Regulasi Pemerintah Dorong Kapasitas Ekspor PT Timah
Perseroan berencana membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung, dengan biaya investasi sebesar 80 juta dollar AS (Rp 1,14 triliun).
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peraturan pemerintah yang mewajibkan pelaku usaha timah melengkapi informasi sumber pencadangan mineral untuk ekspor membuat kapasitas ekspor PT Timah Tbk meningkat. Peningkatan ini, berimbas juga pada peningkatan produksi logam timah.
PT Timah Tbk mencatat realiasi produksi logam timah di sepanjang semester I-2019 mencapai 37.700 metrik ton, naik tiga kali lipat dibanding realisasi produksi pada semester I-2018 sebesar 12.300 metrik ton.
Sekretaris Perusahaan PT Timah Amin Haris Sugiarto di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (27/8/2019), mengatakan, peningkatan produksi Timah didukung oleh regulasi pemerintah yang berkaitan dengan verifikasi cadangan dan asal usul timah. Regulasi ini memperkuat posisi tawar perseroan baik di pasar lokal maupun pasar internasional.
“Sebelumnya pangsa pasar timah di pasar global kurang 10 persen. Adanya regulasi transparansi cadangan, pangsa pasar ekspor kami pada semester I-2019 naik menjadi 20 persen,” ujarnya.
Sejauh ini, pasar ekspor PT Timah Tbk, yang tercatat di BEI dengan kode TINS, adalah Eropa, Amerika, dan Asia. Dari sisi penjualan pun, PT Timah Tbk berhasil meningkat dari 12.700 metrik ton pada semester I-2018 jadi 31.600 metrik ton pada semester I-2019.
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2018, pelaku usaha pertambangan timah harus memiliki cadangan mineral yang terkandung dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan dituangkan dalam Rencana Kerja Anggaran Belanja (RKAB).
Selain itu, pelaku usaha juga harus melengkapi informasi mengenai asal-usul dari cadangan tersebut secara transparan. Untuk saat ini, baru PT Timah Tbk yang dapat memenuhi aturan dan bisa melakukan ekspor berdasarkan regulasi tersebut.
Amin menyampaikan, penjualan logam timah masih didominasi untuk pasar ekspor sebesar 98 persen, sementara sisanya yakni dua persen untuk pasar domestik. Amin meyakini kinerja operasional perseroan akan terus meningkat menyusul penguatan dari sisi manajemen.
“Sebagai salah satu pemilik lahan konsesi tambang terbesar di Tanah Air, wajar saja bila PT Timah Tbk memiliki persentase kontribusi paling besar terhadap ekspor timah Indonesia,” ujarnya.
Pada dua tahun mendatang, pasar internasional yakni London Metal Exchange (LME), akan menerapkan responsible sourcing standard (standar asal timah). Hal ini membuat seluruh merek logam yang terdaftar di LME, termasuk PT Timah Tbk, mulai 2020 harus memenuhi persyaratan tersebut.
“Kami berusaha untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut untuk memenuhi segala persayaratan yang disebutkan LME, terutama tracebility research dan transparansi,” ujar Amin.
Bangun pabrik
Sementara itu, Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Emindra mengatakan, perseroan berencana membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung, dengan biaya investasi sebesar 80 juta dollar AS (Rp 1,14 triliun).
Nantinya, smelter yang dibangun Timah akan akan menggunakan teknologi ausmelt yang dimiliki oleh perusahaan asal Finlandia, Outotec. Emil mengatakan teknologi milik Outotec dinilai lebih ramah lingkungan.
“Smelter ini akan memiliki kapasitas sebesar 45.000 ton. Kami sedang melakukan studi kelayakan, berapa batasan jumlah tanah jarang akan bisa memenuhi aspek keekonomiannya,” ujar Emil.