Panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mencecar peserta uji publik dengan pertanyaan seputar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Panitia menilai penanganan kasus itu belum optimal sehingga potensi kerugian negara masih besar.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mencecar peserta uji publik dengan pertanyaan seputar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Panitia menilai penanganan kasus itu belum optimal sehingga potensi kerugian negara masih besar.
Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Yenti Garnasih melontarkan pertanyaan mengenai TPPU ke semua peserta seleksi, Rabu (28/8/2019). “Ketika penanganan TPPU belum optimal, saya harus menanyakan ke calon pimpinan KPK. Ini menjadi penilaian penting. Sebab, TPPU tidak mudah dibuktikan, tetapi sangat menguntungkan apabila uang hasil korupsi bisa ditarik,” ujar Yenti, di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat.
Menurut Yenti, penanganan kasus-kasus korupsi saat ini hanya menghasilkan orang dipenjara. Sementara hasil korupsinya masih ada di berbagai pihak, berada di orang yang dikasih uang koruptor (TPPU pasif). “Pelaku TPPU yang belum tersentuh, masih menikmati hasil korupsi, itulah yang harus dikejar. Mereka lah penampung uang hasil kejahatan dan rasanya hingga saat ini belum ada TPPU dari kasus korupsi yang berhasil ditangani KPK,” katanya.
Keadaan ini pun sempat disampaikan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa pencegahan jumlah uang negara yang diselamatkan oleh KPK memang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dirampas dalam penindakan dengan nilai mencapai triliunan rupiah. Namun, untuk angka pastinya, Agus mengatakan akan disampaikan nanti.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kerugian negara atas 454 kasus korupsi pada 2018 mencapai Rp 5,6 triliun. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 6,5 triliun untuk 576 kasus.
Laporan Capaian dan Kinerja KPK tahun 2018 menunjukkan, dari jenis perkara, tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan dengan 152 perkara, diikuti pengadaan barang/jasa sebanyak 17 perkara, serta TPPU sebanyak 6 perkara.
Lebih dari Rp 500 miliar rupiah telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk PNBP dari penanganan perkara. Termasuk di dalamnya dari pendapatan hasil lelang barang sitaan dan rampasan dari perkara tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang sebesar Rp 44,6 miliar.
Salah satu Capim KPK yang ditanyai terkait dengan TPPU, yaitu seorang Hakim Tindak Pidana Korupsi, Nawawi Pomolango. Dirinya setuju bahwa penanganan kasus TPPU masih minim. Bahkan menurutnya KPK selama ini tidak punya kriteria atau standar dalam penanganan perkara TPPU.
Dengan begitu, Nawawi menyampaikan penting bagi KPK untuk mengadakan koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selain itu, perkara TPPU juga harus disatukan dnegan pidana korupsi.
“Kalau saya terpilih, pertama saya akan merangkul PPATK. Kita juga punya Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang mudah-mudahan berjalan baik LHKPN-nya di sana. Jadi begitu ada pejabat tercokok, kita langsung berkoordinasi dengan dua (lembaga) itu,” kata Nawawi.
Selain Nawawi, dalam uji publik dan wawancara yang merupakan tahap akhir dari proses seleksi Capim KPK, ada enam kandidat lain yang diuji hari ini. Keenam kandidat lainnya, yaitu Advokat, Lili Pintauli Siregar; Dosen, Luthfi Jayadi Kurniawan; Pensiunan Jaksa, M Jasman Panjaitan; Dosen, Neneng Euis Fatimah; Dosen, Nurul Ghufron; dan Jaksa, Johanis Tanak.
Lili Pintauli Siregar juga menyampaikan pentingnya pengoptimalan TPPU. Menurutnya, TPPU harus disematkan dalam tiap pokok perkara korupsi. Sehingga pemulihan aset termasuk kerugian negara dapat lebih maksimal. “Selama ini hanya sedikit pasal TPPU yang diterapkan dalam kasus korupsi. Saya juga setuju kalau TPPU pasif harus dikejar dan bagi saya, orang-orang yang menerima hasil korupsi juga harus dipidana,” ujarnya.
Luthfi Jayadi Kurniawan pun berkomitmen untuk menjadikan TPPU sebagai prioritas dalam penanganan kasus korupsi. “TPPU ke depan perlu menjadi prioritas karena ini harus dikejar. Selama ini biaya yang dikeluarkan oleh KPK (untuk penanganan perkara) itu cukup tinggi, namun dana pemulihan aset lambat sekali,” ujarnya.
Menurutnya, KPK harus serius untuk mengejar pemilihan aset negara, bagaimana uang itu bisa dikembalikan. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kemauan kuat dari pimpinan KPK agar lebih disiplin menangani perkara.
Sementara M Jasman Panjaitan menyampaikan bahwa KPK seharusnya memiliki biro di bawah Deputi Penindakan untuk pemulihan aset. Ia menilai, KPK selama ini hanya mengandalkan operasi tangkap tangan. “Itu mungkin untuk menutupi kelemahan mereka di penanganan TPPU,” ujarnya.