Menatap Orientasi Desa
Masyarakat desa punya modal sosial kuat persatuan warga dan semangat gotong royong. Kekuatan lain, sosok panutan dan partisipasi masyarakat yang biasanya berperan dalam berbagai program pengembangan ekonomi desa.
Berbagai program dan bantuan untuk desa sejauh ini telah membawa kemajuan bagi masyarakat. Publikasi Badan Pusat Statistik tentang Potensi Desa 2018 mencatat berbagai capaian pembangunan desa. Di bidang pendidikan, misalnya, 72.237 desa/kelurahan telah memiliki sekolah dasar, SMP/MTs terdapat di 37.307 desa/kelurahan, dan SMA/MA ada di 16.696 desa/kelurahan.
Untuk infrastruktur kesehatan, hasil Potensi Desa 2018 menunjukkan 10.820 desa/kelurahan telah memiliki puskesmas, baik puskesmas dengan rawat inap maupun tanpa rawat inap. Di sektor ekonomi, 16.738 desa/kelurahan sudah memiliki pasar dengan bangunan dan di 76.085 desa/kelurahan terdapat toko/warung kelontong.
Indeks Pembangunan Desa 2018 juga memperlihatkan kemajuan desa dari sisi peningkatan kategorisasi kualitas desa. Makin banyak desa berubah status menjadi ”Desa Mandiri”, dari 2.894 desa menjadi 5.559 desa pada 2018.
Namun, di balik itu, problem-problem mendasar sebetulnya masih bermunculan. Misalnya, angka statistik jumlah SD di desa/kelurahan meningkat pesat, tetapi ternyata masih ada 13 persen desa belum memiliki sarana pendidikan dasar itu. Demikian pula puskesmas, di balik peningkatan sarana, ternyata masih 80 persen desa/kelurahan belum memilikinya.
Aspek kesejahteraan penduduk perdesaan juga masih rendah dan tertinggal dibandingkan dengan perkotaan, tecermin dari tingginya angka kemiskinan perdesaan. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan mencapai 15,15 juta orang pada Maret 2019, hampir dua kali lipat penduduk miskin kota.
Kondisi pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan adalah tantangan riil yang menjadi kondisi umum di banyak kawasan perdesaan. Pemerintah memiliki berbagai program pembangunan, meliputi Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan berbagai pembangunan sarana kesehatan daerah.
Meski demikian, persoalan di desa tidak semata fisik, tetapi juga soal nonfisik, dalam hal ini modal sosial. Pembangunan desa dengan memberdayakan modal sosial, di antaranya kearifan lokal, akan mempercepat kemajuan desa. Ambil contoh modal sosial gotong royong, modal sosial kearifan lokal melalui berbagai macam aturan adat/tradisi, dan modal sosial kekerabatan.
Namun, faktanya, modal sosial di masyarakat sekarang cenderung menurun. Setidaknya jika dilihat dari catatan statistik kegiatan gotong royong. Pada 2003, desa yang rutin bergotong royong sebesar 94 persen. Angka ini turun menjadi 89 persen pada 2011 dan kembali menurun menjadi 88 persen pada 2018.
Perlu perhatian
Di satu sisi, modal sosial ini pelengkap modal fisik yang sangat diperlukan untuk pembangunan desa. Belakangan disadari, modal sosial itu tak hanya pelengkap, tetapi bisa menjadi penentu keberhasilan pembangunan fisik dan ekonomi desa. Betapa tidak, aspek partisipasi masyarakat merupakan salah satu aspek penting penyaluran dana desa.
Sifat penyaluran dana desa yang merupakan insentif memerlukan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat desa. Tanpa itu, dana itu akan terbuang percuma. Masyarakat desa harus terlibat aktif menyusun perencanaan pembangunan di desanya, kemudian bersama-sama melaksanakan hasil perencanaan tersebut.
Dalam rangka menggunakan secara efektif dan efisien dana desa, nilai-nilai modal sosial masyarakat desa berperan penting. Gotong royong, ikatan antarwarga, budaya kekerabatan, dan lain-lain ternyata mengoptimalkan penggunaan dana desa dan pembangunan ekonomi.
Itu tersirat dalam temuan penelitian hasil kerja sama Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Litbang Kompas yang dilaksanakan di 159 desa di seluruh wilayah Indonesia.
Survei dengan ”menumpang” program kuliah kerja nyata UGM periode Juli-Agustus 2019 itu menemukan bahwa untuk menyejahterakan dan memakmurkan desa diperlukan karakter pemersatu/gotong royong. Desa yang memiliki tokoh penggerak akan lebih berpotensi melakukan kreasi dan peningkatan perekonomian.
Era dulu
Desa memiliki posisi strategis dalam lanskap wilayah Indonesia. Sistem pemerintahan desa merupakan bagian dari Sistem Pemerintahan Negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dari 83.931 wilayah administrasi pemerintahan terkecil setingkat desa/kelurahan, sebanyak 75.436 adalah desa. Ini berarti sebagian besar (89 persen) wilayah Nusantara identik dengan desa. Melihat dominannya keberadaan desa, pembangunan berbasis desa layak jadi orientasi pemerintah.
Merunut ke belakang, kebijakan bantuan pembangunan desa dimulai sejak tahun 1977. Model bantuannya mirip dana desa saat ini. Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1977 yang memberi bantuan langsung ke desa-desa menggunakan dana APBN. Tujuannya, mendorong dan menggerakkan usaha-usaha swadaya gotong royong masyarakat dalam membangun desa. Besaran bantuan yang dikucurkan saat itu Rp 350.000 per desa.
Saat itu terdapat beberapa program untuk desa, seperti Bantuan Pembangunan Desa, Program Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil, Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam, serta Inpres Desa Tertinggal. Program Inpres Desa Tertinggal dimulai 1993 dengan alokasi dana Rp 20 juta per desa. Pada 1995, jumlah desa yang mendapat dana 22.094 desa.
Program bantuan itu terbukti efektif, meningkatkan indikator kemakmuran desa, yaitu menurunkan angka kemiskinan. Jika tahun 1976 masih terdapat 40 persen penduduk miskin di desa, jumlahnya menurun hampir separuh, menjadi 21 persen pada 1984 dan 12 persen pada 1996.
Reformasi
Gejolak politik reformasi turut mengubah orientasi terhadap keberadaan desa. Berubahnya orientasi memandang desa terlihat dari substansi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Semangat yang muncul dari aturan baru tentang desa adalah muncul pengakuan terhadap keanekaragaman, otonomi, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat desa. Aturan itu diperbarui dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Situasi pemulihan krisis ekonomi memengaruhi program dan kebijakan negara tentang desa. Dalam kondisi itu, kebijakan terkait dampak krisis, pengangguran, dan penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas Presiden BJ Habibie melalui Program Jaring Pengaman Sosial. Ada pula pemberian beras subsidi untuk masyarakat miskin, program dana pendidikan keluarga prasejahtera, dan program padat karya di perdesaan untuk mengurangi pengangguran.
Selanjutnya, Presiden Abdurrahman Wahid melanjutkan program penyediaan kebutuhan pokok bagi keluarga miskin, seperti beras murah, perbaikan lingkungan rumah tinggal, dan pemberian kompensasi transportasi kenaikan harga bahan bakar minyak. Pembangunan desa di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dilakukan dengan pemberian subsidi pupuk, bantuan bunga murah untuk usaha mikro, dan pelayanan gizi bagi keluarga miskin.
Program pemberdayaan masyarakat desa yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibagi dalam empat basis, yaitu berbasis bantuan, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan UMKM, dan rumah murah. Beberapa program di antaranya adalah Bantuan Langsung Tunai dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pada tahun akhir kepemimpinan Yudhoyono, terbit UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dana desa
Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga memiliki komitmen membangun Indonesia dari desa, sebagaimana tercantum dalam Nawacita. Program yang sudah berjalan antara lain Produk Unggulan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Embung Desa, Sarana Olahraga Desa, dan Program Padat Karya Tunai.
Ada pula program Dana Desa yang dikucurkan pemerintah sejak 2015. Alokasi dana ini terus meningkat dari Rp 20,8 triliun pada 2015 hingga Rp 69,8 triliun pada 2019. Orientasi pemerintahan Joko Widodo memajukan perdesaan juga terlihat dalam pembentukan kementerian yang khusus menangani perdesaan, yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Pemerintah memastikan alokasi anggaran dalam jumlah besar untuk pemberdayaan desa-desa di Indonesia. Pada 2015, untuk sekitar 73.000 desa di seluruh Indonesia dikucurkan dana Rp 9,01 triliun dengan perhitungan setiap desa memperoleh Rp 750 juta.
Dana itu ditujukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang melingkupi wilayah setiap desa. Desa-desa pun terus beradaptasi dengan program-program baru yang tak hanya berorientasi pada infrastruktur fisik. (LITBANG KOMPAS)