Di Kendeng, Menjadi Saksi Refleksi Kemerdekaan
"Sapa sing isih nduwe sangu gula klapa / Yen dadi pejabat gaweyane mung ngapusi rakyat / Yen dadi penguasa kelakuane mung adigung adiguna / Yen dadi aparat ora ngayomi rakyat ning malah meden-medeni rakyat
Sapa sing isih nduwe sangu gula klapa / Yen senenge ngapusi lan korupsi / Yen mung ngrusaki bumi pertiwi / Sapa sing isih sangu gula klapa / Sapa sing isih sangu gula klapa / Gula getih, klapa putih balunge getih / Nyawiji dadi siji, niatan suci merdikakke bumi pertiwi."
(Siapa masih berpegang pada merah putih / Kalau menjadi pejabat kerjanya hanya membohongi rakyat / Kalau menjadi penguasa perilakunya hanya mengandalkan kekuasaan dan kepandaian / Kalau menjadi aparat tapi tidak mengayomi rakyat melainkan justru menakut-nakuti rakyat
Siapa masih berpegang pada merah putih / Jika hanya senang berbohong dan korupsi / Jika hanya merusak bumi pertiwi / Siapa yang masih berpegang pada merah putih / Gula adalah darah, kelapa putih tulangnya darah / Bersatu menjadi satu, niatan suci memerdekakan bumi pertiwi).
Suara lantang ibu Rib Ambarwati, panggilannya Yang Dewi (ibunya Dewi) dari Desa Maitan, Kecamatan Tambakromo, Pati, Jawa Tengah membacakan Gula Klapa berhasil mencipta keheningan di tengah sengatan terik matahari di lapangan depan Gua Lawa, Sabtu (17/8/2019). Gua itu berada di Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Lik Padi, demikian panggilan Supadi, sigap berlari dengan bendera merah putih membelit lehernya.
Lebih dari 200 pasang mata menatap, mendongak ke bukit yang berjenjang. Tinggi bukit tak kurang dari 15 meter. Di puncak bukit di Pegunungan Kendeng itu dipancangkan satu bambu panjang menantang langit yang biru cerah. Lik Padi memanjat tangga bambu pertama sekitar 6 meter, disusul bambu kedua, dan akhirnya memanjat “tiang bendera”, bambu terakhir. Gula Klapa, Merah Putih, berkibar dengan megah, tegar.
Di latar belakang, alunan tembang “Ilir Ilir” karya Sunan Kalijaga-sayup menyentak karena daya doanya. Kibaran Gula Klapa disambut nyanyian “Indonesia Raya” yang tak harus merdu dan padu namun penuh daya. Daya yang keluar dari narasi perjuangan masyarakat di wilayah Pegunungan Kendeng Utara sejak 2006.
[video width="1280" height="720" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/08/20190821_ISW_UPACARA-LESTARIKAN-PEGUNUNGAN-KENDENG.mp4"][/video]
Mengikuti peringatan HUT Kemerdekaan di Kendeng membawa diri kepada kesadaran kolegial dari mereka yang menjadi obyek kekuasaan. Semua “delegasi dari Sabang sampai Merauke” siang itu menyatakan kesiapan mengikuti upacara. Mereka datang dari berbagai kelompok masyarakat, organisasi, suku, dan komunitas dari berbagai wilayah.
“Lapor, barisan suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu Indramayu siap melu (ikut) upacara kerakyatan, siap (me)njaga Pegunungan Kendeng, siap melu (ikut) (me)njaga Ibu Bumi, laporan beres!” kata Endang Dharma dari masyarakat suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandhu dari Indramayu.
Beragam bahasa pun terdengar. Mereka melapor dengan suara lantang, mantap. Mereka adalah ‘saudara-saudara Kendeng’ yang datang dari Medan, Sumatera Barat, Lampung, Banyuwangi, Madura, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, kelompok peternak, kelompok perantauan dan banyak lagi.
Mereka yang hadir di lapangan Sukolilo memaknai peringatan kemerdekaan negeri sebagai upacara untuk memperingati kemerdekaan Ibu Bumi dari segala bentuk penjajahan, penindasan, dan penjarahan. Kemerdekaan Indonesia tak selayaknya hanya dirayakan sebagai bentuk kewajiban seremonial. Lokasi upacara siang itu sarat dengan sejarah perjuangan tolak pabrik semen. Di lokasi itulah rencananya pabrik tersebut akan dibangun.
Sejak menyatakan menolak berdirinya pabrik semen, kekerasan demi kekerasan dialami warga Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK)-yang dimotori Gunritno. Buah manis dipetik 2010 ketika Mahkamah Agung mengabulkan permintaan warga. Tahun 2014, kawasan karst Sukolilo dinyatakan sebagai kawasan lindung geologi dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2641K/40/MEM/2014.
“Tapi proses panjang dari 2006, satu persatu apa yang dilakukan dulur dulur (saudara-saudara) JMPPK menumbuhkan, menghidupkan, jiwa jiwa dari seluruh Indonesia untuk peduli menjaga Ibu Bumi, menjaga Gunung Kendeng ini, bahkan menjaga Indonesia ini agar bener (benar) sedulur sedulur (saudara-saudara),” ujar Gunritno.
"Tema \'Merdeka Nguripi\' mengandung makna membangun kehidupan, bukan sebaliknya, mencerabut kehidupan. Kami …hingga hari ini terus berjuang untuk melestarikan Pegunungan Kendeng guna terbangunnya kehidupan. Kehidupan petani yang berdaya, kehidupan petani yang merdeka atas ruang produksinya, tanpa kuatir akan musnahnya sumber sumber mata air,” tambah Gunritno selaku Inspektur Upacara. “Petani lah yang memberikan kecukupan pangan bagi segenap anak bangsa,” tambahnya.
“Petani adalah soko guru bangsa tapi hingga hari ini negara abai,” tegasnya. Pegunungan Kendeng terbentang lintas-provinsi, melewati tujuh kabupaten yaitu Lamongan, Bojonegoro, Tuban Rembang, Grobogan, Blora, dan Pati. Dan, ancaman berlanjut, bergeser ke kawasan gunung karst di Kabupaten Rembang.
Bagi Gunritno, merayakan HUT Kemerdekaan bermakna. "Merdeka itu kan seharusnya hilang rasa khawatir, hilang semelang (was-was), keterancaman hilang. Tapi, akhir-akhir ini tidak membuat itu hilang. Maka kali ini upacara rakyat ini memang yang berupacara ini rakyat Indonesia," ujar Gunritno sambil menyebut daerah-daerah asal semua komunitas dan individu yang hadir.
[video width="1280" height="720" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/08/20190821_ISW_GUNRITNO-1.mp4"][/video]
Demikian pula Endang Dharma dari Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu yang mengatakan, “Hak-hak rakyat tidak jelas, Ibu Bumi masih menangis, pasti Ibu Bumi masih menangis….”
Dan mereka pun bersenandung “Ibu Bumi wis maringi,… Ibu Bumi dilarani… Ibu Bumi sing ngadili…” nyanyian itu berubah menjadi semacam mantra di mulut-mulut warga Kendeng dan para sahabatnya.
[video width="1280" height="720" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2019/08/20190821_ISW_WAKIL-INDRAMAYU-2.mp4"][/video]
Seusai upacara, semua peserta upacara menggalang kebersamaan dengan makan nasi bungkus yang telah disiapkan Tatik, Sukinah, dan para ibu Kendeng sejak subuh. Di antaranya adalah nasi dari padi panen sawah organik. Gunritno dan beberapa warga Sedulur Sikep telah mempraktikkan pertanian organik di sawah mereka. Pedagang air tebu laris manis, semua berwajah sumringah dan bersemangat mesti bermandi peluh di bawah terik matahari.
Seusai makan bersama, mengambil posisi di bawah pepohonan, semua tekun mengikuti Kuliah Bersama Rakyat dengan pembicara Saraswati, Zaimatus, Benny Danang Setianto, dan Romo Budi.
Refleksi akan Pancasila
Malam sebelumnya banyak orang mbanyu mili, datang silih berganti, ke rumah joglo kayu Gunritno. Obrolan di penghujung hari itu bergulir lancar mengilas balik peran masing-masing tamu dalam narasi perjuangan tolak semen warga Kendeng. Di sana ada empat perempuan dari paguyuban pencinta batik Indonesia, Sekarjagat.
Mereka yang datang dari jauh membawa kisah sama. “Dalam Indonesia kini kita menghadapi permasalahan yang sama tentang kedaulatan kita pada tanah kita sendiri tanah air kita sendiri,” ujar Ngurah Termana dari Bali, seusai upacara.
“Kami tidak ingin alam diprivatisasi. Alam harus kembali ke rakyat dan bisa diakses menjadi milik publik,” tambah Hadikusumo, peserta dari Bali. Pariwisata yang nampak gemerlap telah mencerabut banyak hak-hak mereka atas tanah air dan sumber-sumber produksi. Kali ini Teluk Benoa terancam direklamasi untuk dijadikan kawasan pariwisata. Kawasan konservasi itu diubah menjadi zona pemanfaatan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Kami saling tahu (kasus-kasus) ini. Di sini ada Kendeng, di Banyuwangi ada Tumpang Pitu (kawasan hutan terancam eksploitasi geothermal,” tambah Termana. Dia tahu bahwa masyarakat Kendeng menang di MA, namun kenyataan di lapangan berbeda. “Jalur legalitas demokrasi kita jalani. Tetapi kami tetap kalah,” ujar Termana. Tegas.
“Upacara HUT Kemerdekaan harusnya bukan hanya seremonial. Kayak tadi Pancasila tetap dipertanyakan. Kita berhak bukan? Refleksi, merenungkan setahun Indonesia apakah benar dasar negara dan ideologi negara kita laksanakan sebenar-benarnya? Bener gak sih kita merdeka, bener gak sih kita berdaulat, bener gak sih kita adil dan makmur….” suara Termana terdengar mirip suara Soekarno sang pendiri bangsa…. Suara itu semakin sayup hari demi hari karena terus ditimpa selimut keserakahan….
Sementara di seberang, hidup dan kehidupan tak pernah kurang dan tak pernah berlebihan bagi kaum petani. Merekalah pemilik kehidupan sebenarnya, seperti makna tembang Pangkur “Ibu Pertiwi” yang mereka lantunkan:
Ibu Pertiwi, (Ibu Bumi)
Paring boga lan sandang kang murakabi, (memberikan sandang pangan yang mencukupi)
Lan paring rejeki, manungsa kang bekti, (serta memberi rejeki kepada manusia yang berbakti)
Ibu Pertiwi, (Ibu Bumi)
Ibu Pertiwi, (Ibu Bumi)
Sih sutresna mring sesami, (mengasihi sesama)
Ibu Pertiwi, (Ibu Bumi)
Kang asih luhuring budi, (yang penuh kasih dan berbudi luhur)
Ayo sungkem mring Ibu Pertiwi… (mari sungkem kepada Ibu Bumi)
Dan Gula Klapa berkibar di salah satu puncak Pegunungan Kendeng. (Merdeka?!) (*)