ebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin memanfaatkan trotoar sebagai tempat pedagang kaki lima berjualan memancing silang pendapat. Pengamat perkotaan dan warga memiliki pandangan berbeda.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin memanfaatkan trotoar sebagai tempat pedagang kaki lima berjualan memancing silang pendapat. Pengamat perkotaan dan warga memiliki pandangan berbeda mengenai keberadaan pedagang kaki lima di trotoar.
Ada yang berpendapat bahwa undang-undang melarang mereka berjualan di trotoar. Ada juga yang berpendapat bahwa keberadaan PKL di trotoar dapat disesuaikan tergantung kondisi trotoar.
Apabila trotoar itu lebar dan lalu lintas jalan sekitar tidak padat, misalnya, PKL diperbolehkan berjualan di sana. Namun, waktu dan jumlahnya harus dibatasi.
Sejumlah media pada Rabu (4/9/2019) ini memberitakan pernyataan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengungkapkan adanya sejumlah Peraturan Menteri (Permen) yang memperbolehkan PKL berjualan di trotoar. Salah satunya adalah Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Disebutkan dalam Pasal 13 Ayat 2 bahwa pemanfaatan prasarana jaringan pejalan kaki diperkenankan untuk pemanfaatan fungsi sosial dan ekologis, yang salah satunya berupa kegiatan usaha kecil formal. ”Kesimpulannya, PKL diperbolehkan berada di trotoar selama mengikuti pengaturan Permen PUPR,” kata Anies, seperti dikutip Kompas.com.
Undang-Undang melarang
Menanggapi hal tersebut, pengamat perkotaan Nirwono Joga mengatakan, larangan bagi para pedagang kaki lima berjualan di trotoar telah diatur dalam sejumlah undang-undang. Oleh karena itu, pemerintah daerah wajib mematuhi aturan tersebut dan melarang PKL berjualan di trotoar.
Ia berpendapat, seharusnya Permen tidak bertentangan dengan undang-undang yang masih berlaku. Menurut catatannya, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jelas melarang PKL berjualan di trotoar.
”Selama UU itu masih berlaku, Pemprov DKI wajib mematuhi aturan yang melarang PKL berjualan di trotoar. Permen PUPR, kan, lebih rendah kedudukannya dari UU. Jadi Permennya yang harus direvisi,” kata Nirwono, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.
Ia menyarankan agar PKL di Jakarta didata secara akurat, baik jumlah maupun jenis dagangannya. Pendataan itu dilaksanakan dan disepakati bersama Pemprov DKI atau Dinas Koperasi, UKM, serta Perdagangan DKI Jakarta, dan asosiasi PKL Jakarta.
Selama UU itu masih berlaku, Pemprov DKI wajib mematuhi aturan yang melarang PKL berjualan di trotoar. Permen PUPR, kan, lebih rendah kedudukannya dari UU.
PKL dapat didistribusikan ke pasar rakyat, pusat perbelanjaan, atau kantin gedung perkantoran terdekat. PKL juga dapat diikutsertakan dalam berbagai kegiatan festival kesenian.
”Prinsipnya, PKL tidak boleh berjualan di trotoar. Tetapi, pemda dapat mewadahi tempat berjualan seperti yang disebutkan di atas sehingga tidak ada yang dirugikan dan tidak melanggar aturan,” kata Nirwono.
Keberadaan PKL dapat disesuaikan
Di sisi lain, pengamat perkotaan Yayat Supriatna berpendapat, keberadaan PKL di trotoar diperbolehkan, tidak mengganggu aktivitas pengguna trotoar dan jalan. Untuk itu, jumlah PKL yang diperbolehkan berjualan di sana harus diatur.
”Mengacu pada model di Jalan Malioboro, Yogyakarta, PKL, kan, boleh berjualan di trotoar. Mereka bersinergi dengan pemilik toko, jumlah dan jam kerja mereka diatur. Di depan kantor pemerintah, ketika sudah malam dan sepi, misalnya, pedagang lesehan diperbolehkan berjualan,” tutur Yayat.
Kalau harus memilih, lebih baik PKL ditertibkan demi kepentingan Jakarta supaya lebih cantik dan tidak berantakan. Sebagai solusi, mungkin pengelola gedung bisa menyediakan sedikit tempat, di mana PKL diperbolehkan berdagang.
Ia mengusulkan agar pemerintah setempat menetapkan trotoar mana saja yang bisa menghadirkan PKL. Misalnya, trotoar zona merah melarang PKL karena kawasan itu merupakan kawasan protokol dengan tingkat kepentingan tinggi. Trotoar zona kuning memperbolehkan PKL berjualan, tetapi waktu jualan dan jumlah PKL-nya perlu diatur.
Sementara itu, trotoar zona hijau memperbolehkan PKL berdagang secara permanen. Di belakang Gedung BRI di Jalan Sudirman, misalnya, ada tempat khusus di sepanjang trotoar yang dialokasikan untuk menampung para PKL.
”Sebetulnya bisa saja PKL berjualan di trotoar, tetapi harus diatur. Harus melihat kondisi tempat, waktu, dan jenis dagangannya. Itu bagian dari pengembangan usaha masyarakat,” ucap Yayat.
Ketegasan pemerintah
Bagi sejumlah warga, keberadaan PKL di trotoar memang dianggap mengganggu kenyamanan. Meskipun barang yang disediakan PKL sering kali sesuai dengan kebutuhan warga, diharapkan pemerintah dapat bertindak secara tegas dalam mengatur aktivitas PKL.
Aisyah (26), karyawan swasta yang tinggal tidak jauh dari Stasiun Palmerah, misalnya, setuju trotoar seharusnya tidak dijadikan tempat berjualan para PKL. ”Di satu pihak, saya merasa kasihan. Tetapi, di pihak lain, saya merasa terganggu karena trotoarnya jadi sempit. Kadang, kita terpaksa jalan di jalan raya. Ketegasan pemerintah diperlukan untuk menertibkan mereka (PKL),” ucapnya.
Dito (34), pegawai swasta, menyampaikan, meskipun ia sering kali jajan dan senang dengan makanan dari PKL, penertiban PKL penting dilaksanakan demi kebersihan dan kepentingan pengguna jalan.
”Kalau harus memilih, lebih baik PKL ditertibkan demi kepentingan Jakarta supaya lebih cantik dan tidak berantakan. Sebagai solusi, mungkin pengelola gedung bisa menyediakan sedikit tempat di mana PKL diperbolehkan berdagang,” tuturnya.