Kebebasan Aturan Buku Pelajaran Patut Dipertimbangkan
Membebaskan penerbitan buku teks pelajaran tanpa campur tangan langsung pemerintah pusat dinilai bisa membentuk iklim industri perbukuan untuk pendidikan lebih kompetitif.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Sistem penerbitan buku pelajaran diatur pemerintah. Ada usulan supaya penerbitan buku pelajaran ini dibebaskan agar kompetitif.
JAKARTA, KOMPAS — Membebaskan penerbitan buku teks pelajaran tanpa campur tangan langsung pemerintah pusat dinilai bisa membentuk iklim industri perbukuan untuk pendidikan lebih kompetitif dalam artian aspek pedagogik dan keilmuan yang terkandung di dalamnya. Sekolah juga memiliki kebebasan memilih buku pelajaran sesuai dengan kebutuhan ataupun nilai budaya yang dianut oleh suatu wilayah.
Ada tiga jenis sistem penerbitan buku pelajaran. Pertama, tanpa diatur oleh pemerintah seperti yang dilakukan di Belanda, Belgia, dan Skandinavia. Kedua, materinya memiliki standar nasional dan penerbit tinggal menerjemahkannya seperti di Jerman, Perancis, dan Austria. Ketiga, diatur pemerintah untuk semua kontennya, seperti di Indonesia, Turki, dan Polandia.
Hal tersebut menjadi topik pembahasan Simposium Internasional Pendidikan di Jakarta, Selasa (3/9/2019), yang merupakan bagian dari Indonesia International Book Fair 2019.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penerbit Internasional Jose Borghino menjelaskan hasil analisis forum pendidikan organisasi tersebut, tiga inti hasil pemelajaran yang baik adalah konten berkonteks lokal, kebebasan menentukan pilihan materi, dan kolaborasi semua pihak perbukuan yang harmonis.
Tiga inti hasil pemelajaran yang baik adalah konten berkonteks lokal, kebebasan menentukan pilihan materi, dan kolaborasi semua pihak perbukuan yang harmonis.
Borghino mengatakan, negara-negara yang penerbitan bukunya tidak diatur pemerintah justru memiliki kinerja baik dalam tes PISA (Program Asesmen Siswa Internasional). Alasannya karena penerbit erat bekerja sama dengan pemerintah dan asosiasi guru sehingga mereka bersaing mencetak buku-buku bermutu. Sekolah tentunya hanya mau memakai buku yang jelas berlandaskan kaidah ilmiah dan pendidikan karakter.
Dia mencontohkan Jerman yang memiliki kurikulum nasional. Akan tetapi, di setiap provinsi terdapat badan kurikulum masing-masing yang menerjemahkan kurikulum nasional sesuai dengan kondisi budaya dan alam provinsi tersebut. Penerbit buku di setiap provinsi kemudian bersaing membuat buku yang baik dan sarat dengan ilmu pengetahuan yang dibumikan lewat konteks lokal.
”Ada 40.000 kurikulum aktif di Jerman. Pemerintah pusat hanya memastikan semua sesuai standar nasional. Perumusan pengemasan kurikulum berlandaskan muatan lokal dilakukan oleh pemerintah daerah, ikatan guru, dan penerbit,” kata Borghino.
Tidak melenceng
Di Indonesia, penerbitan buku pelajaran diatur oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2016 tentang Buku yang Digunakan oleh Satuan Pendidikan. Aturan ini menegaskan bahwa buku yang digunakan di sekolah, madrasah, ataupun lembaga pendidikan kesetaraan wajib menganut norma positif tanpa unsur seks, rasialisme, agama, ekstremisme, radikalisme, dan bias jender.
Buku yang digunakan di sekolah, madrasah, ataupun lembaga pendidikan kesetaraan wajib menganut norma positif tanpa unsur seks, rasialisme, agama, ekstremisme, radikalisme, dan bias jender.
Para penerbit yang bermaksud mengeluarkan buku pelajaran wajib mengirim naskahnya ke kementerian yang bersangkutan atau Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Apabila dinyatakan lulus evaluasi, mereka baru boleh memasarkan buku ke publik dengan harga yang terjangkau. Adapun sekolah hanya boleh memilih dari daftar buku layak yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar mengatakan, baik buku pelajaran maupun teks non-pelajaran hanya bisa dipilih dari daftar tersebut. Alasannya agar konten dijamin tidak melenceng dari nilai nasionalisme dan pluralisme (Kompas, 26 Juli 2019).
Demokrasi pendidikan
Pakar pendidikan kritis dari Universitas Negeri Yogyakarta, Sugeng Bayu Wahyono, menyatakan, justru dengan adanya demokrasi pendidikan dan otonomi daerah, pemerintah pusat harus menghilangkan prasangka segala sesuatu yang tidak dari Jakarta akan melenceng dari standar.
”Selama aturan dan praktik pembuatan buku pelajaran tertib kaidah ilmiah, tidak akan ada buku yang mengandung nilai anti-Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” ucapnya.
Ia mengkritisi buku-buku pelajaran dipaksa berkonteks nasional yang mengakibatkan pembahasan materi terlalu umum sehingga tidak mendalam. Siswa sebagai subyek pendidikan tidak memperoleh nilai tambah dari buku teks. Akan lebih baik jika buku teks dibuat berdasarkan kurikulum nasional yang disesuaikan konteks lokal oleh pakar-pakar pendidikan, seperti guru, dosen, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah.
Buku-buku pelajaran dipaksa berkonteks nasional yang mengakibatkan pembahasan materi terlalu umum sehingga tidak mendalam.
”Bisa dibentuk konsorsium pakar per bidang ilmu yang memperkuat BSNP. Cara kerjanya adalah penerbit mengajukan materi pelajaran berbungkus konteks daerah masing-masing, nanti BSNP tinggal memastikan aspek pedagogis, ilmiah, dan karakternya sesuai standar. Setiap provinsi akan memiliki kanon buku sendiri-sendiri yang memperkaya nuansa dunia pendidikan nasional,” ujar Bayu.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum II Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Kartini Nurdin menuturkan, Ikapi selalu berkolaborasi dengan pemerintah dalam menyusun buku pelajaran yang baik. Apabila ada penerbit anggota Ikapi yang mengeluarkan buku pelajaran tidak sesuai dengan standar dan norma nasional juga akan diberi teguran serta dipanggil oleh Ikapi.