Lima Tahun Hidup Bersembunyi di TKP Pembunuhan
Selama lima tahun, Saminah bersama tiga anaknya, Sania Roulita (37), Irfan Syahputra (32), dan Achmad Saputra (27), hidup misterius. Kegiatan sosial tidak pernah dihadiri. Tegur sapa juga dihindari.
Pintu dan jendela rumah Saminah (52) selalu tertutup rapat. Gorden di balik kaca hitam pun jarang disibak. Para penghuninya hidup menyendiri di tengah padatnya permukiman di Grumbul Karanggandul, Desa Pasinggangan, Banyumas, Jawa Tengah. Selama lima tahun, mereka menyembunyikan kejahatan di lokasi kejahatan.
Selama lima tahun, Saminah bersama tiga anaknya, Sania Roulita (37), Irfan Syahputra (32), dan Achmad Saputra (27), hidup misterius. Kegiatan sosial tidak pernah dihadiri. Tegur sapa juga dihindari. Mereka mengisolasi diri.
”Mereka tidak pernah ikut kegiatan sosial. Orangnya tertutup,” ujar Sihad (49), mantan Ketua RT 003 RW 007, Desa Pasinggangan, Banyumas, Rabu (28/8/2019).
Saminah bersama ketiga anaknya adalah tersangka kasus pembunuhan terhadap saudara-saudarinya. Korban pembunuhan itu adalah kakak Saminah, yaitu Supratno (51); adik Saminah, Sugiono (46) dan Heri (41); serta Vivin (22), anak Supratno. Motif pembunuhan keji pada 9 Oktober 2014 disebabkan percekcokan soal harta warisan dari Misem (76), ibunda mereka. Setelah dibunuh, jasad keempatnya dikubur di halaman belakang rumah mereka.
Selama itu pula mereka menutup rapat-rapat rumah, bersembunyi di tempat kejadian perkara.
Saminah mampu menutupi pembunuhan itu selama lima tahun. Selama itu pula mereka menutup rapat-rapat rumah, bersembunyi di tempat kejadian perkara.
Korban dan para pelaku sebenarnya tinggal di rumah yang persis bersebelahan. Saminah bersama ketiga anaknya tinggal di sebuah rumah yang bersebelahan dengan rumah Misem yang tinggal bersama Supratno, Sugiono, dan Heri.
Kedua rumah ini berdiri di atas tanah seluas 298 meter persegi yang diduga selalu menjadi sumber percekcokan. Hingga suatu ketika, tumbuh dendam dalam diri anak-anak Saminah sehingga mereka tega membunuh paman, pakde, dan sepupunya.
Baca juga: Warisan Jadi Alasan Pembunuhan dalam Satu Keluarga di Banyumas
Tertutup
Septiadi (25), salah satu tetangga mereka, berkisah, keluarga korban dan pelaku sebenarnya sama-sama jarang bergaul bersama tetangga sekitarnya. Di antara mereka hanya Heri yang lebih terbuka dan mau bersosialisasi. Septiadi terakhir kali berjumpa dengan Heri saat bergotong royong bersama membuat tenda bagi pernikahan tetangga di belakang rumah Misem.
Namun, beberapa saat setelahnya, Heri bersama ketiga saudara lainnya menghilang begitu saja dan tingkah laku Saminah kian tertutup. ”Kalau ambil air di sumur tidak pernah berbicara dan selalu terburu-buru. Mereka menjemur pakaian juga di dalam rumah,” kata Septiadi.
Teguh Basuki (42), rekan kerja Supratno di SMP Negeri 4 Banyumas, juga menyampaikan hal sama. Pada akhir 2014, sejak Supratno menghilang dan tidak masuk bekerja, pihak sekolah berulang kali mengirimkan utusan untuk datang ke rumah dan mencari Supratno.
Kalau ambil air di sumur tidak pernah berbicara dan selalu terburu-buru. Mereka menjemur pakaian juga di dalam rumah.
”Saat saya datang mencari Pak Ratno (panggilan Supratno) di rumah bersama teman guru, kami tidak boleh masuk ke rumah oleh Bu Saminah. Alasannya tidak ada kursi. Dia juga hanya berbicara dari balik pintu yang dibuka sedikit,” kata Teguh yang mengatakan, sejak Supratno hilang tanpa kabar, dirinya sudah empat kali mencoba berkunjung dan mencari Supratno.
Teguh menyatakan sebenarnya sudah mendapati hal-hal yang janggal saat berusaha mencari Supratno di rumahnya. Saat Saminah ditanya tentang keberadaan Supratno, dia hanya mengatakan Supratno pergi tanpa pamit. ”Supratno pergi jam empat pagi bersama anaknya. Membawa koper dan tas-tas. Tidak tahu ke mana,” ucap Teguh menirukan kata-kata Saminah.
Pada salah satu adegan rekonstruksi pembunuhan, salah satu saksi mata, yaitu Sutiyem, tetangga Saminah, sempat mendengar suara teriakan dari dalam rumah Misem. Sutiyem pun bergegas masuk ke halaman depan rumah Saminah dan hendak naik ke teras rumah Saminah, tetapi buru-buru dicegah.
”Sudah, tidak apa-apa, hanya bercanda,” kata Saminah sambil menghalau Sutiyem untuk meninggalkan halamannya.
Baca juga: Keluarga Berharap Para Tersangka Dihukum Seberat-beratnya
Lenyapnya empat orang tanpa kabar dan jejak bukannya tak membuat para tetangga membaca ada kejanggalan di rumah Misem. Mereka kerap menanyakan keberadaan keempat saudara Saminah. Namun, Saminah selalu menjawab, saudara-saudaranya pergi merantau.
Kejanggalan yang tak berujung menjadi kecurigaan. Sebab, kebetulan pada rentang waktu tersebut, sekitar 2014 hingga 2015, di wilayah pinggiran Banyumas dan Purbalingga marak peristiwa hilangnya orang atau pergi dari rumah untuk mengikuti kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dan organisasi gerakan radikal.
Upaya pencarian korban juga sudah dilakukan kerabat korban. Edi Pranoto (48), anak keempat Misem, yang sehari-hari tinggal di Kaliori, Banyumas, sudah berusaha mencari ke sejumlah tempat di Banyumas dan Purwokerto, tetapi tak membuahkan hasil.
”Saya tanya ke tempat kerja Mas Ratno di SMP, tetapi tidak ada. Vivin yang kuliah di Purwokerto juga saya cari ke kos dan teman-temannya, tetapi tidak ada. Saya juga pernah melaporkan ke polsek,” kata Edi. Namun, tidak ada respons dan pengusutan mendalam dari pihak kepolisian setempat.
Baca juga: Sepuluh Saksi Diperiksa Terkait Penemuan Kerangka Manusia
Bersihkan pekarangan
Setelah lima tahun berlalu, kebenaran pun baru terkuak. Awal terungkapnya kasus saat Rasman (63), salah seorang tetangga, pada pertengahan Agustus 2019 dimintai tolong Misem membersihkan pekarangan belakang rumah. Saat meratakan gundukan tanah yang tertutup batuan, cangkul Rasman tersangkut kain kaus. Ketika digali, justru ditemukan empat tengkorak bersama kerangkanya. Keempat tengkorak dan kerangka itu hanya dipendam di kedalaman 40 sentimeter dengan ukuran lubang 1,5 meter x 1,2 meter.
Selama ini warga tidak curiga pada bau busuk yang menyengat dari belakang rumah Misem karena dulu terdapat kolam lele dan sering dijadikan tempat pembuangan bangkai ayam dan bebek. Apalagi dulunya pekarangan ini dilingkupi pagar bambu rapat sehingga sulit diakses dari luar.
Berkaca dari kasus yang menggegerkan ini, Kepala Kepolisian Resor Banyumas Ajun Komisaris Besar Bambang Yudhantara Salamun mengimbau warga segera melapor kepada pihak berwajib jika menemukan ada orang yang tertutup dan tidak bergaul di masyarakat.
”Kita ini manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial, pasti butuh orang, butuh berkomunikasi dengan orang. Kalau menutup diri, pasti ada sebabnya. Saya mengimbau masyarakat Banyumas jangan pernah ragu melaporkan hal-hal tersebut,” kata Bambang.
Baca juga: Empat Kerangka Manusia Ditemukan Dipendam di Belakang Rumah
Dari penyelidikan dan olah TKP, Bambang mengatakan, tersangka Irfan dan Achmad Saputra menjadi eksekutor pembunuhan lantaran sejak kecil sudah melihat ibunya selalu cek-cok terkait harta warisan dan dikeroyok oleh ketiga paman dan pakdenya. Pembunuhan itu dilakukan dengan cara memukul kepala korban dengan besi dan tabung gas ukuran 3 kilogram.
Adapun Sania bertugas menjual barang-barang milik korban, mulai dari sepeda motor hingga laptop. Saat pembunuhan terjadi, Saminah bertugas mengajak Misem pindah ke rumahnya supaya kedua anaknya bisa menghabisi nyawa keempat saudaranya tersebut.
Rasa kebencian dan pembunuhan itu merupakan akumulasi dari dendam sejak kecil yang dipupuk.
Motif ekonomi
Pengajar sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Tri Wuryaningsih, menyampaikan, dalam kasus pembunuhan ini, ada indikasi ikatan keluarga mulai terlepas atau dikalahkan motif ekonomi yang lebih kuat. ”Ini ironi karena motif ekonomi lebih kuat sampai menggerus rasa ikatan solidaritas, ikatan persaudaraan dalam keluarga,” katanya.
Menurut Tri, orangtua gagal mengelola sebuah keluarga karena seharusnya dibangun atas ikatan kasih sayang dan disatukan dalam ikatan darah. Rasa kebencian dan pembunuhan itu merupakan akumulasi dari dendam sejak kecil yang dipupuk.
”Saat kecil pelaku tidak bisa melakukan apa-apa, lalu saat dewasa dia bisa melakukan perlawanan. Itu berarti ada kegagalan keluarga me-manage persoalan,” ucap Tri.
Dia juga menilai, perceraian Saminah dengan suami membuat ketiga anaknya kehilangan figur ayah. Mereka kehilangan figur yang seharunya menjadi pemimpin di keluarga itu. Apalagi, saudara-saudaranya dianggap tidak bisa melindungi. Anak juga melihat ibunya tidak terlindungi.
Tri juga menyoroti kondisi satu rumah yang dihuni sejumlah orang dewasa dan keluarga juga tidak sehat. Sebab, konflik-konflik akan cenderung menumpuk dan tidak terkelola.
Belajar dari kasus ini, Tri berharap nilai-nilai kasih sayang dan saling memiliki dalam keluarga kembali diperkuat. Dalam keluarga harus belajar menyelesaikan konflik-konflik kecil dan mencegah terpupuknya bibit konflik menjadi lebih besar.
Pesan Tri itu bisa saja dimaknai seperti salah satu penggalan lirik lagu ”Harta Berharga” karya Harry Tjahjono dan Arswendo Atmowiloto yang menjadi musik tema sinetron lawas Keluarga Cemara. ”Harta yang paling berharga adalah keluarga....”