RKUHP Ancam Kebebasan
Pengaturan mengenai ”contempt of court” di RKUHP oleh sebagian kalangan dinilai berpotensi mengurangi kebebasan masyarakat sipil.
JAKARTA, KOMPAS - Pasal tentang tindak pidana peradilan (contempt of court) di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana diharapkan bisa diperjelas indikatornya untuk menghilangkan potensi pemaknaan yang rancu. Pasal itu merupakan salah satu pasal di dalam RKUHP yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan berpendapat bilamana tetap dibiarkan sesuai dengan rumusan yang ada saat ini.
Di dalam draf RKUHP terbaru, 28 Agustus 2019, khususnya pada Pasal 281, tindak pidana terhadap proses peradilan diancam dengan pidana maksimal 1 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 10 juta.
Tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik contempt of court itu antara lain ditujukan bagi setiap orang yang tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau secara melawan hukum merekam, memublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah mengatakan, belum ada indikator yang jelas jika melihat tiga sasaran yang diatur di draf Pasal 281. ”Apa indikatornya bersikap tidak hormat atau menyerang integritas hakim yang berdampak pada imparsialitas hakim. Selain itu, ada pula rumusan yang tidak membolehkan publikasi yang memengaruhi imparsialitas hakim. Bagaimana merumuskan itu supaya juga tidak mengurangi kebebasan pers,” katanya, Senin (2/9/2019) di Jakarta.
Bungkam kritik
Liza mengatakan, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang terdiri atas sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal ini akan membungkam kritik kepada proses peradilan. Alasannya, ukuran bersikap hormat terhadap peradilan dan bagaimana pengaruhnya terhadap imparsialitas hakim itu tidak dijelaskan di dalam rumusan pasal.
”Saat ini banyak organisasi masyarakat sipil yang membuat eksaminasi putusan. Jangan sampai kemudian upaya ini juga dimasukkan sebagai sikap tidak hormat pada putusan hakim dan mengancam imparsialitas hakim. Jika ini yang terjadi, rumusan pasal itu sebaiknya diperjelas sehingga indikatornya lebih terang,” katanya.
Secara terpisah, panitia kerja RKUHP siap merumuskan ulang substansi contempt of court sesuai masukan dari elemen masyarakat sipil. Pasal tersebut sampai saat ini masih menjadi salah satu substansi RKUHP yang belum sempat dibahas secara mendalam antara panja DPR dan pemerintah.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, pasal tersebut sampai saat ini belum dibahas oleh panja DPR dan pemerintah. Menurut rencana, pasal itu akan dibahas dalam rapat Panja RKUHP berikutnya.
Pasal 281 tersebut masih bisa dihaluskan dan dirumuskan ulang dengan batasan yang jelas terkait tindakan yang dimaksud menghina proses peradilan. Hal itu diperlukan agar pasal tersebut tidak mengancam demokrasi dan kebebasan berekspresi, seperti kebebasan pers saat meliput putusan peradilan, serta mengancam reformasi peradilan.
”Kami harus berkonsultasi dengan ahli pidana untuk merumuskan redaksi yang tepat. Tetapi, prinsipnya, secara politik hukum, kami juga merasa harus diperjelas, apa yang dimaksud dengan tindakan yang tidak hormat atau menyerang integritas hakim itu,” kata Arsul.
Sisir ulang
Adapun 4 September 2019 ini, Panja RKUHP dari DPR dan pemerintah akan kembali membahas sejumlah pasal-pasal RKUHP secara terbuka. Sebelumnya, akhir-akhir ini, pembahasan dilakukan tertutup melalui rapat konsinyering di luar Gedung MPR/DPR.
Rapat konsinyering itu lebih banyak fokus pada tujuh isu krusial, yaitu pasal-pasal tindak pidana khusus, tindak pidana kesusilaan (perzinaan, kumpul kebo, percabulan), penghinaan terhadap presiden, pidana mati, ketentuan hukum yang hidup di masyarakat atau hukum adat (living law), ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, mengatakan, dalam rapat panja DPR dan pemerintah yang direncanakan terbuka untuk publik, semua pasal di RKUHP akan disisir ulang dari awal. DPR dan pemerintah tidak akan berkutat hanya pada tujuh isu krusial dan mengesampingkan pasal-pasal lain yang masih problematik di RKUHP.
”Akan kami baca ulang, kami sisir ulang, supaya tidak ada pasal-pasal ’penyelundupan’. Nanti masukan dari masyarakat sipil juga akan kami pertimbangkan untuk mengubah redaksi sejumlah pasal,” katanya.
Meskipun masih banyak pasal bermasalah, DPR dan pemerintah bertekad mengesahkan RKUHP di Rapat Paripurna DPR pada 24 September 2019. RKUHP termasuk dalam daftar sejumlah RUU yang ingin dikebut DPR di 17 hari sisa masa jabatannya.
Selain RKUHP, ada RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (3/9/2019) ini, DPR juga akan mengesahkan dua RUU, yaitu RUU Sumber Daya Air dan RUU Pekerja Sosial.