Sumbang PAD Paling Besar, BPD Tetap Perlu Dievaluasi
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dari 1.097 Badan Usaha Milik Daerah di Indonesia, hanya Bank Pembangunan Daerah yang menunjukkan kinerja optimal. Badan usaha ini mampu berkontribusi besar terhadap pendapatan asli daerah ketika jenis badan usaha lainnya gagal. Meski demikian, upaya perbaikan perlu dilakukan untuk terus meningkatkan performa bank tersebut.
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syarifuddin seusai Rapat Koordinasi Nasional Keuangan Daerah 2019 di Jakarta, Rabu (28/8/2019), mengakui, kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) secara umum belum optimal.
Dari total 1.097 BUMD, hanya Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang mampu menghasilkan keuntungan. Kondisi itu sangat timpang karena keuntungan hanya dihasilkan oleh BPD yang berjumlah total 26 unit.
Keuntungan diukur dari sumbangan BUMD terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Berdasarkan penghitungan Kemendagri, kontribusi BUMD pada PAD tertinggi adalah 3 persen. “Dari 3 persen itu, hampir semua disumbangkan BPD,” kata Syarifuddin.
Menurut Syarifuddin, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan, salah satu tujuan pendirian BUMD adalah mendapatkan keuntungan yang direpresentasikan dalam kontribusi terhadap PAD. Jika tujuan itu tak tercapai, keberadaan BUMD perlu dievaluasi.
Butuh perbaikan
Meski BPD menunjukkan kinerja terbaik dibandingkan BUMD lain, prestasi itu rupanya belum merata. Evaluasi Kemendagri menunjukkan, dari total 26 BPD, hanya tujuh yang kepemilikan sahamnya didominasi pemerintah provinsi, yaitu mencapai 51 persen. Sementara itu, kepemilikan saham pada 19 BPD lain masih terpecah dari pemerintah kabupaten/kota atau pihak lain.
Syarif mengatakan, terdapat kecenderungan bahwa pemerintah daerah enggan melakukan penyertaan modal ke BUMD. Pihaknya pun tengah mendalami faktor-faktor apa yang menyebabkan hal tersebut. Sebab, ihwal penyertaan modal ini juga yang kerap dijadikan alasan buruknya kinerja BUMD.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat mengatakan, sejumlah perbaikan BPD memang harus dilakukan. Beberapa poin kinerjanya masih belum optimal.
Salah satunya angka pertumbuhan kredit yang tidak diikuti dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Artinya, bank akan sulit menyalurkan kredit karena DPK yang berfungsi sebagai sumber dana itu minim.
Di sisi lain, pertumbuhan kredit BPD pun menurun dalam setahun terakhir. Berdasarkan data OJK, pertumbuhan kredit BPD pada Juni 2019 adalah 6,78 persen, turun dibandingkan Juni 2018 yaitu 7,66 persen.
Penurunan juga terjadi pada pertumbuhan DPK. Pada Juni 2018, pertumbuhan DPK BPD adalah 2,65 persen sedangkan pada periode yang sama tahun ini, pertumbuhan DPK adalah -8,27 persen.
“Kredit juga masih didominasi ranah konsumsi, belum menyentuh ranah produktif,” ujar Teguh.
Menurut dia, salah satu langkah untuk memperbaiki BPD adalah menguatkan sinergi antar-BPD. Terutama sinergitas teknologi informasi agar kerja bank menjadi lebih efisien. Selama ini, sinergi belum bisa terwujud karena masih ada keengganan dari setiap BPD.