Perlindungan Pekerja Era Disrupsi Membutuhkan Aturan Lebih Fleksibel
UU Ketenagakerjaan yang berusia 16 tahun perlu diubah dalam menghadapi era teknologi revolusi industri 4.0. Revisi tersebut akan membuat UU Ketenagakerjaan berintikan transformasi hak pekerja dalam era disrupsi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·5 menit baca
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Ratusan pengemudi ojek dan taksi berbasis aplikasi yang tergabung dalam Front Driver Online Tolak Aplikator Nakal (Frontal) melintasi Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/3/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Disrupsi digital tidak hanya memengaruhi dunia industri. Pasar kerja juga ikut terdampak revolusi industri 4.0 yang mengembangkan digitalisasi dan otomatisasi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing dalam kompetisi global.
Perubahan tersebut menuntut payung hukum yang lebih fleksibel dalam dinamika pasar kerja agar hak normatif orang-orang yang bekerja di jenis pekerjaan baru tetap terlindungi. Kondisi ini membuat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu disesuaikan dengan perkembangan pasar kerja terkini.
Pengamat ketenagakerjaan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tadjuddin Noer Effendi, yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (29/8/2019), berpendapat, UU Ketenagakerjaan yang berusia 16 tahun perlu diubah dalam menghadapi era teknologi revolusi industri 4.0. Revisi tersebut akan membuat UU Ketenagakerjaan berintikan transformasi hak pekerja dalam era disrupsi.
”Hak-hak pekerja bertransformasi menjadi employment insurance. Hal ini bertujuan melindungi pekerja dari risiko terlempar dari pasar kerja akibat tak berdaya saing dalam era revolusi industri 4.0,” kata Tadjuddin.
Saat ini UU Ketenagakerjaan cenderung menyebutkan hak-hak yang diterima pekerja berupa aspek material, seperti upah, pesangon, atau masa cuti. Dalam menghadapi revolusi industri 4.0, hal-hal itu tidak lagi cukup. Apalagi, revolusi industri 4.0 menuntut kompetensi dan kecakapan pekerja.
Mekanisme employment insurance adalah pemerintah dan perusahaan memasukkan tenaga kerja yang terancam kehilangan pekerjaannya dalam balai pelatihan untuk peningkatan kecakapan, keterampilan, dan kompetensi. Selama masa pelatihan, tenaga kerja tersebut mendapatkan insentif. Setelah menjalani pelatihan, perusahaan dan pemerintah menjamin tenaga kerja tersebut mendapatkan pekerjaan.
Revolusi industri 4.0 juga mengubah pola industrial antara pengusaha dan tenaga kerja menjadi bersifat saling melindungi dan menguntungkan dalam menghadapi perkembangan teknologi. ”Akan tetapi, ini semua membutuhkan undang-undang sebagai payung hukum. Oleh sebab itu, saat ini merupakan momentum revisi UU Ketenagakerjaan,” kata Tadjuddin.
Berdasarkan Laporan Daya Saing Global 2018 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia, Indonesia memiliki nilai daya saing secara umum sebesar 64,9 dengan skala 1-100. Dari 140 negara, Indonesia menempati posisi ke-45.
Jika dirinci pilar-pilar pembentuk nilai daya saing tersebut, komponen sumber daya manusia (human capital) Indonesia menempati posisi ke-87 dengan poin 66. Adapun komponen pasar tenaga kerja (labour market) Indonesia berada di peringkat ke-82 dengan nilai 57,8.
”Peraturan perundangan yang sekarang berlaku belum cukup mengakomodasi kondisi saat ini. Dengan adanya keterbukaan informasi dan kehadiran teknologi digital, kita perlu menyadari peraturan perundangan saat ini tidak membuat tenaga kerja Indonesia kehilangan daya saing,” tutur Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida dalam diskusi berjudul ”Pola Hubungan Kerja dalam Era Digital dan Teknologi Canggih di Jakarta”, Kamis.
Perlu dibahas
Salah satu aspek yang menurut Ike perlu dibahas ialah regulasi terkait tenaga kerja alih daya atau outsourcing. ”Berdasarkan penelitian saya, ada sembilan negara yang menunjukkan korelasi positif antara penerapan tenaga alih daya dan pertumbuhan produk domestik bruto. Di kancah internasional, negara-negara lain sudah memiliki regulasi mengenai outsourcing,” katanya.
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J
Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida.
Tenaga alih daya yang dimaksud salah satunya berupa bekerja dengan jumlah jam dan hari yang tidak sesuai dengan waktu kerja pada umumnya. Upahnya berdasarkan waktu kerja yang diajukan. Ike mencontohkan, seorang karyawati yang baru melahirkan dan dalam masa cuti melahirkan.
Dalam mekanisme alih daya, dia dapat mengajukan fleksibilitas bekerja, misalnya 2 jam per hari dan 3 kali seminggu, selama masa cutinya dan tetap menerima upah sesuai dengan jam kerja tersebut.
Terkait waktu kerja di Indonesia, UU Ketenagakerjaan mengaturnya dalam Pasal 77 Ayat 2. Waktu kerja dapat terdiri dari 7 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu. Untuk yang berpola 6 hari kerja dalam seminggu, waktu kerja terdiri dari 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.
Dengan mekanisme alih daya seperti yang dicontohkan, Ike berpendapat, produktivitas ketenagakerjaan dapat meningkat karena adanya efisiensi waktu dan pehitungan upah. Namun, hal ini membutuhkan regulasi di tingkat UU agar perlindungan hak setiap tenaga kerja alih daya setara dengan tenaga kerja lainnya di Indonesia.
Menerima masukan
Saat ini Kementerian Ketenagakerjaan sedang mengkaji revisi UU Ketenagakerjaan. ”Kami masih dalam tahap menerima masukan. Kami masih mempertimbangkan, perlu atau tidaknya revisi UU Ketenagakerjaan,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang saat ditemui, Kamis.
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang.
Namun, perkembangan zaman tetap menjadi pertimbangan. Pada prinsipnya, Haiyani menyatakan, Indonesia membutuhkan regulasi ketenagakerjaan yang mendukung peningkatan kompetensi tenaga kerja, penyediaan kesempatan kerja, akses tenaga kerja ke kesempatan kerja, dan jaminan pekerjaan (job security) yang meliputi jaminan pendapatan (income security).
Sebelumnya, sejumlah serikat buruh menggelar demonstrasi pada Rabu (21/8/2019) untuk menolak revisi UU Ketenagakerjaan. Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) yang terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia 1998, dan Federasi Serikat Petani Indonesia tidak menyetujui adanya perluasan tenaga alih daya, pengurangan pesangon, serta perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dapat mencapai maksimal lima tahun. Adapun Federasi Serikat Buruh Karya Utama Provinsi Lampung, Federasi Serikat Pekerja Pulp dan Kertas Indonesia, dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia menolak perpanjangan masa pengangkatan karyawan tetap (Kompas, 21/8/2019).
Pesangon merupakan uang yang diberikan sebagai bekal kepada karyawan (pekerja dan sebagainya) yang diberhentikan dari pekerjaan dalam rangka pengurangan tenaga kerja. UU Ketenagakerjaan Pasal 88 Ayat 3 menyebutkan, upah untuk pembayaran pesangon dimasukkan dalam kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja atau buruh.
Terkait PKWT, UU Ketenagakerjaan Pasal 59 menyatakan, perjanjian dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. PKWT dapat dibuat untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu paling lama tiga tahun.
Adapun ihwal pengangkatan tenaga kerja dalam kerangka perjanjian kerja waktu tidak tertentu berkaitan dengan masa percobaan. UU Ketenagakerjaan Pasal 60 menyebutkan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama tiga bulan.