Pemerintah China merotasi pasukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) yang ada di Hong Kong, Kamis (29/8/2019). Peluang China mengintervensi krisis politik yang terjadi selama 12 minggu terakhir di Hong Kong semakin besar.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
HONG KONG, KAMIS — Pemerintah China merotasi pasukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) yang ada di Hong Kong, Kamis (29/8/2019). Peluang China mengintervensi krisis politik yang terjadi selama 12 minggu terakhir di Hong Kong semakin besar.
Rotasi pasukan dilakukan beberapa hari sebelum para pengunjuk rasa prodemokrasi akan kembali mengadakan aksi di Hong Kong. Kantor berita China, Xinhua, dan media China lainnya, People’s Daily, merilis video dan foto kendaraan militer bergerak dalam konvoi di Hong Kong pada Kamis pagi.
”Pengaturan waktu rotasi kali ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasukan garnisun akan memenuhi kewajiban mereka untuk melindungi Hong Kong sesuai hukum dan mengikuti perintah Partai Komunis,” ujar juru bicara Kementerian Pertahanan China, Ren Guoqiang, dalam temu media.
Jumlah personil PLA untuk garnisun Hong Kong diperkirakan berkisar 8.000-10.000 orang. Mereka terbagi di pangkalan-pangkalan di China selatan dan barak di Hong Kong. Secara umum, PLA tidak menonjolkan diri di hadapan publik.
Akan tetapi, pengumuman rotasi pasukan kali ini tidak menyertakan pernyataan ”rotasi dilakukan tanpa perubahan” seperti tahun lalu. Ren juga tidak menjawab pertanyaan apakah rotasi pasukan baru terkait dengan krisis politik di Hong Kong yang terus meningkat.
Rotasi ini dilakukan setelah pasukan lainnya, Polisi Bersenjata Rakyat (PAP), berkumpul dan berparade di Stadion Shenzhen Bay, Shenzhen, kota yang berbatasan dengan Hong Kong, 15 Agustus 2019. ”Latihan PAP adalah kegiatan rutin. Mereka juga melakukan latihan yang sama setiap tahun,” kata Ren.
Xinhua melaporkan, rotasi PLA merupakan rotasi yang ke-22. Pada 2018, rotasi juga dilakukan pada Agustus.
”Rotasi rutin pasukan angkatan udara, darat, dan laut telah selesai (dilakukan). Militer China akan membuat kontribusi yang lebih besar untuk menjaga kemakmuran dan stabilitas Hong Kong,” kata PLA seperti dilaporkan Xinhua.
Meningkatnya aktivitas militer di Hong Kong dan sekitarnya telah menimbulkan kekhawatiran dunia internasional bahwa China akan terlibat dalam krisis politik Hong Kong. Washington, misalnya, telah memperingatkan Beijing agar tidak mengambil langkah serupa dengan tragedi Tiananmen pada April-Juni 1989.
Tragedi Tiananmen menyebabkan sekitar 3.000 orang tewas akibat kekerasan senjata militer China. ”Saya harap masalah dapat diselesaikan secara manusiawi,” ujar Presiden AS Donald Trump.
Saya harap masalah dapat diselesaikan secara manusiawi.
Kondisi terus memanas mengingat unjuk rasa meningkat setelah Beijing menginginkan Hong Kong kembali stabil menjelang peringatan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 2019. Menurut rencana, Presiden Xi Jinping akan mengawasi parade militer besar-besaran di Beijing.
Aksi berlanjut
Front Hak Asasi Manusia Sipil, salah satu penyelenggara aksi protes Hong Kong, menyatakan, mereka akan melakukan aksi mulai dari distrik pusat bisnis Hong Kong (CBD Hong Kong) hingga Kantor Penghubung Beijing, Sabtu (31/8/2019). Kantor tersebut merupakan simbol kekuasaan China atas Hong Kong.
Aparat kepolisian sudah tak menerbitkan izin untuk unjuk rasa pada Kamis (29/8/2019). Akan tetapi, Front akan mengajukan banding. Jika terjadi, unjuk rasa itu akan menandai lima tahun peringatan Beijing mencabut hak pemilihan umum bagi warga Hong Kong terhadap Kepala Eksekutif dan Dewan Legislatif Hong Kong.
Pemimpin Front, Jimmy Sham, mengklaim telah diserang oleh dua bersenjatakan pisau dan tongkat bisbol. Ia tidak terluka, tetapi salah satu teman yang melindunginya harus dibawa ke rumah sakit.
Hong Kong merupakan wilayah China yang memiliki pemerintahan khusus selama 50 tahun sejak 1997. Sejak awal Juni 2019, warga menggelar demonstrasi menolak RUU Ekstradisi yang menyebabkan warga Hong Kong dikirim ke China.
Tuntutan para pengunjuk rasa kini bertambah, antara lain, meminta Pemerintah Hong Kong mencabut RUU Ekstradisi, membatalkan sebutan perusuh terhadap pengunjuk rasa, dan membebaskan pengunjuk rasa yang ditahan.
Mereka juga mendesak Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengundurkan diri, membentuk penyelidikan kekerasan oleh polisi, dan menghendaki hak pilih pejabat pemerintah Hong Kong kembali. (REUTES/AP)