Ada Praktik Jual Beli ”Kursi” Sekolah hingga Rp 20 Juta Per Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengemukakan, mayoritas pengaduan terkait sistem penerimaan peserta didik baru ialah soal jual beli ”kursi” antara sekolah dan orangtua murid.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengemukakan, mayoritas pengaduan terkait sistem penerimaan peserta didik baru ialah soal jual beli ”kursi” antara sekolah dan orangtua murid. Harga yang ditawarkan Rp 6 juta hingga Rp 20 juta per anak.
Masalah itu terungkap dalam rapat koordinasi nasional bertajuk ”PPDB Sistem Zonasi untuk Mendorong Percepatan Lahirnya Perpres tentang Zonasi Pendidikan” di Jakarta, Kamis (5/9/2019). Rapat dihadiri komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Ratiyono.
Retno mengatakan, jumlah pengaduan terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang paling tinggi adalah kecurangan, termasuk jual beli kursi. Kerja sama dengan dinas pendidikan setempat diperlukan demi menindaklanjuti dan menginvestigasi laporan itu.
”Pihak dinas pendidikan sendiri mengakui adanya calo-calo. Nah, ini bagaimana kalau kemudian calo-calo ini ditangkap? Masalah ini sudah berulang kali dan laporannya selalu ada calo dan jual beli kursi,” ucap Retno.
Menurut Retno, Banten merupakan wilayah dengan jumlah laporan paling tinggi terkait dengan kecurangan jual beli kursi. Retno tidak menyebut wilayah secara detail ataupun nama sekolahnya demi mencegah stigma dan diskriminasi. Data itu hanya bisa dibuka demi kepentingan penyelidikan.
Retno menambahkan, para pengadu ditawarkan sekolah apabila mau membayar Rp 6 juta hingga Rp 20 juta untuk memperoleh kursi sekolah. ”Yang melaporkan hal tersebut menolak dan tidak dapat kursi sekolah untuk anaknya. Karena kecewa mungkin, mereka melaporkan itu ke KPAI,” tambah Retno.
Penindaklanjutan laporan tersebut, menurut Retno, perlu melibatkan dinas pendidikan setempat. Sebab, KPAI, yang fungsi utamanya sebagai pengawas, tidak berwenang melakukan investigasi. ”Kalau pengaduan itu tidak diproses, warga tidak mau melapor lagi nanti,” ucapnya.
Dalam rapat itu, sejumlah perwakilan dari dinas pendidikan di Banten menyampaikan keberatannya atas pengaduan warga yang menyatakan sekolah memperjualbelikan bangku sekolah kepada orangtua murid. Tindakan itu tidak dilakukan sekolah, tetapi para calo yang bukan karyawan sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Ratiyono mengatakan, di Jakarta tidak ada pengaduan yang diterima terkait jual beli bangku sekolah. Apabila kasus serupa ditemukan, pihaknya akan melakukan investigasi di lapangan dan memasang alat peraga pemberitahuan bahwa proses PPDB gratis.
Jalur zonasi
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2019 tentang PPDB mengatur agar PPDB dibagi menjadi tiga jalur, yakni jalur zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orangtua/wali.
Untuk jalur zonasi, sekolah diwajibkan mengalokasikan minimal 90 persen dari daya tampung sekolah. PPDB jalur zonasi artinya, sekolah memprioritaskan bangku sekolah kepada anak yang tempat tinggalnya tidak jauh dari sekolah itu.
Namun, jumlah sekolah negeri, terutama SMPN dan SMAN, di sejumlah daerah masih minim. Berdasarkan catatan KPAI, ada 394 kecamatan yang tidak memiliki SMPN atau madrasah tsanawiyah (MTs) negeri.
Ada pula 1.375 kecamatan yang tidak memiliki sekolah menengah negeri, seperti Kecamatan Poris (Kota Tangerang), Kecamatan Bangsalsari (Jember), Kecamatan Beji (Kota Depok), Kecamatan Cipondoh (Kota Tangerang), Kecamatan Pagedangan (Tangerang), serta Kecamatan Kudu dan Ngusikan (Jombang).
”Jika zonasi dibagi berdasarkan kecamatan, anak-anak di kecamatan itu tidak bisa mengakses sekolah menengah negeri,” ujar Retno.
Selain itu, Retno juga mengkritisi proses seleksi murid berdasarkan hasil ujian nasional anak. Padahal, Permendikbud mengatur, seleksi murid diprioritaskan kepada mereka yang tinggal tidak jauh dari sekolah.
Di Jakarta, pihak KPAI menerima laporan ada anak yang tidak diterima di sekolah negeri yang jaraknya hanya puluhan meter dari rumahnya karena hasil ujian nasionalnya kalah saing dengan anak lain.
”Padahal, konstitusi kita mengamanatkan, semua berhak memperoleh pendidikan, tanpa memandang nilai (ujian nasional), status sosial, dan ekonomi,” tambah Retno.
Menurut rilis KPAI, Kamis (5/9/2019), ada total 95 pengaduan dari 10 provinsi terkait PPDB yang diterima posko pengaduan KPAI tahun ini. Misalnya, ada 23 pengaduan terkait dugaan kecurangan, 17 pengaduan terkait minimnya jumlah sekolah negeri dan tidak tersebar secara merata, serta 14 pengaduan akibat tidak diterima sekolah meskipun lokasi rumahnya dekat dari sekolah.