Meski Bermasalah, Pembahasan RUU Pemasyarakatan Terus Dikebut
Pemerintah juga berencana tak lagi mencantumkan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau bebas bersyarat terhadap terpidana korupsi.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG/AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berencana memacu pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan agar bisa diselesaikan pada masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019. RUU tersebut dibahas tertutup meskipun dinilai bermasalah karena mempermudah pembebasan bersyarat bagi terpidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk korupsi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (28/8/2019), mengatakan, pembahasan RUU Pemasyarakatan hampir selesai karena tidak ada lagi perdebatan terkait pasal-pasal. Ia mengatakan, perdebatan hanya sebatas soal rencana pembentukan badan pemasyarakatan nasional sebagai lembaga yang akan melaksanakan UU.
”Kami dari Fraksi PKS terus mengajukan pembentukan badan tersebut. Selain itu, setiap fraksi juga belum membahas terkait lembaga pengawasan untuk pelaksanaan RUU ini,@ ujarnya.
Nasir mengatakan, inti RUU Pemasyarakatan adalah tidak boleh ada pengurangan hak narapidana yang berkelakuan baik. Ia menjelaskan, selama mereka berkelakuan baik, tentunya mereka bisa mendapat pembebasan bersyarat seperti remisi.
”Kami juga akan mengevaluasi peraturan yang tidak sejalan dengan semangat tersebut, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012,” katanya.
Peraturan pemerintah tersebut berisi tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Aturan tersebut tercantum syarat yang memperberat syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk sejumlah tindak pidana kategori kejahatan luar biasa, seperti terorisme, narkotika, dan korupsi yang tidak berkenan menjadi justice collaborator.
”Kami ingin agar proses justice collaborator bisa dilakukan pada proses penyidikan di KPK. Seharusnya para narapidana sudah tidak boleh dibebani sejumlah persyaratan untuk mendapat remisi ketika sudah dalam proses penahanan,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami mengatakan, pembahasan RUU akan dikebut agar tidak dilimpahkan pada DPR periode berikutnya. Menurut dia, sudah tidak ada perdebatan terkait pasal-pasal yang ada dalam draf RUU ini.
”Dalam aturan yang lama, yaitu UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, hanya ada 54 pasal. Sementara pada RUU yang baru ini ada 89 pasal yang dapat memperkuat hak-hak narapidana dan warga binaan di pemasyarakatan,” katanya.
Menurut dia, dalam UU ini nanti diatur tidak boleh ada pengurangan hak-hak narapidana kecuali ada putusan dari pengadilan. Hal ini juga akan memunculkan kepastian hukum bagi para narapidana.
”Kalau dalam aturan sekarang, harus jadi justice collaborator agar hak-hak seperti mendapat remisi tidak dihilangkan. Ini malah membuat kepastian hukumnya jadi simpang siur,” kata Sri Puguh.
Tanpa syarat
Pemerintah juga berencana tak lagi mencantumkan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau bebas bersyarat terhadap terpidana korupsi.
Rencana penghapusan syarat rekomendasi untuk asimilasi dan pembebasan bersyarat sejumlah terpidana khusus saat ini masih berupa usulan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi-fraksi di DPR. Sementara dalam draf RUU Pemasyarakatan yang disiapkan pemerintah, usulan itu tidak tercantum.
Sebelumnya, pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pembebasan bersyarat napi tertentu seperti napi korupsi tak bisa dipisahkan dari konteks kondisi darurat korupsi yang makin terstruktur, sistematis, dan masif.
Menurut dia, DPR dan pemerintah seharusnya tidak menggeser komitmen pemberantasan korupsi melalui ketentuan baru. Meringankan syarat pembebasan bersyarat untuk napi korupsi akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.