Guna mengatasi polusi udara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membelikan stasiun pemantau kualitas udara untuk daerah-daerah di sekitar Jakarta, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guna mengatasi polusi udara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membelikan stasiun pemantau kualitas udara untuk daerah-daerah di sekitar Jakarta, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Langkah ini ditempuh karena daerah-daerah itu jugamempunyai polusi udara tinggi yang berpotensi memperparah polusi udara Jakarta.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, pihaknya sudah membahas rencana itu bersama pemerintah daerah di kawasan sekitar melalui forum Badan Kerjasama Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (BKSP Jabodetabekjur).
”Pemerintah daerah yang sudah kami ajak membicarakan ada dua provinsi, yaitu Jawa Barat dan Banten. Untuk kota dan kabupaten, ada Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang Selatan,” katanya setelah menjadi pembicara di acara Clearing The Skies, Fighting Climate Crisis yang diselenggarakan Kelompok Kepala Daerah C40 (C40 Mayor Summit) di Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Acara ini juga dihadiri, di antaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kedutaan Besar Denmark untuk RI, dan PT Transportasi Jakarta untuk saling berbagi upaya mengatasi polusi udara dan perubahan iklim.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, perbaikan kualitas udara tak bisa dibatasi dengan wilayah administrasi pemerintahan karena udara tak berhenti di batas kota. Oleh karena itu, pembahasan harus juga memperhitungkan semua aktivitas ekonomi skala regional.
”Regional di Jakarta artinya ada sembilan kabupaten dan kota yang ada di sekitar kita itu sebagai sebuah wilayah. Apalagi kalau kita lihat data, maka penting untuk melihat kota-kota besar yang ada di Jawa karena tantangannya kira-kira sama,” katanya.
Menurut Andono, DKI Jakarta berencana membantu setiap kota dan kabupaten dengan stasiun pemantau kualitas udara (SPKU). Harga satu SPKU yang lengkap parameternya sekitar Rp 5 miliar. Rencana tersebut akan dianggarkan di APBD DKI Jakarta 2020.
Pengadaan bantuan akan dilakukan bertahap. Tahun depan, rencananya akan dianggarkan untuk dua kota dan kabupaten terlebih dahulu. Kota dan kabupaten yang akan memperoleh bantuan SPKU akan ditentukan setelah dilakukan survei kesiapan pemerintah daerah setempat untuk mengelola SPKU tersebut.
Langkah ini ditempuh karena polusi udara bersifat lintas batas. Sementara menurut pantauan situs Airvisual.com, sejumlah daerah di sekitar Jakarta juga mempunyai tingkat polusi udara yang tinggi. Bahkan, dalam 24 jam sehari, kualitas udara Jakarta sebenarnya masih lebih baik dibandingkan daerah-daerah sekitar tersebut. ”Indikasinya polusi udara ini berhubungan, jadi kita juga perlu memberi perhatian pada daerah sekitar,” katanya.
Menurut Andono, langkah itu merupakan awal untuk kerja sama mengatasi polusi udara. Dengan adanya alat pengukur yang valid, hasilnya bisa digunakan untuk menentukan arah kebijakan bersama guna menekan polusi udara.
Untuk Jakarta, kata Andono, tahun ini akan dipasang dua alat pengukur polutan debu halus berukuran 2,5 mikron (PM 2,5) di SPKU di Jakarta Barat dan Jakarta Timur. Saat ini DKI Jakarta baru mempunyai tiga alat pengukur PM 2,5. Tahun depan, DKI Jakarta berencana menambah delapan alat ukur.
Dalam pantauan situs Airvisual.com, kualitas udara DKI Jakarta sering kali berstatus tidak sehat untuk kelompok rentan karena tingginya polusi udara debu halus berukuran 2,5 mikron (PM 2,5).
Target jangka panjang
Sejauh ini dengan tujuh langkah inisiatif yang sudah ditetapkan melalui Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mempunyai target jangka pendek penurunan polusi udara.
Target yang ditetapkan merupakan target jangka panjang, yaitu memenuhi target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2030. Sesuai standar WHO, kualitas udara sehat PM 2,5 di bawah 25. Sementara rata-rata tahunan PM 2,5 Jakarta masih di sekitar 40.
Menurut Andono, target jangka pendek untuk penurunan polusi udara tak memungkinkan karena banyaknya faktor yang menyumbang. ”Target untuk polusi udara tak bisa jangka pendek, karena berbagai sisi diperlukan,” katanya.
Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin mengatakan, saat ini Airvisual.com kurang dipercaya oleh pemerintah daerah karena situs ini dijalankan oleh perusahaan dan tidak ada upaya dari Airvisual.com untuk melakukan uji publik terlebih dulu.
Namun, dalam konteks sekarang ini, sebenarnya banyaknya SPKU sudah tak lagi relevan. Pada 2006, DKI disebutkan membutuhkan 26 SPKU yang harganya Rp 5 miliar-Rp 7 miliar per alat. Sementara kemampuan alat itu hanya mampu memantau di titik di mana alat ditempatkan.
Namun, pemantauan udara ini masih sangat penting dengan metode yang jauh lebih murah dan efektif. Sekarang ini DKI baru mempunyai lima SPKU. Cara yang lebih murah dan efektif adalah menggunakan metode proyeksi satelit yang kemudian bisa divalidasi dengan SPKU yang sudah ada saja.
Safrudin juga menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya mempunyai target jangka pendek yang jelas dengan langkah yang konkret. Padahal, langkah-langkah konkret tersebut sudah terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Langkah konkret yang justru tak ditempuh itu, di antaranya konversi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bahan bakar gas (BBG) untuk seluruh kendaraan pemerintah dan kendaraan umum.
Selain itu, penegakan hukum bagi kendaraan yang emisi kendaraannya melebihi baku mutu. Seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa menggandeng kepolisian untuk penegakan hukum. Padahal, dengan langkah-langkah konkret ini akan lebih mudah mencapai target penurunan polusi udara dalam jangka pendek.