Industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi mulai menggarap pasar pinjaman pendidikan. Mereka masuk ketika perbankan dan penyedia jasa keuangan konvensional sukar mengembangkan kredit edukasi.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi mulai menggarap pasar pinjaman pendidikan. Mereka masuk ketika perbankan dan penyedia jasa keuangan konvensional sukar mengembangkan kredit edukasi.
Chief Marketing Officer KoinWorks Jonathan Bryan, Selasa (27/8/2019), di Jakarta, mengatakan, saat ini, KoinWorks sedang melakukan uji coba program Dana Edukasi Masa Depan (Dekade) di institusi pendidikan tinggi di Jawa. Sebagai bagian produk pinjaman pendidikan, Dekade menawarkan keunikan tenor pembayaran cicilan sampai sepuluh tahun. Apabila peminjam ingin melunasi pinjaman lebih cepat dari tenor itu, KoinWorks tidak akan memungut biaya atau mengenakan denda.
Pengembangan Dekade bertujuan mempermudah beban cicilan peminjam sehingga calon peminjam bisa memperoleh edukasi lebih baik. ”Jika peminjam sekarang kuliah di perguruan tinggi daerah, dengan hadirnya Dekade, kami berharap mereka bisa menempuh pendidikan tinggi di institusi nasional,” ujar Jonathan menggambarkan.
Nilai maksimal dana yang bisa disetujui oleh KoinWorks adalah Rp 200 juta. Berdasarkan simulasi sementara, bunga per bulan yang akan dipikul oleh peminjam, yaitu sekitar 0,75 persen. Pengajuan kredit bisa dilakukan saat awal masuk ataupun pertengahan masa kuliah.
Jonathan menceritakan, KoinWorks telah berkecimpung di pinjaman pendidikan sejak dua tahun. Nama produknya adalah KoinPintar. Untuk menjalankan KoinPintar, perusahaan lebih banyak bekerja sama dengan lembaga kursus. Misalnya, MoneySmart dan English First.
KoinWorks juga menjalin kemitraan dengan Universitas Bina Nusantara untuk menyediakan fasilitas pinjaman bagi karyawan yang ikut kelas Binus Online Learning.
”Sejauh ini, fasilitas membantu biaya pendidikan dilakukan oleh kampus atau institusi dengan bekerja sama dengan bank. Contoh produknya berupa kartu kredit dan kredit tanpa agunan. Namun, produk ini dirasa tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan mahasiswa dan orangtuanya,” tutur Jonathan.
Sampai sekarang, baru 10 persen dari total dana pinjaman yang berhasil disalurkan oleh KoinWorks diperuntukkan ke kredit pendidikan. Sisanya adalah kredit ke UMKM di sektor perdagangan secara elektronik atau e-dagang.
KoinWorks telah beroperasi sejak tahun 2015. Sejak awal sampai sekarang, Jonathan menyebutkan, pendistribusian pinjaman ke UMKM e-dagang dilakukan perusahaan melalui skema kerja sama dengan sejumlah laman pemasaran, seperti Lazada. ”Sampai triwulan II-2019, rasio kredit macet di KoinWorks mencapai 0,8 persen,” ujarnya.
Pendiri Dana Didik, perusahaan rintisan tekfin pembiayaan pendidikan, Dipo Satria Ramli berpendapat, pasar pinjaman pendidikan di Indonesia besar. Jumlah mahasiswa dari diploma sampai strata tiga diperkirakan mencapai sekitar 9 juta orang. Mengutip salah satu riset USAID, 73 persen mahasiswa di Indonesia membutuhkan pendanaan.
”Tidak seperti kategori pinjaman lainnya, kredit pendidikan merupakan hal baru di Indonesia. Perbankan susah masuk ke jenis pinjaman ini. Penyedia layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi lebih punya potensi memajukan pinjaman pendidikan,” ujar Dipo.
Dia menjelaskan, Dana Didik fokus menjadi penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dengan produk pinjaman pendidikan bagi mahasiswa jurusan kesehatan. Saat ini, jumlah peminjam mencapai 400.000, sedangkan total aplikan 33.000.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian A Gunadi, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, pinjaman pendidikan dengan tenor jangka panjang melalui tekfin memerlukan avalis atau penjamin. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi tingginya potensi risiko.
Meski demikian, pinjaman pendidikan mempunyai peluang besar tumbuh. Dari 127 penyedia pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi terdaftar atau berizin, baru lima perusahaan di antaranya yang khusus menyalurkan kredit edukasi.
Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede menambahkan, peluang pasar pinjaman pendidikan masih terbuka lebar, khususnya pendidikan tinggi dan pelatihan vokasional.
Peluang pasar pinjaman pendidikan masih terbuka lebar, khususnya pendidikan tinggi dan pelatihan vokasional.
AFPI mengelompokkan pinjaman berdasarkan kategori tujuan produktif dan multiguna. Menurut dia, sudah 60 persen dari 127 penyedia berstatus terdaftar atau berizin termasuk kategori produktif. Misalnya, ada salah satu penyedia memberikan pendanaan kepada barista yang ingin memperoleh sertifikasi profesi, pinjaman itu masuk kelompok produktif.
”Apabila pinjaman pendidikan disalurkan ke individu, hal ini dikategorikan sebagai pendanaan multiguna. Terlepas dari pengelompokkan itu, kami menekankan bahwa potensi pasar pinjaman pendidikan di Indonesia besar,” kata Tumbur.