Tidak banyak negara yang mengambil nama tokoh bangsanya sebagai nama ibu kota. Kazakhstan salah satunya. Sejak 23 Maret 2019, melalui dekrit presiden, Kassym-Jomart Tokayev mengubah nama ibu kota dari Astana menjadi Nur-Sultan. Nama baru ini diambil dari nama presiden pertama Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev.
Perubahan nama tersebut dilakukan lebih dari 21 tahun setelah perpindahan ibu kota dari Almaty ke Astana. Penggunaan nama presiden pertama sebagai nama ibu kota itu mengingatkan pada Amerika Serikat. Negeri adikuasa ini juga menggunakan nama presiden pertama, George Washington, sebagai ibu kota.
Saat mengajukan perubahan nama ibu kota menjadi Nur-Sultan, Tokayev menyebutkan, perubahan itu sebagai penghormatan kepada Nazarbayev. Perubahan nama ibu kota tersebut diumumkan tidak lama setelah secara mengejutkan Nazarbayev, yang berkuasa selama hampir 30 tahun, mengundurkan diri dari kursi kepresidenan pada 19 Maret 2019.
Saat ia berkuasa, sejumlah pengamat memperkirakan Nazarbayev akan menjadi penguasa seumur hidup di Kazakhstan. Namun, faktanya tidak. Nazarbayev mundur meski tetap menjabat Ketua Dewan Keamanan Kazakhstan, badan penasihat presiden dalam kebijakan militer dan penegakan hukum, serta Ketua Partai Nur Otan yang berkuasa. Namanya pun bakal abadi seiring dengan ditetapkannya Nur-Sultan sebagai ibu kota.
Perjalanan Kazakhstan pasca-merdeka seiring bubarnya Uni Soviet pada 1991 tak bisa dilepaskan dari peran Nazarbayev. Tak terkecuali soal pemindahan ibu kota dari Almaty. ”Untuk pertama kali dalam sejarah negeri ini, kita membangun ibu kota. Astana adalah personifikasi nyata dari seluruh pencapaian dan kemenangan kita,” kata Nazarbayev dalam pidato, 19 Maret lalu.
Pemindahan ibu kota itu diputuskan Dewan Tertinggi Republik Kazakhstan pada 6 Juli 1994. Saat itu, Nazarbayev memaparkan 32 kriteria dasar dipilihnya Akmola—nama lama Astana—sebagai ibu kota baru. Namun, beberapa kajian menyebutkan, keputusan tersebut tak bisa dilepaskan dari isu geopolitik dan perkembangan demografi.
Dari segi geopolitik, ada perhatian terhadap kuatnya pengaruh Rusia di wilayah utara Kazakhstan. Pada sisi lain, juga muncul kesadaran, posisi Almaty di tenggara terlalu dekat dengan China. ”Kazakhstan berlokasi tepat di jantung geografi Eropa, yang menempatkan negara itu di posisi strategis sebagai jembatan antara Rusia dan China, yang sebaliknya juga bisa menjadi ancaman keamanan,” tulis Mehmet Arslan dari El-Faraby Kazakh State University, Almaty, tahun 2013.
Selain itu, ada juga harapan untuk lebih menyatukan warga di wilayah utara dengan warga di selatan yang lebih makmur. Akmola menjadi pilihan terbaik berkat lokasinya relatif di tengah. Rancangan penataan ibu kota baru itu pun dipercayakan kepada arsitek Jepang, Kisho Kurokawa.
Bak disulap, Akmola yang tadinya seperti kota mati—dalam bahasa Kazakh, Akmola berarti ”kuburan putih”—kini menjadi kota metropolitan dengan pemandangan khas gedung-gedung berarsitektur menawan. Ada Menara Baiterek, landmark ibu kota setinggi 97 meter; Istana Presiden Aqorda; Mal Khan Shatyr yang beratap ala tenda; Istana Perdamaian dan Rekonsiliasi yang berbentuk piramid; Istana Kemerdekaan dengan fasad mirip sangkar burung; dan Masjid Sultan Khazret—masjid terbesar di Asia Tengah—dengan empat menara dan cat serba putih.
Astana, yang berarti ”ibu kota”, pun menggantikan nama Akmola. Dalam perjalanan Kompas ke kota itu, Juni 2017, infrastruktur fisik itu bertambah dengan dibangunnya kompleks bangunan berbentuk bola kaca raksasa dikelilingi empat gedung terpisah di area seluas 174 hektar untuk perhelatan EXPO-2017.
Ada pula ambisi menjadikan ibu kota itu sebagai pusat keuangan di Asia Tengah, bersaing dengan pusat-pusat keuangan dunia, seperti Shanghai, London, atau Tokyo, seiring ambisi Kazakhstan masuk daftar 30 negara maju pada 2050.
Soal perubahan nama, dalam 200 tahun terakhir, kota itu kerap berganti nama, yaitu mulai dari Akmolinsk, Tselinograd, Akmola, Astana, hingga yang terakhir Nur-Sultan. Akankah Nur-Sultan menjadi nama terakhir ibu kota Kazakhstan? Biarlah sejarah yang mencatat.