Pemerintah dan Badan Anggaran DPR menyepakati perubahan asumsi harga minyak mentah dalam postur sementara Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, dari 65 dollar AS per barel menjadi 63 dollar AS per barel. Perubahan asumsi harga minyak mentah itu untuk mengantisipasi penurunan harga minyak global dan risiko penerimaan sektor minyak dan gas.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Badan Anggaran DPR menyepakati perubahan asumsi harga minyak mentah dalam postur sementara Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, dari 65 dollar AS per barel menjadi 63 dollar AS per barel. Perubahan asumsi harga minyak mentah itu untuk mengantisipasi penurunan harga minyak global dan risiko penerimaan sektor minyak dan gas.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, penurunan asumsi harga minyak mentah mempertimbangkan volatilitas perekonomian global. Eskalasi perang dagang Amerika Serikat-China akan menurunkan volume perdagangan global yang berimbas terhadap harga minyak mentah.
”Permintaan minyak dunia akan berkurang dan tren harga akan menurun seperti yang sudah terlihat saat ini,” kata Suahasil dalam rapat panitia kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Kesepakatan asumsi harga minyak mentah mempertimbangkan rata-rata harga minyak mentah dunia pada Januari-Juli 2019 yang sebesar 62,88 dollar AS per barel. Oleh karena itu, asumsi harga minyak mentah RAPBN 2020 diproyeksikan pada kisaran 58 dollar AS-63 dollar AS per barel. Kisaran harga tertinggi diambil sebagai batas aman.
Selain menurunkan asumsi harga minyak mentah, pemerintah dan Banggar DPR menaikkan asumsi produksi minyak mentah dari 734.000 barel per hari menjadi 755.000 barel per hari. Kenaikan target produksi minyak didasarkan pada hitungan target produksi minyak per sumur dan dampak pemberian insentif fiskal untuk sektor hulu migas.
”Kenaikan produksi minyak mentah akan meningkatkan penerimaan sektor migas dan pendapatan negara secara keseluruhan,” kata Suahasil.
Kenaikan produksi minyak mentah akan meningkatkan penerimaan sektor migas dan pendapatan negara secara keseluruhan.
Meski demikian, kenaikan target produksi minyak mentah dinilai cukup menantang. Selama ini, produksi minyak mentah tidak pernah mencapai target APBN. Karena itu, kenaikan target produksi minyak mentah perlu dikompensasi dengan penurunan asumsi harga minyak mentah. Tujuannya agar deviasi penerimaan sektor migas tidak terlalu jauh dari target.
Dalam RAPBN 2020, pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp 2.221,5 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.861,8 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 359,3 triliun, dan hibah Rp 500 miliar. Penerimaan sektor migas akan terefleksi dalam Pajak Penghasilan (PPh) migas dan PNBP.
Postur APBN terdampak
Menurut Suahasil, perubahan asumsi harga minyak mentah dan produksi minyak dalam negeri akan berdampak terhadap postur APBN 2020. Misalnya, alokasi transfer dana ke daerah untuk dana alokasi umum dan dana bagi hasil. Pemerintah masih dalam proses memetakan dampak perubahan asumsi makro.
”Ketika asumsi makro diubah, menurut Undang-undang Keuangan defisit anggaran tetap,” kata Suahasil.
Perubahan asumsi makro diupayakan tidak menggeser target defisit RAPBN 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto (PDB). Pemerintah akan menjaga defisit anggaran tetap di bawah 2 persen PDB untuk mengantisipasi ketidakpastian perekonomian global.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, fleksibilitas pemerintah untuk mengotak-atik asumsi makro APBN perlu diperkuat dengan aturan dalam Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Aturan itu menegaskan bahwa deviasi 10 persen dalam asumsi makro wajib APBN Perubahan.
”Pemerintah perlu mengajukan APBN Perubahan jika deviasi asumsi makro melebihi 10 persen dari target. Dalam dua tahun terakhir, 2018 dan 2019, tidak ada APBN Perubahan,” kata Said.
Dalam Pasal 182 UU No 17/2014, APBN Perubahan dapat diajukan pemerintah jika deviasi pertumbuhan ekonomi mencapai 1 persen dari target, asumsi makro 10 persen, penurunan penerimaan perpajakan 10 persen, belanja pemerintah naik atau turun 10 persen, serta defisit melebar 10 persen dari target UU APBN.