para perempuan dari keluarga prasejahtera, yang sejahtera pun belum.
Biasanya, kelompok masyarakat ini sama sekali belum pernah tersentuh layanan perbankan. Jangankan memiliki rekening bank, menginjakkan kaki ke kantor bank saja belum pernah.
Tabungan mereka bisa jadi mulai dari selembar uang Rp 2.000. Namun, tetap harus diterima dan diperlakukan dengan baik oleh para bankir, sama seperti memperlakukan nasabah yang menabung puluhan, ratusan, hingga jutaan rupiah.
Untuk menjadi nasabah penabung atau penerima pembiayaan, para perempuan itu tidak perlu datang ke kantor cabang. Mereka akan ditemui oleh para bankir pemberdaya, sebutan untuk para bankir Bank BTPN Syariah tersebut. Untuk memperoleh pembiayaan, para ibu harus membuat kelompok yang terdiri dari 8-15 orang.
Mereka bisa saja telah memiliki bisnis, seperti berjualan kue, membuat tenun, dan berjualan nasi uduk di teras rumah. Nasabah bisa juga mereka yang baru akan memulai bisnis kecilnya. Bank BTPN Syariah tidak meminta jaminan atas pembiayaan yang diberikan.
”Sebenarnya ada jaminannya, yaitu wajah mereka. Mereka harus berkomitmen hadir setiap dua pekan di salah satu rumah anggota kelompok,” kata Direktur Bank BTPN Syariah Taras Wibawa Siregar di Bima beberapa waktu lalu.
Memang, setiap dua pekan, para nasabah tersebut harus datang ke pertemuan untuk menabung, membayar angsuran, juga menerima materi pelatihan. Pembayaran angsuran dilakukan secara tanggung renteng. Maksudnya, jika ada anggota kelompok yang tidak mencicil karena alasan apa pun, cicilannya akan ditanggung bersama oleh anggota kelompok lain.
Dengan cara seperti ini, kemungkinan pembayaran macet menjadi kecil meskipun nasabah tidak memberi jaminan barang kepada bank. Hingga semester pertama 2019, non performing financing atau pembiayaan bermasalah Bank BTPN Syariah tercatat sebesar 1,34 persen, turun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 1,65 persen.
Taras juga menjelaskan, Bank BTPN Syariah hanya memberikan pembiayaan kepada para ibu karena ingin menerapkan model bisnis Grameen Bank.
Grameen Bank adalah bank yang didirikan Mohammad Yunus di Bangladesh yang memberikan pinjaman mikro kepada nasabah perempuan. ”Kami meniru Grameen Bank. Secara statistik, perempuan lebih dapat dipercaya. Penghasilan yang diperoleh perempuan akan diberikan untuk kepentingan anak dan keluarganya,” kata Taras.
Membuat alis
Setiap pertemuan, selain diisi dengan transaksi perbankan, juga diisi dengan berbagai pelatihan. Taras mengatakan, salah satunya adalah pelatihan mencuci tangan. ”Mengapa, karena para ibu ini harus tetap sehat agar tetap produktif. Salah satu materi yang diajarkan adalah mencuci tangan dengan benar,” lanjut Taras.
Nurhaidah, Business Coach Area Matabali yang bertugas di Bima, mengatakan, materi yang diberikan tidak hanya berasal dari ide pihak bank. ”Ada juga yang mengikuti permintaan mereka, seperti bagaimana cara menggambar alis dengan benar. Jadi macam-macam topiknya, tidak hanya soal keuangan dan bisnis,” tutur Nurhaidah sembari tertawa.
Ia biasa mendiskusikan dahulu materi yang hendak disampaikan dengan rekan-rekan lainnya, seperti community officer, manager sentra, dan senior business manager yang dibawahinya juga dengan sesama business coach.
”Kami selalu berdiskusi apakah materi ini cocok atau tidak diberikan kepada nasabah,” katanya lagi.
Dengan materi-materi tersebut, nasabah mendapat bimbingan atas bisnis yang mereka jalankan. Pengetahuan nasabah tentang keuangan dan bisinis pun terus berkembang. Juga pengetahuan lain, seperti kesehatan hingga cara berdandan. Tidak hanya memberikan materi, para bankir juga dituntut menjadi panutan. Misalnya, tidak terlambat datang ke pertemuan. Bankir yang datang terlambat diharuskan membayar denda.
Taras menandaskan, ukuran kinerja keberhasilan para community officer dan bankir lainnya bukanlah sekadar angka-angka bisnis. ”Melainkan lebih kepada seberapa banyak orang yang sudah dibantu,” kata Taras.
Sebagai contoh di Desa Waduwani. Di sana terdapat beberapa anggota kelompok pembuat gerabah yang sekarang bisa memiliki penghasilan hingga Rp 5 juta per bulan dari hasil membuat dan menjual gerabah. Sebelumnya, mereka membuat gerabah hanya untuk mengisi waktu luang dengan penghasilan tidak menentu.
Contoh lain adalah kelompok nasabah dari kalangan ibu-ibu penenun yang kini tidak lagi hanya bisa pasrah dengan harga jual tenunnya karena bergantung pada modal benang dari calon pembeli. Mereka sudah berani menentukan harga jual sendiri karena, untuk membeli benang, mereka mendapat bantuan modal dari bank.
Untuk mengukur dampak sosial bagi nasabah pembiayaan, BTPN Syariah mengunakan parameter yang terdapat pada Poverty Probability Index (PPI) dari Innovations for Poverty Action (IPA).
PPI merupakan alat ukur sederhana yang biasa digunakan oleh organisasi atau perusahaan yang memiliki misi memberdayakan kelompok masyarakat miskin. Nasabah diberikan beberapa pertanyaan untuk menentukan kondisi sosial dan ekonominya. Survey PPI terdiri dari 10 pertanyaan sederhana kepada nasabah, antara lain berapa jumlah anak yang bersekolah dan apa bahan atap rumah.
Jawaban dari pertanyaan tersebut, dapat memberikan petunjuk apakah keluarga itu berada di bawah atau di atas garis kemiskinan. Dari hasil survei terhadap sebagian besar nasabah pembiayaan, diperoleh gambaran adanya kecenderungan situasi sosial dan ekonomi yang membaik setelah mendapatkan pembiayaan dan menjalankan bisnis mikro.
Suku bunga yang dikenakan memang lebih tinggi ketimbang pembiayaan dari bank lain dengan segmen berbeda. Meski demikian, tingkat suku bunga ini masih jauh lebih rendah ketimbang yang dikenakan oleh ”bank subuh”, yaitu orang yang meminjamkan di pagi hari dengan memotong pokok pinjaman lalu datang lagi sore harinya untuk menagih pokok dan bunga pinjaman.
Tingkat suku bunga juga lebih rendah dibandingkan dengan margin keuntungan yang diperoleh oleh para usahawan mikro ini. ”Mereka bisa berhitung, kok,” kata Taras.
Saat ini, ada sekitar 3,6 juta nasabah penerima pembiayaan sejak tahun 2010 yang terbagi dalam 200 kelompok nasabah. Sementara jumlah total karyawan sebanyak 12.000 orang yang sebagian besar melayani nasabah langsung yang tersebar di 70 persen kecamatan-kecamatan yang ada di Indonesia.
Keluarga prasejahtera, tentu akan menjadi keluarga sejahtera ketika mereka menjadi berdaya. Salah satu agen perubahan adalah perbankan. Bagi Bank BTPN Syariah, para bankir di lapangan adalah ujung tombak dari perubahan ini.