Pendekatan Komoditas Masih Diutamakan, Lingkungan Kurang Diperhatikan
Koalisi masyarakat sipil menolak percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air oleh DPR. Mereka menilai, beleid yang ada masih menggunakan pendekatan komoditas yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan
Oleh
erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menolak percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air oleh DPR. Mereka menilai, beleid yang ada masih menggunakan pendekatan komoditas yang tidak memerhatikan daya dukung lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Jakarta, Minggu (1/9/2019). Diskusi itu dihadiri koalisi masyarakat sipil yang diwakili Manajer Kampanye Walhi Wahyu Perdana, Wakil Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari, dan staf riset Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Sigit Karyadi Budiono.
Akhir Agustus lalu, pemerintah dan Komisi V DPR setuju melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sumber Daya Air ke Rapat Paripurna DPR. Pengesahan itu akan mengisi kekosongan setelah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dihapus Mahkamah Konstitusi pada 2015.
Sebelumnya, UU tersebut digugat karena tidak ketat membatasi pengelolaan air oleh swasta. Alih-alih membatasi pengusahaan air oleh swasta, draf akhir RUU yang belum dibuka ke publik tersebut dinilai masih mengatur air dengan pendekatan komoditas atau barang niaga.
”Kebijakan soal air ini tidak boleh secara parsial hanya bicara soal perusahaan. Air bukan abiotik yang hanya berhubungan dengan pipanisasi dan air minum, pengusahaan air oleh industri juga melibatkan keberlangsungan ekosistem,” kata Wahyu.
Kebijakan soal air ini tidak boleh secara parsial hanya bicara soal perusahaan. Pengusahaan air oleh industri juga melibatkan keberlangsungan ekosistem.
RUU tersebut juga belum tegas melarang privatisasi air. Hal itu seperti diatur dalam Pasal 47 yang mengizinkan penggunaan sumber daya air milik pemerintah untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta yang memenuhi syarat tertentu.
Era menilai, ada juga potensi penyimpangan prinsip pengelolaan sumber daya air karena tidak menyinggung kewajiban pemegang usaha (swasta) atau pemegang izin industri (pemerintah). Seluruh kewajiban pengelolaan sumber daya air ditumpukan kepada masyarakat di sekitar kawasan usaha.
”Masa usaha perbaikan kerusakan dan pengendalian dibebankan ke masyarakat, bukan ke pemegang usaha atau pemegang izin, seperti BUMN atau BUMD,” ujarnya.
Pengusaha keberatan
Pasal 47 Huruf (g) dalam RUU itu juga mencantumkan kewajiban konservasi SDA kepada pelaku usaha industri. Kewajiban itu dikenakan dalam bentuk penyisihan minimal 10 persen dari laba usaha.
Sigit mengatakan, pengusaha memang wajib mengonservasi kawasan sumber daya air. Namun, konservasi itu bukan dihitung dengan nilai keuntungan atau negosiasi.
”Perusahaan yang merusak atau mencemari air harus memberikan ganti rugi, dan mengonservasi kawasan itu,” ujarnya.
Perusahaan yang merusak atau mencemari air harus memberikan ganti rugi dan mengonservasi kawasan itu.
Sebelumnya, pengusaha yang diwakili Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak beberapa poin dalam RUU SDA, salah satunya mengenai biaya konservasi. Nilai tersebut disebut akan memberatkan pelaku usaha industri, khususnya pengusaha air minum dalam kemasan (AMDK).
Ketua Asosiasi Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan, industri pengolah air telah dibebani biaya pajak penggunaan SDA berkisar 10-20 persen. Aturan itu ada dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi.
Penambahan beban finansial untuk konservasi air dan nasionalisasi perusahaan AMDK dikhawatirkan mempersulit masyarakat mendapatkan air minum yang layak. ”Setelah UU SDA digugat pada 2015, puluhan juta masyarakat terancam kesulitan dapat air minum, padahal akses air bersih bagi masyarakat adalah hak asasi,” ujarnya.
Ia mengatakan, data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada 2012 menyebutkan, air yang dikonsumsi oleh rumah tangga 6,4 triliun liter air per tahun. Adapun total kebutuhan industri 27,7 triliun liter per tahun. Jumlah tersebut termasuk lebih dari 3.000 triliun liter air per tahun yang belum diolah untuk kelangsungan masyarakat.
Selain mengenai biaya konservasi dan nasionalisasi pengusahaan air, Apindo juga menolak aturan yang mengizinkan pemeliharaan SDA oleh masyarakat yang juga berhak mengakses air milik pengusaha.
Lembaga khusus
Pada diskusi tersebut, koalisi masyarakat sipil juga menyampaikan pendapat mengenai perlunya kelembagaan khusus untuk menangani SDA. Pasalnya, SDA saat ini diatur oleh banyak kementerian dan lembaga dari sektor berbeda sehingga kerap memicu ketidakharmonisan aturan.
Wahyu mencontohkan, untuk izin pengelolaan SDA dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemipaan oleh Kementerian PUPR, air permukaan di Kementerian PUPR dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), irigasi muncul di Kementerian Pertanian, lalu mengenai pencemaran di KLHK.
”Kalau dibiarkan begitu terus, tumpang tindah kewenangan akan terulang lagi. Kami usulkan agar ada lembaga atau kementerian koordinasi yang diberi wewenang khusus terkait air,” kata Wahyu.
Selain menyoroti mengenai nomenklatur kelembagaan, adanya satu peta daya dukung air yang penting untuk mengukur kemampuan SDA memenuhi kebutuhan penggunaan air.
Selama ini kementerian terkait tidak memiliki data daya dukung air yang terintegrasi. Akibatnya, pengukuran terkait daya dukung air terabaikan.
”Sebagai contoh, daya dukung air Pulau Jawa, menurut data KLHK, sudah melampaui hampir 90 persen. Kalau pendekatan pengusahaan air menggunakan peta itu, semua industri ekstraktif yang berpengaruh terhadap air di Pulau Jawa harus ditutup,” jelasnya.