RKUHP masih mengandung sejumlah pasal karet dan multitafsir yang penerapannya bisa diskriminatif dan berpotensi mengancam, alih-alih melindungi rakyat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diminta tidak mengebut pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam waktu dua minggu sebelum masa jabatan DPR 2014-2019 berakhir. RKUHP masih mengandung sejumlah pasal karet dan multitafsir yang penerapannya bisa diskriminatif dan berpotensi mengancam, alih-alih melindungi rakyat.
Beberapa pasal yang rumusan redaksionalnya masih karet dan multitafsir itu antara lain pasal mengenai penerapan hukum adat yang hidup di masyarakat sebagai dasar pemidanaan, pidana penghinaan terhadap agama, serta kriminalisasi hubungan privat.
Rapat konsinyering Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Panja RKUHP), Rabu (28/8/2019) sampai Jumat (30/8), telah selesai membahas isu krusial untuk selanjutnya dibahas dalam rapat pembahasan tingkat satu oleh panja DPR dan pemerintah pada 4 September 2019.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, dihubungi di Jakarta, Minggu (1/9/2019), mengatakan, dari tujuh isu krusial yang dibahas selama tiga hari konsinyering, salah satu pasal yang masih perlu dibahas lebih lanjut oleh DPR dan pemerintah adalah ketentuan tentang hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, yang dimuat di Pasal 2 Ayat (1) dan (2) RKUHP.
Pasal itu intinya mengatur, walaupun suatu perbuatan tidak diatur dalam ketentuan pidana di KUHP, hukum adat yang hidup di masyarakat tetap bisa dijadikan dasar pemidanaan. Hukum yang hidup dalam masyarakat itu berlaku di tempat hukum itu hidup dan bisa diterapkan selama sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Menurut peneliti Institute for Criminal and Justice Reform Erasmus Napitupulu, penerapan pasal itu berpotensi diskriminatif karena tidak disertai ketentuan rumusan yang tegas dan jelas. Apalagi, polisi dan jaksa akan menjadi pihak yang memproses pemidanaan berdasarkan hukum adat itu.
”Aparat penegak hukum bisa mendefinisikan hukum yang hidup di masyarakat itu berdasarkan penafsiran sendiri. Hukum adat bisa dijadikan alat negara yang dapat digunakan secara sewenang-wenang tanpa batasan jelas,” ujarnya.
Lebih lanjut, ketentuan ini bisa memunculkan peraturan daerah (perda) diskriminatif karena pengaturan pemidanaan yang akan dibakukan lewat perda. Sementara, saat ini saja, berdasarkan catatan Komisi Nasional Perempuan, ada lebih dari 400 perda diskriminatif.
Terkait itu, Nasir mengatakan, batasan penerapan hukum adat sebagai dasar pemidanaan itu akan dibuat melalui perda, kemudian dikumpulkan menjadi kompilasi hukum adat seluruh Indonesia. Namun, pasal itu masih diperdebatkan karena penerapannya tidak bisa dipukul rata. Pasalnya, pemerintah mengusulkan polisi dan jaksa menjadi pihak yang menegakkan hukum adat.
”Sementara ada beberapa daerah yang sudah memiliki peradilan adat sendiri. Makanya, pengaturannya ini harus diperjelas dulu dan harus dibicarakan, jangan sampai ada penolakan dari masyarakat adat,” katanya.
Meski rumusannya masih belum jelas, pasal itu tetap disepakati masuk dalam RKUHP. Namun, sesuai ketentuan peralihan, dalam kurun dua tahun sampai KUHP diberlakukan, pemerintah harus meneliti dan bertemu dengan masyarakat adat untuk mengompilasikan hukum adat di tiap daerah.
Jadi, tidak serta merta ketentuan hukum yang hidup (living law) ini langsung bisa jadi dasar pemidanaan setelah RKUHP disahkan.
Selain ketentuan mengenai hukum yang hidup di masyarakat, masih ada juga sejumlah pasal yang multitafsir dan diskriminatif, seperti pasal penghinaan terhadap agama, yang rumusannya menjadi lebih tidak tegas daripada ketentuan yang berlaku di KUHP sekarang.
Ada pula pasal yang mengkriminalisasi hubungan privat warga, seperti Pasal 417 RKUHP yang menjerat setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya. Pasal 419 juga mengatur, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan juga bisa dipidana. Kedua pasal itu delik aduan, yang berarti bisa dipidana atas pengaduan suami, istri, orangtua, atau anak.
Atas dasar banyaknya pasal problematik yang bisa mengancam ruang privat warga itu, DPR dan pemerintah diharapkan tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP. ”Alih-alih fokus memenuhi tenggat, akan lebih memastikan RKUHP melindungsi semua orang tanpa terkecuali,” kata Erasmus.
Kejar tayang
Meskipun masih banyak pasal problematik, DPR dan pemerintah tetap akan mengejar pembahasan RKUHP. Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, itu merupakan komitmen DPR dan pemerintah.
Pada Rabu (28/8/2019), Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bertemu dengan pimpinan DPR dan meminta agar RKUHP sudah disahkan di rapat paripurna pada 24 September 2019. ”Kelihatannya RKUHP akan tetap selesai (di akhir masa jabatan ini). Pemerintah sudah meminta agar segera diparipurnakan,” kata Supratman.
Sebagaimana diketahui, setelah sempat vakum membahas RUU selama satu tahun karena sibuk menghadapi Pemilu 2019, DPR dan pemerintah kini cepat-cepat mengesahkan sejumlah RUU. Selain RKUHP, Selasa (3/9/2019) ini, DPR akan mengadakan rapat paripurna untuk mengesahkan dua rancangan legislasi, yaitu RUU tentang Sumber Daya Air dan RUU Pekerja Sosial.
Selain itu, DPR juga akan mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan sebagai RUU usul inisiatif DPR. Pembahasannya akan dikejar dalam sisa waktu kerja periode ini dan disahkan pada akhir September 2019.