Ekspor Produk Halal Nasional Hadapi Tantangan Ganda
Ekspor Indonesia ke negara-negara anggota OKI pada 2018 senilai 22,25 miliar dollar AS (Rp 315,95 triliun). Angka ini lebih tinggi dari pencapaian 2017 yang sebesar 21,14 miliar dollar AS (Rp 300,18 triliun).
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia menghadapi tantangan ganda mengekspor produk halal ke negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI. Padahal, mayoritas pasar produk halal berada di negara-negara anggota OKI.
Tantangan ganda tersebut berupa hambatan tarif dan nontarif. “Secara total, negara-negara anggota OKI merupakan 80 persen dari pasar produk halal,” kata Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional Kementerian Perdagangan Arlinda dalam lokakarya bertema ‘Discovering Opportunities to Access Halal Market of the Organization of Islamic Cooperation (OIC) Member Countries’ di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Dari sisi tarif, Indonesia masih menghadapi tingginya bea masuk impor ke negara-negara anggota OKI. Arlinda mencontohkan, Mesir mengenakan tarif bea masuk hingga 60-80 persen untuk produk makanan-minuman Indonesia dan Turki mengenakan tarif sebesar 25 persen untuk tekstil.
Kementerian Perdagangan mencatat, nilai total perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota OKI pada 2018 mencapai 45,16 miliar dollar AS (Rp 641,27 triliun), naik dari 41,44 miliar dollar AS (Rp 588,44 triliun) tahun sebelumnya. Adapun sepanjang semester I 2019 mencapai 19,43 miliar dollar AS (Rp 275,9 triliun).
Ekspor Indonesia ke negara-negara anggota OKI pada 2018 senilai 22,25 miliar dollar AS (Rp 315,95 triliun). Angka ini lebih tinggi dari pencapaian 2017 yang sebesar 21,14 miliar dollar AS (Rp 300,18 triliun). Nilai ekspor sepanjang Januari-Juni 2019 telah mencapai 9,9 miliar dollar AS (Rp 140,58 triliun).
Produk ekspor unggulan Indonesia ke negara-negara OKI terdiri dari minyak kelapa sawit dan turunannya, batubara, serta otomotif. Dari negara-negara anggota OKI, Indonesia mengimpor produk minyak dan gas.
Belum standar
Dari sisi tantangan nontarif, Arlinda menyebutkan, pengakuan terhadap standar halal di antara negara anggota OKI belum ada. Setiap negara memiliki standar halal masing-masing. Idealnya, ada kesepakatan bersama untuk mengakui standar halal dari masing-masing negara atau mutual recognition agreement (MRA).
Arlinda mengatakan, pemerintah mengatasi tantangan ganda tersebut melalui perjanjian perdagangan secara bilateral dengan negara-negara anggota OKI yang secara keseluruhan berjumlah 57 negara, termasuk Indonesia. Dari sisi tarif, dia mengharapkan, tarif bea masuk dapat diturunkan hingga 0-5 persen. Dari sisi nontarif, sertifikasi dan standar halal Indonesia dapat diakui dan diterima di negara tujuan.
Hingga saat ini, negara-negara anggota OKI yang sudah memiliki perjanjian perdagangan dengan Indonesia ialah, Pakistan, Palestina, dan Mozambik. Adapun yang masih dalam tahap perundingan terdiri dari, Iran, Turki, Tunisia, dan Banglades.
Kesepahaman bersama
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Sukoso juga menyoroti pentingnya kesepahaman bersama terhadap standar sertifikasi halal masing-masing negara anggota OKI. “Pada akhir 2019 ini, saya akan menghadiri forum standardisasi di tingkat OKI di Istanbul,” katanya.
Wakil Ketua Umum Komite Permanen untuk Timur Tengah dan Negara-negara OKI Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Mufti Hamka Hasan menyebutkan, selama ini antaranggota negara OKI memiliki perjanjian tingkat kamar dagang dan industri yang menyepakati pengakuan standar halal dalam lalu lintas perdagangan. Namun, perjanjian ini perlu disokong oleh MRA di tingkat OKI.
Secara taktis, Mufti mengharapkan, Indonesia tetap bergerilya mengadakan perjanjian perdagangan bilateral dengan negara-negara anggota OKI. Adanya perjanjian perdagangan ini memberikan kepastian bagi pelaku usaha dan industri untuk mengekspor produk halal.