Pasar Hak Cipta, Pintu Penulis Indonesia ke Luar Negeri
Ikatan Penerbit Indonesia menargetkan bisa menjual hak cipta untuk setidaknya 25 judul buku pada Indonesia International Book Fair 2019. Kategori fiksi dan buku anak masih menjadi andalan. Meskipun begitu, kategori nonfiksi seperti tulisan-tulisan akademik mulai digarap serius untuk dipromosikan tahun ini.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikatan Penerbit Indonesia menargetkan bisa menjual hak cipta untuk setidaknya 25 judul buku pada Indonesia International Book Fair 2019. Kategori fiksi dan buku anak masih menjadi andalan. Meskipun begitu, kategori nonfiksi seperti tulisan-tulisan akademik mulai digarap serius untuk dipromosikan tahun ini.
”Pada IIBF (Indonesia International Book Fair) tahun 2018 terjadi penjualan untuk 26 judul buku. Tahun 2019 harapannya tetap bisa memenuhi paling sedikit 25 judul,” kata Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina dalam jumpa pers IIBF 2019 di Jakarta, Senin (2/9/2019). Ajang ini akan diselenggarakan di Balai Sidang Jakarta pada 4-8 September dan merupakan agenda tahunan Ikapi sejak tahun 1980.
Ia menjelaskan, satu judul bisa terdiri dari beberapa seri. Khusus untuk pembeli, Ikapi memetakan ada 36 agen perbukuan dan penerbit dari luar negeri yang memenuhi syarat. Mereka membaginya ke dalam tiga kategori. Kategori emas terdiri dari 12 agen ataupun penerbit yang memberikan jaminan akan membeli hak cipta. Kategori perak adalah 13 agen dan penerbit yang sudah pernah membeli hak cipta penulis Indonesia dan mengungkapkan akan membeli lagi tahun ini. Adapun kategori perunggu merupakan mereka yang baru mengatakan tertarik untuk membeli.
Terdapat 20 negara yang akan berpartisipasi dalam IIBF 2019. Selain sembilan negara ASEAN, juga ada Iran, Mesir, Inggris, Jerman, dan Korea Selatan. Menurut Rosidayati, berdasarkan pengalaman Indonesia mengikuti pameran-pameran di luar negeri seperti Frankfurt dan London, sastra masih menjadi andalan. Penulis-penulis seperti Eka Kurniawan dan Laksmi Pamuntjak memiliki penggemar yang mulai banyak di mancanegara.
Terdapat 20 negara yang akan berpartisipasi dalam IIBF 2019. Selain sembilan negara ASEAN, juga ada Iran, Mesir, Inggris, Jerman, dan Korea Selatan.
Direktur Pengembangan Pasar Luar Negeri Badan Ekonomi Kreatif Bonifasius Wahyu Pudjianto mengatakan, pemerintah memfasilitasi penulis-penulis independen untuk hadir di IIBF 2019. Mereka diharapkan bisa bertemu dengan agen-agen perbukuan dan penerbit yang mau menerjemahkan dan menerbitkan karya mereka.
Nonfiksi
Ketua Panitia IIBF 2019 Jaja Subagja menuturkan, buku-buku nonfiksi umumnya merupakan terbitan Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia. Mereka akan dipasangkan dengan University Press Malaysia untuk membangun kemungkinan buku-buku ilmiah Tanah Air bisa merambah pasar negeri jiran itu.
Namun, Rosidayati mengungkapkan, tantangan terbesar penerbitan buku nonfiksi oleh pihak asing adalah dalam penerjemahannya. Buku ilmiah membutuhkan penerjemah yang pakar tidak hanya dalam alih bahasa, tetapi juga dalam bidang yang diulas oleh buku. Biaya penerjemahan yang standar adalah Rp 150.000 per lembar. Jumlah ini tidak akan bisa ditutup oleh royalti buku.
”Kami terus berusaha meminta sponsor dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, agar buku-buku nonfiksi mendapat perhatian,” ucapnya. Indonesia terkenal memiliki tulisan-tulisan bidang sosial dan humaniora yang bermutu.
Pajak
Dari sisi pajak perbukuan, ia mengatakan, Ikapi meminta pemerintah agar menghilangkan, setidaknya mengurangi, pajak pendapatan negara (PPN) dari penjualan buku. Hal ini karena sukar menghilangkan pajak di sektor lain seperti pembelian kertas bahan baku buku dan ongkos produksi.
Akan tetapi, untuk penjualan buku, ada celah yang bisa diambil karena pemerintah tidak menarik PPN dari buku teks pelajaran, buku-buku keagamaan, dan kitab suci. Jenis-jenis ini mendominasi 75 persen dari buku yang beredar di Indonesia. Artinya, hanya 25 persen buku yang masih dikenakan PPN.
Menurut Rosidayati, lebih baik jika dibulatkan agar 100 persen buku tidak dikenakan PPN. Harga buku yang lebih murah dinilai bisa menarik lebih banyak orang mau membeli dan membaca. Prinsipnya, setiap buku memberikan ilmu dan perspektif. Perihal bagus ataupun tidak bergantung pada selera perorangan.
Dalam acara itu juga dibahas mengenai peran penting agen perbukuan. Sebuah hal yang nyaris tidak ada di industri buku dalam negeri. Novelis Ahmad Fuadi menjelaskan, di negara-negara maju, penulis direkrut oleh agen yang bertugas mencarikan penerbit serta pangsa pasar yang cocok untuk jenis karyanya.
”Keberadaan agen membantu penulis berkonsentrasi berkarya. Saat ini, di Indonesia, penulis dan penerbit masih multifungsi menulis, menerbitkan, mempromosikan, dan menjual. Kalau ada agen, mereka yang fokus mencari lokus pasar dan dibayar melalui royalti penulis,” ujarnya.