Bank Indonesia dalam dua bulan berturut-turut, Juli dan Agustus 2019, menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin. Saat ini, suku bunga acuan BI sebesar 5,5 persen.
Oleh
DEWI INDRIASTUTI
·2 menit baca
Bank Indonesia dalam dua bulan berturut-turut, Juli dan Agustus 2019, menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin. Saat ini, suku bunga acuan BI sebesar 5,5 persen.
Suku bunga acuan BI digunakan sebagai acuan bagi perbankan untuk menetapkan suku bunga, baik simpanan maupun pinjaman. Namun, kerap kali, ada keluhan dari pelaku usaha atau masyarakat, setiap kali suku bunga acuan BI turun, suku bunga simpanan di bank menyesuaikan. Namun, suku bunga pinjaman perlu waktu untuk ikut turun.
Sejak 2011, ada aturan mengenai Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan untuk ditampilkan di laman Bank Indonesia, yang kini berganti di laman Otoritas Jasa Keuangan. SBDK yang ditampilkan untuk kredit korporasi, ritel, mikro, kredit pemilikan rumah (KPR), dan non-KPR.
Dengan cara itu, masyarakat dan nasabah bisa memantau suku bunga yang berlaku di bank saat hendak mengajukan kredit. Meski demikian, harus diingat, SBDK bukanlah suku bunga yang akan dikenakan bank terhadap nasabah. SBDK terdiri dari tiga komponen, yakni harga pokok untuk kredit, biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam memberikan kredit, dan marjin keuntungan untuk aktivitas kredit. Adapun suku bunga kredit yang diberikan kepada nasabah masih memperhitungkan faktor risiko nasabah tersebut.
Akan tetapi, bank punya pertimbangan lain karena ada biaya yang harus ditanggung. Jika likuiditas atau dana yang tersedia di pasar terbatas, bank, terutama yang skalanya kecil, akan berusaha mendapatkan dana dengan memberikan suku bunga simpanan tinggi bagi pemilik dana.
Jika suku bunga simpanan tinggi, biaya dana atau biaya untuk mendapatkan dana menjadi tinggi. Hal ini mesti dikompensasikan ke kredit, yang dananya antara lain berasal dari dana yang dihimpun dari masyarakat. Akibatnya, suku bunga kredit pun tinggi.
Di tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu, pelaku usaha dan industri akan berupaya mencari peluang untuk meningkatkan bisnis. Peluang menjadi sia-sia jika pelaku usaha tidak memiliki kapasitas untuk mengisinya. Salah satu cara meningkatkan kapasitas usaha adalah menambah modal kerja atau investasi. Namun, upaya itu bisa terganjal jika pelaku usaha tidak bisa menambah modal kerja dan investasi karena ketiadaan dana.
Di sisi lain, bank mempertimbangkan risiko usaha calon nasabah di tengah situasi perekonomian yang masih diliputi ketidakpastian. Sebab, bank tidak ingin memiliki piutang yang tidak bisa dibayar. Bank mesti menjaga rasio kredit bermasalah atau NPL.
Data terbaru yang dirilis BI, per Juli 2019, kredit tumbuh 9,7 persen secara tahunan. Angka ini lebih rendah dibandingkan Juni yang tumbuh 9,9 persen secara tahunan.
Bank dan konsumen yang ingin ekonomi tumbuh dengan sehat mesti memilih langkah paling tepat. (Dewi Indriastuti)