Sebidang tanah di sebelah Kantor Camat Taman Sari, Jakarta Barat, secara legal dimiliki PT Kereta Api Indonesia. Papan nama yang terpasang di lahan 1 hektar itu pun menyatakan siapa tuannya.
Oleh
J Galuh Bimantara
·5 menit baca
Papan nama berbahan logam bertuliskan ”Tanah Milik PT Kereta Api Indonesia (Persero)” tertancap di tengah lahan terbengkalai di timur gedung BNI 46, sekitar 300 meter dari Taman Fatahillah, Kawasan Kota Tua. Puing-puing bangunan berserakan di sana. Pohon-pohon besar tumbuh, tetapi tanpa pengaturan letak.
Sejumlah orang memanfaatkan kerindangan pohon untuk beristirahat. Ada yang makan, ada pula yang menggelar alas tipis dan tertidur pulas. Masuk makin ke dalam melewati jalan berdebu, sejumlah bangunan permanen berukuran kecil pun terlihat.
Di antara pemandangan yang mengesankan lahan itu tidak berharga, arkeolog Candrian Attahiyyat melangkah ke salah satu titik dekat tembok pembatas dengan Kantor Camat Taman Sari. Ia menunjukkan batang-batang silinder terbuat dari tanah liat yang berserakan di sana. Panjangnya sekitar 50 sentimeter dan berdiameter 15 sentimeter. Namun, pada salah satu ujung pipa, diameter bertambah sekitar 2 cm.
Selain pipa tanah liat berbentuk silinder, rupanya ada pula pipa berbentuk bengkok mirip keni atau sambungan pipa saluran air. Candrian pernah melihat pipa terakota semacam itu terdapat di bagian bawah Bastion Culemborg, yang kemudian menjadi Menara Syahbandar dan masih bisa dilihat hingga sekarang, di Penjaringan, Jakarta Utara.
Melalui penggalian arkeologis tahun 1970-an di Taman Fatahillah, pipa terakota juga ditemukan. Pipa jenis ini mungkin merupakan material umum untuk saluran air di dalam tanah pada masa itu.
Dengan demikian, puluhan dan mungkin ratusan pipa terakota di lahan kosong PT KAI itu bisa jadi menyimpan informasi soal riwayat pembangunan di Kota Batavia. Sementara itu, sebagian pipa sudah dalam kondisi pecah. Warga juga ada yang menegakkan beberapa pipa terakota di tanah dan menjadikannya sebagai pot tanaman.
Ada lagi sejumlah material beton berbentuk melengkung tersebar di beberapa titik. Pada salah satu material itu, terdapat tulisan Chamotte Unie Geldermalsen. Artinya, material itu kemungkinan produk perusahaan pembuat material tahan panas bernama Chamotte Unie di Kota Geldermalsen, Belanda. Berdasarkan catatan sejarah, Chamotte Unie mulai berproduksi tahun 1919 dan kemudian tutup tahun 1982.
Fungsinya belum diketahui secara pasti, tetapi Candrian menduga empat bahan itu jika disatukan bisa untuk lubang angin pada tembok bangunan. Ia lantas menunjukkan lubang angin berdiameter sekitar 50 sentimeter pada Museum Bank Indonesia di Kawasan Kota Tua. Secara sekilas, ukurannya mirip dengan lingkaran hasil susunan empat material melengkung dari tanah kosong PT KAI.
”Lokasi ini kemungkinan tempat terjadinya peristiwa bersejarah,” ucap Candrian.
Tempat ditemukannya pipa terakota dan material beton Chamotte Unie diduga depo penempatan material-material bangunan yang didatangkan dari daerah lain di sekitar Jawa menggunakan kereta pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Produk material dari luar negeri mungkin juga ditransitkan di sana, sebelum didistribusikan ke lokasi-lokasi pembangunan.
Candrian menduga benda-benda tersebut terkait dengan program pembangunan untuk memulihkan Kota Batavia pada awal abad ke-20. Revitalisasi Batavia merupakan salah satu program yang dicanangkan Gemeenteraad van Batavia (Dewan Kota Batavia) guna memantapkan peran kota itu sebagai pusat bisnis.
Candrian menduga benda-benda tersebut terkait dengan program pembangunan untuk memulihkan Kota Batavia pada awal abad ke-20. Revitalisasi Batavia merupakan salah satu program yang dicanangkan Gemeenteraad van Batavia (Dewan Kota Batavia) guna memantapkan peran kota itu sebagai pusat bisnis.
Terkait kemungkinan pipa terakota dan material beton melengkung di tanah PT KAI sebagai cagar budaya, Kepala Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua Norviadi Setio Husodo mengatakan, pihaknya sudah mengunjungi lahan kosong itu dan mengambil sampel benda diduga cagar budaya. Selanjutnya, penelitian penentuan cagar budaya—atau bukan—bakal dikelola Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) DKI.
Norvi menilai, pemindahan tidak perlu dilakukan terhadap seluruh benda diduga cagar budaya, apalagi benda berbentuk sama berjumlah sangat banyak di sana. Yang penting, UPK Kota Tua sudah mengamankan sebagian benda diduga cagar budaya dalam jumlah yang representatif, baik untuk penelitian maupun kebutuhan pelestarian.
Namun, ini sebenarnya bukan hanya soal tabir sejarah benda-benda diduga cagar budaya yang tidak terurus tadi. Lahan ”tak bertuan” PT KAI bisa jadi juga merupakan saksi sejarah Ibu Kota di bidang perkeretaapian.
Namun, ini sebenarnya bukan hanya soal tabir sejarah benda-benda diduga cagar budaya yang tidak terurus tadi. Lahan ’tak bertuan’ PT KAI bisa jadi juga merupakan saksi sejarah Ibu Kota di bidang perkeretaapian.
Jika dirunut, lokasi lahan itu berdekatan dengan bekas stasiun yang dibangun perusahaan kereta swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Stasiun Jakarta Kota yang masih bisa kita lihat sekarang baru ada setelahnya, selesai tahun 1929, bertempat di selatan bekas stasiun NIS.
Kepala Seksi Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Iyan Iskandar menuturkan, dirinya pernah terlibat penggalian arkeologis pada lahan itu beberapa tahun lalu. Tim yang dipimpin Candrian (kala itu Ketua Balai Konservasi DKI) tersebut menemukan adanya jalur rel kereta lama.
”Itu tembus sampai ke rel yang ada di (Kali) Ciliwung,” ujar Iyan.
Rel di Kali Ciliwung yang dimaksud masih bisa dilihat di timur lahan PT KAI tadi, berada di atas kali dengan ditopang fondasi. Kini, warga memanfaatkan struktur rel itu sebagai jembatan pejalan kaki untuk menyeberangi kali.
Candrian menambahkan, mereka juga menemukan rumah sinyal kereta dari zaman penjajahan Belanda di lahan tersebut. Baru setelah penggalian itu, PT KAI lantas mengecek dan menyatakan lahan tersebut sebagai asetnya.
Dengan segala penemuan ini, lahan PT KAI itu patut dijaga sampai penelitian membuktikan kawasan itu sebagai cagar budaya atau bukan. Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, lokasi dapat ditetapkan sebagai situs cagar budaya jika mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya, serta menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.
Itu butuh koordinasi antara UPK Kota Tua sebagai kepanjangan tangan Disparbud DKI dan PT KAI sebagai pemilik tanah. Langkah konkret mesti segera ada mengingat warga bebas keluar-masuk lahan dan mungkin saja menimbulkan perubahan atau bahkan kerusakan terhadap benda-benda diduga cagar budaya.