JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan volume subsidi elpiji 3 kilogram berbanding terbalik dengan penurunan jumlah penduduk miskin. Hal itu menyiratkan, persoalan subsidi tidak tepat sasaran masih belum teratasi sehingga terus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah dan Badan Anggaran DPR, Selasa (3/9/2019), telah menyepakati peningkatakan volume subsidi elpiji 3 kilogram (kg) dari 6,98 juta metrik ton dalam proyeksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 menjadi 7 juta metrik ton pada Rancangan APBN 2020.
Di sisi lain, jumlah penduduk miskin yang menjadi target penyaluran subsidi elpiji 3 kg justru diprediksikan terus menurun. Jika pada Maret 2019 ada 25,14 juta orang, jumlah itu diperkirakan akan menurun menjadi 24,07 juta orang pada Maret 2020. Tingkat kemiskinan pada Maret 2020 ditargetkan 9 persen.
Pembahasan subsidi elipiji 3 kg untuk Rancangan APBN 2020 berlangsung alot karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak bisa menyajikan data jumlah penduduk miskin penerima subsidi. Hal itu karena penyaluran subsidi elpiji 3 kg bersifat terbuka sehingga sulit diawasi.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto mengatakan, penduduk miskin mengkonsumsi rata-rata 2-3 tabung elpiji 3 kg per bulan. Selain penduduk miskin, elpiji 3 kg dikonsumsi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), petani, dan nelayan kecil.
“Kendati target penerima subsidi elpiji 3 kg sudah diatur, tetapi fakta di lapangan bisa dibeli siapa saja. Kami berupaya untuk mengatasi itu dengan uji coba sistem penyaluran tertutup di 7 kota/kabupaten,” kata Djoko.
Peningkatan volume mengakibatkan alokasi anggaran subsidi elpiji 3 kg dalam RAPBN 2020 meningkat menjadi Rp 49,38 triliun. Adapun subsidi elpiji 3 kg dalam proyeksi APBN 2019 sebesar Rp 48,59 triliun. Alokasi subsidi dalam RAPBN 2020 itu didasarkan asumsi nilai tukar rupiah Rp 14.400 per dollar AS.
Sebelumnya, Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR mengusulkan peningkatan volume elpiji 3 kg tahun 2020 menjadi 7,5 metrik ton. Namun, usulan itu ditolak Banggar DPR karena pemerintah belum memperbaiki sistem penyaluran subsidi elpiji 3 kg. Penyaluran subsidi elpiji 3 kg didorong bersifat tertutup agar target penerima tepat sasaran.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, idealnya terjadi efisiensi volume subsidi elpiji 3 kg seiring tingkat kemiskinan yang terus turun. Namun, hal itu belum terjadi karena elpiji 3 kg masih diperjualbelikan secara bebas dan tidak ada basis data penerima subsidi.
“Selain penyaluran tertutup, harus ditentukan seberapa jauh penduduk di atas garis kemiskinan yang berhak mendapat subsidi,” kata Suahasil.
Subsidi elpiji 3 kg satu-satunya program subsidi pemerintah yang belum memiliki basis data yang jelas. Sebagai perbandingan, pada tahun 2019, target penerima program keluarga harapan 10 juta kepala keluarga, subsidi listrik 61,32 juta pelanggan, penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan 96,8 juta orang.
Masalah menahun
Wakil Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, penyaluran subsidi elpiji 3 kg jadi masalah menahun yang tak kunjung diselesaikan pemerintah. Sejauh ini belum ada kebijakan konkret untuk memperbaiki sistem penyaluran dan data penerima subsidi elpiji 3 kg. Padahal, subsidi yang tepat sasaran akan mengurangi beban APBN.
“Volume subsidi elpiji naik, sementara kemiskinan turun. Ini tidak sinkron. Pemberian subsidi jangan hanya sekadar bakar-bakar uang,” kata Said.
Target penerima subsidi harus direncanakan secara matang, bukan sekadar alokasi anggarannya saja. Pemerintah berkomitmen memperbaiki sistem penyaluran dan data penerima subsidi elpiji sejak lima tahun lalu, tetapi belum teratasi. Persoalan penyaluran subsidi ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam rapat kerja DPR.
Secara terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, peningkatan alokasi subsidi mesti dibarengi tata kelola dan penyaluran yang lebih efektif agar utang subsidi tidak semakin membengkak. Salah satu yang mesti diperbaiki pemerintah adalah penyaluran elpiji 3 kilogram dari skema terbuka menjadi tertutup.
Untuk mencapai tata kelola yang efektif, pemerintah mesti memiliki basis data yang kuat. Kemajuan teknologi informasi bisa membantu penyaluran subsidi lebih efektif karena transaksi bisa dilakukan secara elektronik. Alur penyaluran dan penerima subsidi akan terpetakan hingga daerah terpencil.
”Subsidi bengkak berarti penerima subsidi besar, tetapi jumlah penerima sulit dikurangi. Untuk itu, basis data penyaluran penting untuk memastikan tidak dimanfaatkan oleh segelintir orang,” kata Rusli.