Seruan Kehidupan dalam Meliu Liuha
Serupa dikomando, belasan orang bergerak senada dengan membawa ”senjata” masing-masing. Di tengah sawah yang kering sehabis direndam banjir lumpur, warga bangkit dan bergerak bersama. Semangat meliu liuha tertanam dalam-dalam, membangkitkan hidup yang goyah karena bencana.
Berjalan cekatan di atas tanah yang mengering, Nursiah (54) mengomando belasan ibu yang memegang mangkuk kecil. Tangan kanannya memegang erat karung benih jagung yang isinya tinggal sepertiga karung. Di depannya, sejumlah pria memegang batang kayu yang ujungnya runcing. Kayu itu ditancapkan di tanah setiap setengah meter.
Tangan Nursiah menjulur ke lubang-lubang yang berderet rapi di tanah. Selepas memasukkan dua biji benih, kakinya menginjak lubang untuk menutup tanah itu kembali. Begitu kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang hingga sampai di ujung pematang. Saat mangkuk warga lainnya kosong, ia menghampiri lalu mengisi dari karung yang dipegangnya.
”Ini kami tanam lagi, menugal atau matuso bahasa Landawenya. Siapa tahu berhasil. Kemarin habis banjir hampir tidak ada sama sekali hasilnya,” ujar ibu enam anak ini, Selasa (6/8/2019), di Desa Tambakua, Langgikima, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. ”Kali ini kami mau tanam jagung di lahan pak kepala desa. Jadi, ini bukan lahan saya,” kata Nursiah.
Hari jelang siang begitu menyengat, tetapi tidak membuat Nursiah dan warga beringsut dari sawah. Mereka tetap saja bekerja dengan cepat dan riang. Meskipun lahan ini bukan milik mereka sendiri, mereka tetap semangat menuntaskan pekerjaan. Tanah keras akibat endapan lumpur sehabis banjir tidak menjadi penghalang untuk terus bekerja. Sembari bercengkerama, warga desa yang berjarak 1,5 jam berkendara dari ibu kota Konawe Utara ini terus beraktivitas.
”Ini namanya meliu liuha, saling membantu atau gotong royong. Kemarin, setelah banjir, saya menanam di lahan bantu warga. Sebelumnya punya tetangga yang lain. Penanaman ini yang terakhir sebelum musim kemarau datang,” ujar Nursiah sembari tidak henti memasukkan benih ke lubang.
Meliu liuha adalah praktik gotong royong yang terus dilestarikan warga Tambakua dan warga Landawe pada umumnya. Landawe adalah subetnis di wilayah Sulawesi Tenggara yang banyak mendiami wilayah Konawe Utara.
Bergotong royong telah menjadi urat nadi warga Landawe. Dalam bertani, masyarakat akan turun ke sawah membantu menanam, menugal, ataupun membersihkan milik warga lainnya. Tanpa ada panggilan, berita langsung menyebar ke seluruh desa. Warga yang tahu dan umumnya berita dari mulut ke mulut langsung datang ke lahan beramai-rami.
Nursiah menceritakan, saat menanam di sawahnya bulan lalu, warga juga berbondong-bondong datang untuk membantu. Pekerjaan yang biasanya memakan waktu berhari-hari jika dikerjakan sendiri langsung tuntas dalam hitungan jam. Sebaliknya, keesokan hari ketika tetangganya mulai menanam, ia juga turun ke sawah untuk membantu.
”Apalagi setelah banjir bandang begini, kami harus saling bantu. Sawah habis tidak sempat dipanen semua. Kalau tidak saling bantu, kami tidak bisa cepat bekerja,” tuturnya. Abdullah, Kepala Desa Tambakua, sekaligus pemilik lahan, yang datang belakangan, langsung turut membantu. Ia memegang sebuah batang kayu yang ujungnya runcing, menancapkan ke tanah, sembari menyapa para tetangganya.
Beberapa orang yang lelah, duduk di bawah pohon. Ada juga yang langsung ke rumah kebun berjarak sekitar 100 meter dari ladang. Nasi putih, ikan kering, sambal tomat, dan air putih telah menunggu. Tidak lupa satu termos kopi hitam pekat yang masih hangat. Semua menu makanan itu disediakan oleh pemilik lahan untuk konsumsi para tetangga yang membantu bekerja di ladang.
Abdullah mengatakan, bergotong royong masih menjadi etos yang dipertahankan masyarakat desa. Nilai meliu liuha menjadi penopang masyarakat untuk saling membantu. Pekerjaan jauh lebih mudah, cepat, dan tentunya tidak butuh biaya banyak. Sebab, para warga menyumbangkan tenaga tanpa pernah meminta imbalan.
Dengan kondisi sehabis disapu banjir bandang bercampur lumpur, tambah Abdullah, warga terpuruk karena hasil pertanian hancur. Kondisi sawah juga kritis karena tertimbun lumpur. Mengolah sawah membutuhkan tenaga ekstra, tanpa lagi perlu bicara bagaimana hasil akhirnya. Intinya lahan harus digarap segera dengan harapan membawa hasil baik.
”Banjir memang sudah sering. Dulu kami malah senang kalau banjir karena bisa mandi-mandi. Sawah juga jadi subur karena humus dari sungai naik ke sawah. Namun, sekarang beda, saat banjir bukan humus yang datang, melainkan sawah penuh lumpur. Meski begitu, semoga semangat warga tidak hilang,” tambahnya.
Semangat gotong royong warga Desa Tambakua dan masyarakat Landawe sudah tertanam sejak dulu. Mereka memuliakan tanah, hutan, dan tanaman, dalam semangat kebersamaan.
Tokoh masyarakat Landawe, Edy Lapalulu menjelaskan, meliu liuha itu adalah wujud kebersamaan dalam masyarakat. Bekerja sama dalam menanam hanya satu wujud pelaksanaan nilai. Gotong royong juga disematkan dalam berbagai kegiatan, mulai dari perkawinan hingga kematian.
”Kalau ada acara, setiap ibu datang membawa bahan makanan. Sementara para laki-laki membantu mendirikan tenda atau persiapan lainnya. Itu sudah pasti," tutur Edy.
Pantangan
Tidak hanya menciptakan peguyuban dengan sesama, masyarakat Landawe masih memegang teguh hidup harmonis dengan alam dan hasil buminya. Bentuknya berupa penerapan sejumlah pantangan atau larangan terkait perilaku dalam beraktivitas. Mereka begitu yakin dan percaya jika melanggar larangan akan mendapat petaka. Warga yang melanggar akan sakit mendadak.
Mustaman (27) mengatakan, dirinya punya pengalaman terkena tulah karena melanggar kebiasaan. Mustaman mendadak panas tinggi pada suatu pagi di akhir Juli, padahal malamnyat idak ada tanda-tanda sakit.
Serangan sakit mendadak itu tidak hanya dirasakan oleh dirinya, tetapi juga ibunya. Leher ibu Mustaman tiba-tiba bengkak sampai tidak bisa makan. ”Kami panik. Ini kenapa,” kata Sekretaris Daerah Desa Tambakua itu.
Mereka pun lalu mencoba merunut faktor yang diduga menjadi penyebab sakit mendadak tersebut. Hasil penelusuran dan berdasarkan penglihatan orang pintar, ia melanggar salah satu pantangan yang diterapkan di desa itu.
Lima hari sebelumnya, ia memanen padi di sawah. Setelah tangkai padi dipotong, langsung disimpan dalam keranjang (olangka) untuk ditumpuk di terpal. Padahal, sebagai tradisi, tindakan itu tidak boleh dilakukan.
Menurut peraturannya, setelah dipanen, padi harus terlebih dahulu disimpan sejenak di tanah sebelum diangkut. Cara itu merupakan tradisi nenek moyang untuk menghormati padi yang merupakan anugerah bumi.
Keluarga pun lalu mencari pengobatan dengan cara tradisi desa, yakni melakukan ritual penyembuhan. Keluarga Mustaman melakukan upacara pemulihan (mosehe).
Dalam acara itu, dihadirkan unsur alami, seperti daun sirih, pinang, dan tanah. Melalui mantra orang pintar dan lewat media tersebut dimohonkan permintaan maaf dan pemulihan hubungan dengan alam. ”Tak lama setelah mosehe, saya sudah bisa jalan. Ibu saya sembuh total dua hari setelahnya,” kata Mustaman yang mengaku tidak minum obat.
Pantangan lain terkait penghormatan hasil bumi, tambah Musaman, tidak boleh melakukan dua aktivitas berbeda pada hari yang sama. Sebagai contoh, jika hari itu menanam jagung, tidak boleh lagi ada aktivitas menanam komoditas lainnya, seperti padi atau tebu.
”Leluhur mengajarkan iwayo mohela hendero. Kita jangan mencampur-campur pekerjaan di hari yang sama. Kita berikan seluruh diri kita hanya untuk satu pekerjaan pada hari itu,” tutur Mustaman.
Selain fokus pada satu pekerjaan, tambah Mustaman, nilai itu juga bisa dimaknai sebagai pelajaran agar tidak rakus dan serakah dalam bekerja. Menurut Edy, masyarakat Landawe memiliki hubungan erat dengan alam. Pantangan tersebut bertujuan untuk tetap menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan alam.