JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat terus bergerak untuk kelangsungan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai respon dari hasil Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK yang belum memuaskan. Presiden Joko Widodo diharapkan mendengar masukan dari publik yang menginginkan pemberantasan korupsi tetap berjalan tanpa intervensi pihak tertentu.
Pada 27-28 Agustus 2019, sebanyak 14 nama menjalani wawancara dan uji publik di hadapan Pansel KPK dan dua orang panelis. Adapun pada hari kedua yang mengikuti tahapan akhir ini adalah Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Johanis Tanak, mantan Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar, dosen Luthfi Jayadi Kurniawan, mantan jaksa Jasman Panjaitan, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar Nawawi Pomolango, pegawai Kemenkeu Neneng Euis Fatimah, dan akademisi Nurul Ghufron.
Dari 14 nama yang sudah menjalani wawancara dan uji publik selama dua hari, masa depan pemberantasan korupsi terancam suram. Selain sebagian nama terindikasi bermasalah dan menggunakan forum wawancara sebagai ajang klarifikasi dengan sedikit argumentasi visi misi, mayoritas kandidat bahkan tak menguasai undang-undang tentang pemberantasan korupsi, KUHAP, Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), hingga jenis kejahatan korupsi.
“Presiden harus mendapat masukan yang benar. Karena yang mengelilingi itu belum tentu baik. Orang yang bermasalah dan punya titik hitam, jangan dipilih. Orang baik masih ada. Orang baik ini yang perlu memimpin lembaga ini. Mari bersama, kita menangkan kewarasan, kita menangkan akal sehat,” ujar mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif saat diskusi Menjaga KPK, Mengawal Seleksi Pimpinan KPK, di Gedung KPK Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Presiden dan DPR sebagai saringan terakhir dari proses ini, lanjut dia, harus lebih jeli dalam memilih. DPR pun diminta untuk melepaskan kepentingan kelompok dengan mencari orang yang berniat memberantas korupsi untuk bangsa ini. “Jangan sampai kurang kepercayaannya pada lembaga ini. Karena kalau salah-salah pilih lagi, Presiden orang akan pertanyakan juga,” kata Syafii.
Ibu Negara keempat Shinta Nuriyah Wahid mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk bersedia mendengar suara masyarakat. “Presiden mau mendengar suara masyarakat dan mengawasi kerja Pansel KPK. Masyarakat sangat peduli dengan pemberantasan korupsi dan KPK. Presiden juga berkepentingan untuk memiliki pimpinan KPK yang berintegritas. Apabila lembaga korupsi memiliki integritas maka kualitas pembangunan akan meningkat,” tutur Shinta.
Pansel KPK pun diharapkan lebih terbuka pada publik dalam proses seleksi maupun terkait calon pimpinan. “Seleksi ini harus dilakukan profesional dan tidak condong pada suatu pihak melainkan sepenuhnya untuk pemberantasan korupsi. Kami khawatir apabila pimpinan yang terpilih tidak sesuai kebutuhan pemberantasan korupsi, maka bukan hanya pemberantasan korupsi tersendat tapi juga akan terjadi penyelewengan kekuasaan dan masyarakat tidak dapat mempercayai KPK lagi,” ungkap Shinta.
Sejak awal proses seleksi berjalan di bawah kendali Pansel KPK, banyak hal yang dikritisi dari persyaratan bagi capim sesuai UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang tak dipenuhi. Jadwal tahapan pelaksanaan yang tentatif, formulasi penilaian yang tertutup, hingga terus melajunya nama-nama yang bermasalah dan memiliki afiliasi tertentu. Masukan masyarakat pun tak jadi pertimbangan, hanya sekadar diklarifikasi pada wawancara dan uji publik.
Kritikan bertubi-tubi pun membuat Anggota Pansel KPK Al Araf berharapPresiden perlu memperhatikan masukan dari masyarakat sipil terkait rekam jejak 20 nama capim. Hal ini agar arah pemberantasan korupsi menjadi jelas dan kian baik sesuai dengan harapan untuk dapat meningkatkan Indeks
Persepsi Korupsi.
“Pansel dibentuk oleh Presiden dan bekerja secara independen. Namun, Presiden perlu juga mendengarkan aspirasi masyarakat dalam konteks penyeleksian 20 capim KPK saat ini yang akan mengerucut menjadi 10 nama nantinya,” ujar Araf.
Berbeda dengan sikap Anggota Pansel KPK Hendardi yang terus resisten. Salah satunya terkait informasi yang disampaikan KPK terkait penanganan perkara etik milik bekas Deputi Penindakan Irjen (Pol) Firli. “Kalau tidak benar dan merasa kebohongan, ada proses hukum bahwa orang ini berbohong. Jangan kasak kusuk, terus bikin diskusi sana sini, atau bikin ini atau konferensi pers yang sumbernya enggak jelas,” kata Hendardi.
Di sisi lain, masyarakat juga terus bereaksi seperti di Padang, Surabaya, Bali, dan Yogyakarta dengan tajuk \'Selamatkan KPK\'. “Presiden harus membuktikan komitmen memperkuat KPK dengan tidak memilih nama-nama capim yang terindikasi bermasalah. Bagaimanapun, hasil kerja Pansel menjadi cermin sikap Presiden. Tanpa ketegasan dan kepemimpinan Presiden, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan berhasil,” kata Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera.
Dukungan masyarakat pun terus mengalir dari situs Change.org yang menyuarakan agar Presiden mencoret Capim KPK Bermasalah. Dalam empat hari, dukungan dari warganet telah mencapai 63.586 tanda tangan.
Di tengah upaya ini, tiga orang yakni Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Ketua YLBHI Asfinawati, dan Koordinator ICW Adnan Pandu Pradja justru dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait Pansel KPK.
Calon tak mumpuni
Berbagai gagasan yang bertolak belakang dengan kinerja KPK pun mengemuka dari sejumlah calon. Johanis dan Jasman, misalnya, tidak sepakat dengan mekanisme operasi tangkap tangan yang selama ini dilakukan KPK. Operasi tersebut semestinya digunakan untuk mengingatkan agar transaksi suap tak perlu terjadi dan sifatnya spontan, bukan menangkap orang melalui penyadapan dan pengintaian selama berbulan-bulan.
Akan tetapi, keduanya ternyata tak mengerti mengenai Konvensi PBB Antikorupsi dan empat norma yang perlu diimplementasikan pada regulasi di Indonesia seperti penyuapan di sektor swasta, adalah memperdagangkan pengaruh, tindakan memperkaya diri sendiri, serta penyuapan pejabat asing atau organisasi internasional.
Sedangkan calon lain, semuanya ditagih untuk menerapkan Tindak Pidana Pencucian Uang apabila terpilih menjadi pimpinan KPK. Koordinasi dan supervisi, serta sinergi dengan kejaksaan dan kepolisian pun menjadi agenda semua calon yang diwawancara pada hari kedua. Sayangnya, para calon ini tak menguasai secara mumpuni dasar hukum dan regulasi pemberantasan korupsi. Padahal saat uji kompetensi yang merupakan tahap kedua seleksi, persoalan undang-undang dan regulasi menjadi bahan uji.
author: RIANA AFIFAH
byline: RIANA A IBRAHIM
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.